Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Suluk Tapel Adam di Frankfurt Lab

Ensemble Modern, kelompok musik papan atas Frankfurt, memainkan karya delapan komposer muda kita. Bebas bereksperimen.

12 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para malaikat angiring, wus sewu tahun lamine
Hangabekti ing Pangeran, wus djangkep sewu warsa
Idjaji wau tumurun, ingkang sinedya ing manah....

Tepuk tangan panjang menggema di Frankfurt LAB, Frankfurt am Main, pada 6 Oktober lalu saat konduktor Franck Ollu dari Ensemble Modern Frankfurt menyelesaikan karya Gatot Danar Sulistyo, 35 tahun, berjudul Mihrab. Ini bagian terakhir dari program pementasan Ruang Suara yang menampilkan karya delapan komposer muda Indonesia. Darasan suluk kisah kelahiran Nabi Adam yang dijumbuhkan dengan "dentuman-dentuman" perkusi, nyaring dengan barisan brass trumpet, trombon, serta gesekan cello dan violin dalam karya Gatot, mungkin tak cuma aneh bagi telinga penonton Jerman, tapi juga suatu pengalaman baru bagi penonton Indonesia yang hadir.

Malam itu sebuah petualangan musikal terjadi. Ensemble Modern dikenal sebagai ensemble papan atas di Eropa. Grup yang dibentuk pada 1980 ini suka memainkan berbagai karya komposer avant-garde dan kerap melakukan perjalanan dari Afrika sampai Amerika Latin. Poster yang ditempel di Frankfurt LAB menunjukkan bahwa mereka baru saja melakukan pentas kolaborasi dengan sebuah kelompok Gagaku (musik kuno istana Jepang). Benturan instrumen Timur dan Barat artinya bukan hal asing bagi mereka. Malam itu, di Indonesia LAB, festival yang menyongsong pemilihan Indonesia menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015, mereka mencoba menyelami pemikiran komponis muda kita. Komponis yang di jagat musik kontemporer kita sendiri mungkin belum cukup dikenal.

Rrrr..., brrr..., brrr.... Hrggg.... Senggakan dan bunyi-bunyi tak beraturan yang keluar dari mulut Joko "Porong" Winarko yang ditingkapi Ensemble Modern menjadi motor utama karya Gema Swaratyagita, 31 tahun, Da–Dha-Dah Da–Dha-Dah. Mula-mula para musikus Ensemble Modern memasuki ruangan dengan menepuk-nepuk instrumen masing-masing. Ada yang membawa tampah dan mengoser-oserkan potongan kecil bambu-bambu kecil di dalamnya. Karya Gema bertolak dari sajak "Ursonate" ciptaan seniman dada Jerman, Kurt Schwitter (meninggal pada 1948). Schwitter menghasilkan karya kolase obyek, eksperimen alfabet dan tipografi serta sajak-sajak "onomatope" yang berdasarkan permainan unsur fonetik dari pengucapan. "Saya ingin menuangkan puisi bunyi Schwitter ke dalam komposisi," kata Gema.

Gema, lulusan sastra Indonesia Universitas Airlangga, agaknya cocok menggarap pusi Kurt Schwitter. Sebab, ia pernah belajar privat komposisi dari Slamet Abdul Syukur (almarhum), komponis eksperimental yang suka memberi perhatian pada bebunyian "kecil". "Saat belajar ke Mas Slamet, saya seperti bayi yang langsung disuruh minum bir," kata Gema. Dalam komposisinya, ada bagian para anggota Ensemble menampilkan suara bagongan, suara khas punakawan dalam wayang sebelum melakukan dialog. Juga ada adegan mereka meremas-remas potongan kertas menimbulkan suara kresek-kresek dan melemparkannya ke arah penonton.

Adapun M. Arham Aryadi Antara, 26 tahun, lulusan jurusan musik Universitas Pelita Harapan, menampilkan Eruption, karya yang terinspirasi letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Kita tidak mendengar bunyi ledakan kuat, tapi suasana mengarah ke beberapa letupan. Mula-mula para anggota Ensemble menepuk-menepukkan dua batu koral putih kecil. Selanjutnya menampilkan "cipratan-cipratan" bunyi yang digabung dengan rekaman suara sekitar dan soundscape dari jalanan di Jakarta dan Frankfurt. "Saya mengeksplor permainan timbre, warna bunyi," kata Arham.

Semua komponis ini terpilih dari hasil seleksi Ensemble Modern di Jakarta, Oktober 2014, yang difasilitasi Goethe-Institut. Dua puluhan komponis melamar, delapan diterima. Selain Gatot, Gema, dan Arham, ada Ris Banbos, Joko "Porong" Winarko, Taufik A. Adam, Dewa Ketut Alit, dan Stevie Jonathan Susanto. Setelah lolos seleksi, mereka diundang ke Frankfurt pada Januari 2015. Mereka dibawa ke sarang Ensemble Modern dan bebas meminta para anggota Ensemble menggunakan instrumen apa saja untuk komposisi mereka. Ensemble membantu merumuskan ide. Mereka memberikan pendamping untuk menuliskan partitur. Proyek ini lebih sebagai proyek tumbuh bersama.

Pada akhir September, rata-rata karya mereka baru selesai. Ensemble Modern secara cepat mempelajarinya. Stevie Jonathan Susanto, 23 tahun, menampilkan sebuah layar yang menampilkan video matanya sendiri. Di panggung, ia memadukan suara rebab, cello, violin, violla, dan piano yang dimainkan dengan cara juga dipencet senarnya. Tiap tekanan tertentu, mata di layar tergeser-geser seperti juling dan melirik. "Itu sebenarnya dua video yang saya tumpang-tindihkan hingga bola matanya seperti menjadi empat," kata Stevie. Karya Taufik Adam, 40 tahun, Balayia, yang memadukan suara bansi dan serunai dan Ensemble, termasuk yang paling kokoh strukturnya. Warna Minang menghablur dalam instrumen Barat dan mendapatkan kepadatan baru. Itu juga karya Ris Banbos, 42 tahun, Singgah Lah Singgalang.

Akan halnya Gatot untuk karya Mihrab, ia melakukan riset terhadap cara dukun Gunung Kawi merapalkan mantra dalam upacara selamatan. Ia kemudian tertarik mengangkat serat Tapel Adam untuk komposisi. "Serat ini berbicara tentang peniupan roh ke dalam tubuh Nabi Adam," tuturnya. Ia membuat komposisi untuk 16 instrumen Barat dari brass sampai perkusi, dan itu dibenturkan dengan serat Tapel Adam yang dilantunkan dengan berbagai variasi: dari seperti orang membaca cepat sampai ditembangkan. "Kontrasnya yang saya cari. Ada simetri yang tak terduga atau yang tak terprediksi," katanya. Itu terasa saat suluk berbenturan dengan interlocking brass.

Mihrab adalah karya kedua Gatot yang menggunakan mantra. Tahun sebelumnya, ia menggunakan mantra Jayabaya untuk sebuah komposisi yang dimainkan Dutch Chamber Music Company di Belanda. "Teks Jangka Jayabaya saya jadikan lagu .Yang sekarang lebih eksperimental." Gara-gara kerja samanya dengan Ensemble Modern, Gatot mengaku memiliki ide yang lebih liar untuk komposisinya ke depan. "Perbenturan sulukta Jawa kuno dan musik kontempter Barat penuh kemungkinan. Serat Wedhatama, misalnya, bisa dijadikan aria diiringi orkes."

Dewa Ketut Alit menyajikan Open My Door. Alit telah berpengalaman mengajar gamelan selama 10 tahun di Massachusetts Institute of Technology, Amerika. Dia banyak menciptakan komposisi gamelan kontemporer. Komposisinya, Techno Gong, dimainkan kelompok Gamelan Electrica dari Amerika dengan konduktor Evan Ziporyn. Ia pernah menciptakan gamelan dengan sistem tune seperti elektronik. "Karya saya, Ginetic, dimainkan kelompok Gamelan Salukat dari Amerika dengan gamelan elektrik itu," katanya. Dan, dengan Ensemble Modern, ia membuat eksperimen lagi. "Karya gamelan saya yang penuh konsep lapis bunyi untuk pertama kali saya tuangkan semuanya dalam instrumen Barat."

Karya Joko Porong, Krotoguns, juga menarik. Ia ingin membawa dinamika rebana Kuntulan di Banyuwangi ke dalam ekspresi Ensemble. Menurut dia, rebana mencerminkan suasana naik-turun ombak di lautan. Ia meminta para musikus Ensemble mengenakan giring-giring di kaki dan mengentak-entakkannya saat memainkan instrumen. "Sayang, entakannya kurang kuat, beda dengan kaki orang Banyuwangi," katanya.

Malam itu terlihat betapa Ensemble Modern yang terkenal itu begitu rendah hati dan membuka diri. Dalam latihan, mereka mau melakukan apa saja yang diminta. Tatkala Arham meminta para anggota Ensemble berulang-ulang mengumur air di tenggorokan dengan bunyi keras, mereka mau melakukan. Juga saat Joko Porong meminta pemain klarinet bas, Nina Janseen Deinzer, membenamkan bagian bawah klarinetnya ke ember yang diisi air untuk menimbulkan efek suara krotok..., krotok..., Nina tak keberatan. "Saya malah ingin tuangkan Vodka," ujarnya bercanda. "Mereka tidak menganggap kami sebagai komponis pemula. Mereka antusias menyelami pemikiran kami karena ide-ide komponis Indonesia sesungguhnya masih menjadi misteri bagi mereka," kata Gatot.

Seno Joko Suyono (Frankfurt)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus