Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLAWANAN bekas Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo sangat berbahaya bagi pemberantasan korupsi. Dia telah melucuti kewenangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi lewat sidang praperadilan atas korupsi pajak PT Bank Central Asia Tbk. Hadi menang, status tersangkanya dilepas.
Kini dia juga menyeret tim Inspektorat Bidang Investigasi Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk kasus yang sama. Menggugat ke sana-kemari, permainan Hadi semakin banal. Anak Hadi, Aryadi Jaya, juga mengadukan Hadi Rudjito ke polisi atas tuduhan memberikan keterangan palsu. Rudjito adalah inspektur jenderal saat investigasi itu berlangsung. Kepolisian pun telah mengeluarkan surat perintah penyelidikan sejak 3 Juli 2015.
Perang telah dikobarkan Hadi. Ratusan kasus lain yang ditangani penyidik KPK bisa berantakan gara-gara jurus mabuk Pak Pung—begitu Hadi biasa disapa. Auditor-auditor di kantor Inspektorat Jenderal, yang selama ini berusaha menjaga duit negara, bisa gemetar setelah ada "badai" Hadi Poernomo ini.
Sengkarut kasus Hadi bermula dari keberatan BCA atas tagihan pajak pada 1999. Kala itu BCA mengklaim hanya membukukan laba Rp 174 miliar. Namun Direktorat Jenderal Pajak mengoreksi laba itu menjadi Rp 6,78 triliun dengan memasukkan pengalihan sejumlah aset—termasuk piutang BCA yang dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Jadi, negara seharusnya menerima pajak BCA Rp 375 miliar.
Pada Juli 2003, BCA melayangkan keberatan. Tim Direktorat Pajak Penghasilan menyimpulkan keberatan BCA harus ditolak dan rekomendasi ini disampaikan ke Hadi Poernomo. Namun orang nomor satu di Pajak itu malah mengeluarkan nota yang isinya menerima keberatan BCA dan membiarkan bank itu melenggang tak membayar pajak. Belakangan, setelah Hadi Poernomo lengser, tim investigasi Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan melakukan audit dan menyimpulkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh Hadi. Hasil audit inilah yang dijadikan dasar KPK menjerat Hadi.
Manuver hukum Hadi ini tak bisa dibiarkan. Perlawanannya bisa menggerogoti pemberantasan korupsi secara sistematis. Semestinya kepolisian, hakim, dan KPK bersama-sama melawannya. Namun kesatuan suara tiga lembaga itu dalam pemberantasan korupsi adalah hal langka di negeri ini. Upaya komisi antirasuah mengajukan peninjauan kembali atas kasus praperadilan Hadi semestinya didukung.
Gugatan Hadi di Pengadilan Tata Usaha Negara seharusnya juga ditolak. Argumennya sangat dangkal. Dia menyebutkan hasil audit itu didasari keterangan palsu mantan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Hadi Rudjito. Untuk memperkuat gugatannya, Hadi juga mengadukan Rudjito ke kepolisian. Ini hanya akal-akalan Hadi. Gugatan itu jelas salah subyek atau error in persona karena laporan audit tak dibuat langsung oleh Rudjito, tapi oleh tim.
Publik sangat berharap para penyidik di kepolisian dan hakim tak gampang meloloskan gugatan PTUN, praperadilan, gugatan pencemaran nama, dan semacamnya. Mereka seharusnya menutup rapat-rapat peluang koruptor melakukan trik kotor seperti itu.
Tak selayaknya KPK dan Kementerian Keuangan menyerah. Gerakan penggembosan pemberantasan korupsi itu tak boleh dibiarkan tanpa perlawanan sama sekali. Rudjito pun seharusnya dianugerahi penghargaan. Sebab, gara-gara praktek lengit Hadi itu, menurut hitungan KPK, kerugian negara kini membengkak hingga Rp 2 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo