Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bahwa Sultan dari Yogya sudah lama diketahui memiliki sejumlah kontak tetap dengan berbagai kelompok Islam. Di Kedu Selatan dan di Yogya, ide Darul Islam diangkat menjadi Angkatan Perang Sabil, di mana Sultan Yogya menjadi pelindung dan pemimpin spiritual....".
Cuplikan dokumen rahasia laporan informan Inlictingen Dienst atau Dinas Intelijen Belanda itu tersimpan di Het Nationaal Archief (Arsip Nasional) Belanda di Den Haag. Laporan itu mencatat peran dan dukungan Sultan Hamengku Buwono IX kepada Darul Islam dan laskar Perang Sabil di Kedu Selatan.
Menurut laporan bernomor 9253 dengan sandi TRC.TPC.W.Java 20/10.49 C3 itu, tindakan Sultan dilatarbelakangi motif pribadi dan ketakutan akan kehilangan kekuasaan.
Sultan memang selalu dalam pengawasan Belanda. Selain dokumen rahasia bertarikh 21 Oktober 1949 itu, di Arsip Nasional tersimpan banyak catatan lain yang cukup detail dan berbagai guntingan koran tentang sepak terjang Hamengku Buwono IX.
Misalnya, ada laporan informan Dinas Intelijen Belanda tentang pertemuan rahasia pada 4 Agustus 1949 di Oranje Hotel, Surabaya. Di antara yang hadir tercatat, Sultan HB IX, Menteri Penerangan Roeslan Abdulgani, dan Staf TNI Kolonel Nasution. Catatan Nomor 2105/J.Z. yang ditandangani Kepala Dinas Intelijen N.K den Exter itu menyebutkan mereka menginap di kamar 60, 73, dan 76.
Belanda bahkan memata-matai sepak terjang HB IX sejak dia bersekolah di Negeri Tulip itu pada 1930. Saat itu Sultan masih seorang pangeran, bernama Gusti Raden Mas Dorodjatun.
Secara teratur De Raadsman voor Studereenden atau Dewan Pembina Kaum Pelajar melaporkan tindak tanduk Dorodjatun dan pelajar dari Hindia Belanda lainnya kepada Ministerie van Kolonien, yakni Kementerian Urusan Jajahan. Tugas pembina terutama menjauhkan mahasiswa Indonesia dari urusan politik.
Dalam buku A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta, John Monfries menulis, selain Dorodjatun, mahasiswa Indonesia yang menarik perhatian pembina pelajar pada 1930-an itu terutama Syarif Hamid Algadrie atau Sultan Hamid dan Mohammad Hatta. Hamid digambarkan sebagai "pemuda yang menyenangkan dan berperilaku sangat baik". Sebaliknya, Hatta dilaporkan sebagai seorang nasionalis, aktivis Perhimpunan Indonesia.
Pembina hampir selalu membuat catatan yang baik mengenai Dorodjatun. Dia dilaporkan sebagai "pemuda yang penuh perhatian", "pribadi yang tenang", dan "menjauhkan diri dari semua aktivitas politik".
Dorodjatun pernah dipanggil menghadap Kementerian Urusan Jajahan lantaran ketahuan menghadiri pertemuan Roekoen Pelajar Indonesia (Roepi). Ketika itu Roepi dan Perhimpunan Indonesia tengah gencar-gencarnya mengkampanyekan nasionalisme Indonesia.
Tokoh penting Roepi antara lain Maruto Darusman dan Djajeng Pratomo, yang selamat dari kamp Nazi di Dachau.
Dalam biografinya, Tahta untuk Rakyat, Hamengku Buwono IX mengatakan tak pernah terlibat kegiatan politik bersama Roepi saat masih di Leiden. "Hanya kadang-kadang saya ketemu Prijono, yang kemudian jadi profesor; Maria Ulfah; Suripno; atau Maruto karena saya memang sengaja lebih banyak masuk di kalangan Belanda," ujarnya.
Selain pemanggilan setelah pertemuan Roepi, Dorodjatun pernah diperiksa lantaran hadir dalam sebuah rapat Nationaal-Socialistische Beweging in Nederland (NSB), gerakan sosialis di Belanda. "Kontan paginya saya dipanggil ke Kementerian Urusan Jajahan, padahal sebenarnya saya hadir hanya karena ingin tahu saja," katanya dalam Tahta untuk Rakyat.
NSB merupakan gerakan sosialis-nasionalis Belanda yang berdiri pada 1931. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi partai besar dan berpengaruh di bawah pimpinan Anton Mussert. Menjelang Perang Dunia II pada 1939, NSB berkolaborasi dengan gerakan fasis Nazi.
Kehadiran Dorodjatun dalam rapat NSB pada 1936 sangat mengejutkan Dinas Intelijen Belanda. Mereka tak tahu persis apa motif di belakangnya, sekadar intrik atau upaya NSB untuk mencari dukungan dari Asia. Maklum, Kementerian Urusan Jajahan ketika itu menganggap Dorodjatun sebagai pemuda yang tenang dan bersih dari kegiatan politik.
Harry Poeze dalam bukunya, In Het Land van Overheerser, mencatat, dalam rapat NSB itu, Dorodjatun "bermain kucing-kucingan" dengan intel yang menguntitnya.
Maraknya penangkapan terhadap kaum Yahudi saat Nazi berusaha menduduki Belanda, yang memuncak pada 1939-1940, menciptakan banyak perpecahan ideologis dalam masyarakat Belanda. Mahasiswa Indonesia juga terbelah, terlebih setelah Nazi menangkap banyak dosen di Universitas Leiden dan membawa mereka ke kamp-kamp pemusnahan.
Menurut Poeze, pada waktu itu mahasiswa Indonesia di Belanda setidaknya terbagi dalam empat kelompok. Pertama, para mahasiswa yang bergabung dalam Perhimpunan Indonesia. Mereka menentang keras aksi pendudukan Jerman atas Belanda.
Berikutnya kelompok mahasiswa Rotterdam dan Leiden-antara lain Sumitro Djojohadikusumo dan Saroso Wirohardjo-yang menganggap aksi Nazi bukanlah urusan mahasiswa Indonesia. Prioritas gerakan mereka adalah melawan pendudukan Jepang di Indonesia.
Kelompok ketiga, para mahasiswa yang mengambil jarak terhadap urusan politik dan lebih mempertimbangkan keselamatan diri atau keluarganya. Banyak di antara mereka bangsawan Hindia Belanda.
Terakhir kelompok yang malah bekerja sama dengan Jerman dan mendaftar sebagai anggota NSB, yang berkembang menjadi partai semi-fasis.
Dalam periode bergolak tersebut, Dorodjatun tidak tampak terpengaruh. Maka, bagi kaum nasionalis Indonesia, sangat sulit membedakan dia dengan para aristokrat lain yang belajar di Belanda.
Di kemudian hari, mengenang masa di Belanda, Hamengku Buwono IX mengatakan dia memang sengaja menghindari pembicaraan tentang politik dengan para mahasiswa Indonesia di Negeri Kincir Angin. HB IX sadar betul bahwa dia selalu diawasi telik sandi, bahkan setelah ia menjadi Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo