Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereka Panggil Dia Mama Merkel

Lebih dari 300 ribu orang mengungsi ke Eropa tahun lalu. Jumlah ini terus bertambah dengan semakin buruknya kondisi negara-negara asal para pengungsi itu—terutama Suriah, yang dikoyak perang saudara sejak 2011. Beberapa kalangan di Jerman, negara yang menyatakan membuka diri menerima pengungsi dan menyiapkan dana 64 miliar euro, bahkan mulai cemas melihat arus kedatangan yang tak terbendung. Laporan wartawan Tempo dari Jerman dan Belgia.

12 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana di Muenchen Hauptbahnhof, stasiun pusat kereta api Kota Muenchen, Jerman, semakin meriah begitu kereta Regionalexpress dari Wina yang menarik 15 gerbong berhenti, awal September lalu. Tepuk tangan, yel-yel, dan suit-suit bergemuruh, ditingkahi seruan dan kibaran spanduk bertulisan "Welcome to Germany". Mereka yang datang untuk menyambut penumpang berdiri berderet di pintu keluar, yang dihiasi balon warna-warni.

Yang ditunggu oleh seremoni penyambutan itu, para pengungsi dari kawasan konflik di Timur Tengah, turun berbondong-bondong dari gerbong penumpang, keluar bagaikan air bah. "Terima kasih, Jerman," kata seorang anak. Dua jari tangannya membentuk simbol peace—perdamaian. Wajahnya terlihat lega. Dari matanya, air menetes.

Umar, demikian nama anak itu, hanya satu dari puluhan ribu pengungsi yang merasa lega begitu kaki mereka menapak di tanah Jerman. Senyuman terus tersungging di bibir meski wajah mereka memperlihatkan dengan jelas guratan keletihan. Keriangan para penyambut membuat mereka merasa diterima di negeri baru. Umar mengaku berjalan sendirian ratusan kilometer dari Suriah, tanpa sanak famili. Seluruh keluarganya tewas setelah rumahnya disambar bom.

Sejak Kanselir Jerman Angela Merkel resmi mempersilakan pengungsi Suriah datang ke Jerman pada 5 September lalu, arus pengungsi deras berdatangan. "Tidak dibatasi jumlahnya," ujar Merkel.

Pengungsi Suriah, yang sudah berdatangan sejak negeri itu dilibas perang saudara pada 2011, semakin bersemangat memenuhi undangan Merkel. Mereka berduyun-duyun membawa semua anggota keluarga—kalau masih punya. Mereka ini tidak cuma yang berada di Suriah, tapi juga yang sebelumnya telah mengungsi ke Libanon, Pakistan, Yunani, dan Turki.

* * * *

Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) memperkirakan ada sekitar 5 juta pengungsi Suriah yang mengarah ke Eropa tahun ini. Jerman menyedot angka terbanyak. Menurut statistik lembaga pemerintah urusan migrasi dan pengungsi (BAMF), hanya dalam tempo kurang dari tiga minggu, jumlah pengungsi baru yang datang selama 5-27 September membengkak hingga 230 ribu orang. Negeri bangsa Aria ini dijejali pengungsi yang berdatangan dari berbagai pos perbatasan dengan Austria—Muenchen, Rosenheim, dan Salzburg—setiap hari. Diperkirakan, sampai akhir tahun nanti, Jerman bakal disesaki 800 ribu-1 juta pengungsi.

Sampai 2014, jumlah pengungsi di Jerman 202.834 orang, naik 60 persen dari tahun sebelumnya. Mereka yang berasal dari Suriah dan negara Arab lainnya, seperti Libanon dan Tunisia, merupakan yang terbanyak, disusul pengungsi dari Albania, Kosovo Serbia, Irak, Makedonia, Bosnia, Montenegro, Eritrea, Pakistan, Nigeria, Afganistan, dan lain-lain. Meski demikian, waktu itu Jerman masih berada di urutan kedelapan dari 28 negara Uni Eropa, atau di urutan ke-20 di antara negara-negara di dunia, yang menerima pengungsi. Di Eropa, Swedia berada di urutan pertama dan Belgia di urutan terakhir. Ini statistik yang dikumpulkan Mediendienst Integration.

Selain untuk tujuan kemanusiaan, karena posisi itulah Jerman membuka pintunya lebar-lebar bagi pengungsi tahun ini. Tapi bukan tak ada yang jengkel. "Muenchen sudah kewalahan. Di kota ini saja berdiam 100 ribu pengungsi," kata Ketua Partai CSU Horst Seehofer kepada Tempo. Partai yang berdomisili di Muenchen ini mengkritik kebijakan politik pengungsi yang dianggap sudah kehilangan kontrol.

Lautan manusia di Muenchen terlihat mencekam bagi politikus SPD, Brigitte Meier. Ia sampai terisak ketika berpidato di depan rapat harian soal pengungsi di Berlin. "Arus pengungsi tak tertahan lagi. Bagaimana jika ada teroris menyusup di antaranya? Muenchen dalam keadaan darurat," ujarnya terbata-bata. Isak tangis politikus menjadi berita besar di banyak media.

Reaksi negara tetangga terhadap keputusan Merkel tak kalah seru. Mereka merasa terganggu wilayahnya dilewati pengungsi. Soalnya, dari numpang lewat itu, ribuan pengungsi menutup ruas jalan-jalan utama, sehingga kemacetan terjadi di mana-mana. Bukan itu saja. Ladang-ladang gandum dan jagung juga diterabas. Belum lagi yang bergeletakan di stasiun-stasiun untuk melepas lelah. Kemah bertebaran di seantero kota. Pengungsi juga duduk berderet-deret di trotoar.

Ribuan pengungsi yang datang setiap hari, yang menggunakan toilet umum yang jumlahnya cuma segelintir, bukanlah pemandangan indah buat negara dengan banyak kota turis seperti Hungaria. Pengungsi menyisakan sampah dan bau busuk. Kota jadi terlihat buram dan kotor. Tak aneh jika Perdana Menteri Hungaria Viktor OrbĂ¡n mencak-mencak menyalahkan Jerman. "Jerman harus menghentikan arus pengungsi. Kalau tidak, 10 ribu orang akan melewati Hungaria setiap hari," katanya.

Karena keluhannya tak ditanggapi, OrbĂ¡n menutup total perbatasan Hungaria-Serbia dengan kawat berduri sejak pertengahan September lalu. Pagar setinggi tiga meter itu memanjang 175 kilometer sampai ke Rumania. Belum cukup di situ. Untuk menghalau pengungsi, di YouTube muncul ancaman wali kota perbatasan Hungaria-Serbia, LĂ¡szlo Toroczkai. Ia dan pasukannya menyatakan akan menangkap orang yang masuk ilegal ke wilayahnya. "Mau ke Jerman? Lewat Kroasia atau Slovenia. Hungaria adalah pilihan buruk," ujarnya.

Ancaman Toroczkai memang ampuh. Tak ada lagi pengungsi yang sudi lewat sana. "Hungaria kejam," kata Hasan, 20 tahun, kepada Tempo. Ia menunjuk plester di dahinya yang berdarah akibat pentungan petugas perbatasan Hungaria sebelum pagar ditutup.

Pengungsi tak kekurangan akal. Mereka memindahkan jalur ke Kroasia. Dengan bantuan Google Maps dari telepon pintar, pengungsi muda menjadi penunjuk jalan. Tapi di sini pun jalan menuju tanah harapan tertahan. Pengungsi dihalau dengan gas air mata. Kroasia juga tak rela wilayahnya dilewati. Pengungsi tertahan sampai beberapa hari, sementara arus yang datang semakin besar. Akhirnya, Zagreb kewalahan dan menyerah karena pengungsi tak mau beringsut pergi. Bus-bus disediakan untuk lebih cepat "mengusir" pengungsi menuju perbatasan Austria.

* * * *

Jalan ke Swedia, negara favorit kedua setelah Jerman, sama tersendatnya. Zaenab, 24 tahun, duduk termangu di Stasiun Flensburg karena kereta penuh pengungsi yang akan membawanya ke Swedia dihadang di Padborg, Denmark. Di situ, kereta juga dilarang numpang lewat dan dipaksa kembali ke Jerman. "Swedia liberal terhadap Islam. Banyak saudara saya sudah tinggal di sana," ujarnya, mengungkap alasan memilih Swedia. Ia tak tahu bagaimana lagi bisa sampai ke sana sekarang. Sebab, jalan masuk cuma lewat Denmark kalau tak mau berenang di laut lepas Ostsee.

Banyak negara memang tak rela wilayahnya dilewati pengungsi yang tak punya dokumen identitas. Tak ada yang bisa menjamin tiada pengungsi yang menyusup masuk ke kota dan menjadi warga gelap. Semua negara sepakat pintu terbuka bagi siapa pun asalkan legal. Barangkali ini yang menjadi sebab Denmark cuma akan menerima pengungsi dalam jumlah setengah dari yang diterimanya tahun lalu. Tapi, "Bagaimana mau legal kalau seluruh dokumen hancur oleh bom?" kata ahli politik Universitas Hamm, Profesor Sebastian Lang.

Menurut Menteri Urusan Khusus Peter Altmaier, anggota Uni Eropa tak bisa menolak sama sekali pengungsi. "Namanya saja uni. Ini kan berarti kebersamaan. Kebersamaan dalam segala hal, termasuk mengatasi masalah krisis pengungsi ini," ujarnya, menyindir Polandia, Kroasia, Hungaria, Inggris, dan beberapa negara lain yang menolak pengungsi. Setiap negara itu sebetulnya sudah menerima pengungsi juga. Di Hungaria, misalnya, menurut UNHCR, ada 40.235 pengungsi. Di Inggris, jumlahnya 9.445 orang. Belanda menampung paling sedikit pengungsi, cuma 4.285 orang pada 2014.

Maka, ketika negara-negara lain tak hirau terhadap nasib pengungsi, di Suriah, Merkel dianggap "pahlawan pengungsi". Ia dipanggil "Mama Merkel". "Setiap orang di Suriah mengenal Mama Merkel. Dan kami tahu di sini sebaik-baiknya tempat untuk mengungsi, karena Jerman toleran terhadap muslim," kata Ahmed, 22 tahun.

Teman seperjalanan Umar, Hasan, 42 tahun, bapak dua anak yang sebelum ke Jerman bekerja setahun di Yunani, kurang-lebih berpendapat sama. "Tidak ada negara yang begitu bagus memperhatikan pengungsi seperti Jerman," ujarnya.

Begitu dekatnya Merkel di hati mereka, pengungsi tak malu-malu mendekati Merkel ketika dia tengah mengunjungi kamp-kamp pengungsi, untuk berfoto bersama. Umar mengarahkan kamera telepon seluler ke dirinya yang sedang merangkul atau bersanding dengan Bundeskanselir—mirip kedekatan seorang anak dengan ibunya. Pengawal Merkel tak terlihat berusaha mencegah, seperti yang biasa mereka lakukan.

* * * *

Antusiasme masyarakat Jerman belakangan lekas bergeser, setidaknya jika menyimak laporan stasiun televisi ARD yang disiarkan awal Oktober lalu. Dari jajak pendapat berjudul "Deutschlandtrend" yang dilakukan terhadap lebih dari 1.500 responden, terungkap bahwa yang menyatakan senang akan kedatangan pengungsi pada September berbalik jadi takut pada Oktober. Bulan lalu, yang senang ada 59 persen responden dan yang takut cuma 38 persen. Bulan ini, yang takut jadi 51 persen, sementara 47 persen menjawab tak takut. Antusiasme itu mulai meredup berganti menjadi kecemasan. "Bagaimana tidak takut, arus pengungsi begitu deras. Kontrol semakin sulit dijalankan," kata Sebastian Lang.

Leif Brändle, 25 tahun, mahasiswa bisnis administrasi di Stuttgart, berpendapat lain. Menurut dia, ketakutan masyarakat tidak mengarah pada banjirnya pengungsi, tapi pada implementasi politik pengungsi itu sendiri. "Pintu dibuka, tapi infrastruktur belum memadai," ujarnya.

Ia menggambarkan, begitu banyak yang datang, sementara akomodasi tak cukup. Akibatnya, pengungsi mesti menunggu begitu lama di dalam aula penampungan bersama ratusan orang lain. "Friksi demi friksi terjadi, akhirnya—seperti bom waktu—meledak. Muncullah insiden," katanya, menyinggung bentrokan di perkemahan berisi 200 orang di Kassel pekan lalu. Perkelahian dengan senjata tajam itu terjadi antara pengungsi Albania dan Suriah, menyebabkan 14 orang luka-luka—tiga di antaranya polisi.

Bagaimanapun, Merkel telah menetapkan paket 4 miliar euro per negara bagian untuk ongkos mengurus pengungsi. Anggaran yang berlaku mulai tahun depan ini lebih besar daripada perkiraan semula, yakni 3 miliar euro. Artinya, biaya mengurus pengungsi bagi 16 negara bagian itu setidaknya berkisar 64 miliar euro. Dana ini diambil dari perolehan pajak negara—menurut majalah ekonomi Fokus, jumlahnya 600 miliar euro (sekitar Rp 9.000 triliun)—dan akan digunakan untuk membangun sekolah baru, menyelenggarakan kursus bahasa, membayar sewa rumah atau apartemen, membangun rumah-rumah penampungan baru, dan sebagainya.

Brändle melihat semua itu sebagai "rencana bagus yang terlambat". Sebab, "Pengungsi sudah menjadi krisis di sini. Sama seperti rencana bantuan miliaran euro dari Uni Eropa ke negara-negara pengelola pengungsi, kenapa baru sekarang dilaksanakan, pada saat pengungsi sudah bergerak ke Eropa?" ujarnya.

Menurut Brändle, salah satu penyebab tindak kejahatan adalah kebosanan dan depresi. Pengungsi tinggal di tempat yang sempit. Setiap hari mereka hanya makan dan tidur. Mau bekerja juga susah, karena pendidikan tak memadai dan sering kepentok birokrasi, yakni pengungsi baru bisa bekerja jika tak ada orang Jerman yang mau mengisi lowongan pekerjaan itu. Mirip perlakuan terhadap warga kelas dua. Pekerjaan yang masih terbuka cuma sebagai pengangkut sampah, pekerja umum, dan pekerja kasar lain. Banyak yang tak sudi bekerja bergelimang kekotoran seperti itu, dan mulai berkeliaran dan berbuat keonaran.

Mendapat legitimasi status sebagai pengungsi juga tak gampang. Pelamar harus menunggu 6-7 bulan. Itu pun tak ada jaminan dikabulkan. Pengadilan harus berhasil membuktikan bahwa pelamar benar-benar berasal dari negara yang tak aman. Tahun lalu, dari 7.900 yang melamar, cuma 17 yang dikabulkan.

Keberuntungan lebih banyak diterima pengungsi yang punya kesempatan mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. "Sejak dulu, saya tahu pendidikan di Jerman sangat bagus," kata Mohammad, 18 tahun, pelajar sekolah menengah atas asal Suriah. Begitu ia sampai di Jerman pada Juni lalu, kesempatan itu yang pertama dicarinya. Ia berencana melanjutkan studi ke Hamburg, "Dan berusaha menjadi warga yang baik," ujarnya.

Polisi mensinyalir pelaku kejahatan umumnya pengungsi yang menganggur. Jumlahnya semakin banyak seiring dengan jumlah pengungsi yang datang. Kejahatan itu berupa perampokan, perampasan, penghinaan, tindakan kekerasan, dan tindak kriminal lainnya. Selain itu, ada pelecehan seksual, percobaan pemerkosaan, dan perdagangan obat bius. "Perempuan jadi takut jalan sendirian. Begitu juga orang-orang tua. Mereka tak berani lagi ke gereja sendirian karena sudah banyak kasus kekerasan terhadap orang tua di jalan-jalan," kata Annette Jentsch, dokter anak di Braunschweig.

Keresahan masyarakat semakin menjadi-jadi melihat arus pengungsi yang terus mengalir sampai hari ini. "Jerman punya keterbatasan menampung pengungsi," ujar Presiden Joachim Gauck kepada wartawan. "Banyak negara menjual senjata kepada para diktator. Akibatnya, terjadi perang di sana-sini. Negara tak lagi aman dan penduduk lari mengungsi. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Negara-negara penyebab perang itulah. Rusia, Amerika, dan Jerman adalah tiga negara besar penjual senjata," kata Brändle, mencoba mengurai penyebab membanjirnya pengungsi di dunia.

Masalah yang pelik. Tapi, bertepatan dengan peringatan "Deutsche Einheit" atau Jerman Bersatu, 3 Oktober, ada optimisme yang dicoba disebarkan. Pada hari itu, 25 tahun lalu, Jerman Timur dan Jerman Barat bersatu kembali setelah terpisah pasca-Perang Dunia II. Dari peringatan hari istimewa itu, Jerman berharap pengungsi juga kelak bisa bersatu, berintegrasi dengan kultur masyarakat Jerman. "Inilah tantangan kami," ujar Altmaier. Dengan tenang Merkel berkata, "Wir schaffen das (kita pasti bisa)."

Sri Pudyastuti Baumeister (Muenchen, Frankfurt, Berlin)


Skema Uni Eropa untuk Pengungsi

Parlemen Eropa menyetujui proposal untuk merelokasi 120 ribu pengungsi dan pencari suaka dari Italia, Yunani, dan Hungaria ke negara-negara lain anggota Uni Eropa. Proposal Komisi Uni Eropa ini dipublikasikan pada 9 September lalu sebagai tanggapan atas banjir kedatangan pengungsi melalui perbatasan-perbatasan Uni Eropa.

Posisi pemungutan suara untuk meloloskan naskah proposal itu adalah 370 suara mendukung, 134 menentang, dan 52 abstain. Seperti sebelumnya, mayoritas anggota yang setuju meliputi pula kelompok sosialis, kelompok kiri radikal, dan kelompok "hijau" bersama kelompok Kristen-Demokrat serta Liberal-Demokrat. Kaum konservatif menentang, begitu pula kelompok sayap kanan.

Jumlah yang disebutkan dalam proposal baru merupakan tambahan atas skema sebelumnya, yang mencakup 40 ribu pengungsi. Proposal terdahulu ini telah disetujui Parlemen Uni Eropa dan diadopsi menteri-menteri dalam negeri Uni Eropa pada sidang terakhir mereka.

Alokasi Pengungsi per Negara Anggota*

  • Belgia 4.564
  • Luksemburg 440
  • Belanda 7.214
  • Swedia 4.469
  • Finlandia 2.389
  • Estonia 373
  • Latvia 526
  • Lithuania 780
  • Portugal 3.074
  • Spanyol 14.931
  • Prancis 24.031
  • Jerman 31.443
  • Austria 3.640
  • Cek 2.978
  • Polandia 9.287
  • Slovakia 1.502
  • Slovenia 631
  • Kroasia 1.064
  • Rumania 4.646
  • Bulgaria 1.600
  • Malta 133
  • Siprus 274
    *Diadopsi Parlemen Eropa pada 17 September 2015

    Krisis Pengungsi Laut Tengah

  • 367.000 orang menempuh perjalanan melalui laut sepanjang tahun ini menuju Eropa, sebagian besar untuk meninggalkan konflik dan ketidakamanan di Timur Tengah
  • 4 juta pengungsi dari Suriah terdaftar di negara seperti Yordania, Libanon, Irak, dan Turki
  • Italia menampung lebih dari 121.000 pendatang baru sejauh ini
  • 244.800 pengungsi berhasil mencapai Yunani
  • 5,2 juta orang di Irak yang didera konflik membutuhkan bantuan kemanusiaan
  • Hanya 37 persen kebutuhan dana untuk operasi Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) di Suriah yang bisa dipenuhi
  • 12,2 juta orang di Suriah sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan
  • Turki hanya bisa memenuhi 21 persen kebutuhan dana untuk memenuhi kebutuhan pengungsi pada 2015

    Sumber: VoteWatch, Islamic Relief


    Sambutan di Ujung Lorong Gelap

    Perjalanan ratusan kilometer penuh bahaya dan risiko itu tak berakhir sia-sia. Warga Jerman menyambut mereka dengan uang, baju, sepatu, mainan anak-anak, piring, gelas, selimut, seprai, lemari, tempat tidur, meja-kursi, juga sepeda. Untuk mengorganisasi sumbangan yang amat banyak itu, Niels, 31 tahun, desainer grafis di Hamburg, menyewa aula seluas 11 ribu meter persegi di ruang pameran.

    Lebih dari 30 sukarelawan bekerja sejak pagi hingga sore, menyortir semua barang masuk. Sepatu perempuan dipisahkan dari sepatu laki-laki; yang besar dipisahkan dari yang kecil. Mainan anak-anak ditumpuk jadi satu. Berbungkus-bungkus peralatan higienis, deo, sabun mandi, pasta dan sikat gigi, serta tisu, dipak dalam ratusan karton, siap diangkut truk dan disalurkan ke tempat-tempat penampungan dan stasiun-stasiun kereta api.

    "Saya sampai enggak sempat melihat matahari saking sibuknya bekerja. Tapi di sini saya merasa hidup saya berguna untuk orang lain," kata Dominik, 25 tahun, seorang disc jockey.

    Para relawan berasal dari berbagai latar belakang profesi: mahasiswa, manajer, pengusaha, seniman, dan sebagainya. Dari Muenchen, Katrin, 24 tahun, dan Lara, 25 tahun, dua mahasiswa arsitektur yang iba melihat pengungsi dihalau petugas Hungaria dengan kekerasan, berinisiatif membantu pengungsi agar bisa selamat sampai ke Jerman.

    Kedua gadis berambut pirang itu menggalang dana di kampus dan menyulap mobil pickup pacar Katrin menjadi "kios". Mereka mengisinya dengan berbagai kebutuhan praktis yang tertata rapi dalam rak-rak: biskuit, cokelat, buah, berbagai macam minuman, sabun, handuk, dan tisu. Juga payung, ponco, dan termos kecil berisi kopi atau teh hangat. Dari pinggir jalan utama yang menghubungkan Salzburg di Austria dan Muenchen di Jerman, kedua perempuan itu membagi-bagikannya kepada pengungsi yang lewat.

    "Kami berasal dari negara mapan. Semua ada. Kami bisa memilih dan menggunakan kesempatan sesuai dengan kehendak kami. Tapi mereka tidak. Harapan mereka hancur bersama bom yang berjatuhan setiap hari," ujar Katrin mengungkapkan alasan menciptakan aksinya itu. Bukan cuma Katrin, banyak relawan muda yang spontan menetaskan berbagai ide untuk membantu pengungsi.

    Mereka memborong hampir semua kebutuhan sehari-hari di pasar-pasar swalayan—sampai-sampai pasar swalayan harus meminta maaf kepada pembeli karena rak-rak kosong. Lewat organisasi FlĂ¼chtlinge Willkommen, empat mahasiswa dari berbagai fakultas di Berlin, Mareike Geiling, Jonas Kakoscke, Golde Ebding, dan Lena Grote, menawarkan tumpangan murah. Lewat akun Facebook, mereka mengajak siapa pun yang mau berpartisipasi berbagi rumah atau kamar dengan pengungsi. Uang sewa 3-50 euro sebulan ditanggung organisasi. Lebih dari 90 kota besar—Dresden, Dortmund, Darmstadt, Leipzig, Koeln, dan sebagainya—ramai-ramai menyambut ajakan itu. Tawaran bahkan datang pula dari Austria.

    Upaya memuluskan jalan ke Jerman juga dilakukan Anton. Ia bersama 200 pemilik mobil pribadi lain berkonvoi menuju desa-desa perbatasan Austria-Slovenia, Heiligenkreuz, Bad Radkersburg, dan Nickelsdorf, mengangkut pengungsi yang tertahan di situ ke Muenchen, yang berjarak sekitar 400 kilometer.

    "Jerman amat baik kepada kami. Hal seperti ini tidak kami dapatkan bahkan di negara Islam seperti negara kami," ujar Hamid, 18 tahun, pengungsi berkaki satu yang telah menempuh perjalanan selama hampir 40 hari dari Afganistan. Bantuan cuma-cuma juga digelar para tenaga medis.

    "Banyak anak-anak yang demam, sakit tenggorokan, dan luka-luka kakinya karena terlalu jauh berjalan" kata dokter anak Pia Skarabis, aktivis aksi Medizin hilft FlĂ¼chtlinge (bantuan kesehatan buat pengungsi) di Berlin. Banyak relawan mengajarkan bahasa Jerman dua kali seminggu di kamp-kamp pengungsi, seperti dilakukan bekas guru sekolah dasar Sabine Gross. "Saya senang melakukannya," ujarnya kepada Tempo di Duisburg.

    Lewat Freundeskreis FlĂ¼chtlinge, yang didirikan pada 2014, Leif Brändle, 25 tahun, dan kawan-kawannya membantu 300 pengungsi dari berbagai negara berintegrasi dengan masyarakat sekitar di Winnenden dan Leutenbach, Stuttgart. Di sana, para pengungsi diajak bercocok tanam, membuka workshop bengkel sepeda, atau minum kopi bareng. "Moto kami adalah hidup berdampingan. Tidak peduli dari mana asalnya, semua orang di planet ini diterima dengan baik di Jerman," kata Brändle.

    Sri Pudyastuti Baumeister

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus