Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Daniel Frits Bebas, ICJR: Kita Belum Bebas dari Ancaman Kriminalisasi

Pengadilan Tinggi Semarang yang membebaskan Daniel Frits Maurits Tangkilisan karena terbukti sebagai aktivis lingkungan.

22 Mei 2024 | 15.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Daniel Frits Maurits Tangkilisan. FOTO/facebook.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Nur Ansar menanggapi putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang membebaskan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dari segala tuntutan hukum. Dalam petikan putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 374/PID.SUS/2024/PT SMG dinyatakan, Daniel Frits dibebaskan karena terbukti sebagai aktivis pembela lingkungan.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski Daniel dinyatakan bebas, kata Nur Ansar, majelis hakim yang diketuai oleh Suko Priyowidodo tetap sepakat dengan pendapat majelis hakim Pengadilan Negeri Jepara. "Yaitu perbuatan Daniel merupakan bentuk ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)," kata Nur, dalam keterangan tertulis, Rabu, 22 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan Pengadilan Tinggi Semarang itu, kata Nur, menjadi contoh baik penerapan ketentuan Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP) yang diatur dalam Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023. Keterangan saksi di persidangan Pengadilan Negeri Jepara juga membuktikan bahwa Daniel adalah pembela lingkungan. "ICJR menilai ini adalah dasar majelis hakim Pengadilan Tinggi melepaskan Daniel," kata dia.

Dia menjelaskan, kasus Daniel sejak awal tidak layak diproses. Hal ini memberikan dampak buruk terhadap pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia. "Daniel Frits telah mendekam di balik jeruji setidaknya lima bulan, hanya karena postingannya tentang dampak tambak udang di kawasan Karimun Jawa," ujar Nur. 

Selain itu, Nur mengatakan, putusan itu menunjukkan masih ada penegak hukum yang keliru dalam menafsirkan pasal ujaran kebencian. "Khususnya hak atas kebebasan berekspresi," katanya.

Nur memberikan dua catatan atas kasus Daniel. Dalam konteks laporan terhadap Daniel, yang seharusnya tidak layak diteruskan sejak awal. Sejak berkas perkara ini dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Jepara dengan sangkaan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. "Jaksa sebenarnya bisa menghentikan perkara ini," ujar dia.

Pasalnya, jaksa sudah punya pedoman terkait Anti-SLAPP yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan. Begitu juga di tahap pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Jepara, yang seharusnya dapat mempertimbangkan lebih teliti perihal ketentuan Anti-SLAPP. "Sayangnya, putusan bebas atas dasar Anti-SLAPP baru muncul di tingkat banding," ujar dia.

Menurut Nur, SLAPP digunakan untuk membungkam partisipasi publik dalam menjaga lingkungan hidup. SLAPP telah mengalihkan perdebatan yang sifatnya publik ke ranah sengketa hukum sehingga menguras energi pihak terlapor. Dalam kasus Daniel, kata Nur, tujuan SLAPP itu bisa dikatakan telah terpenuhi.  

Setelah dilaporkan atas ujaran kebencian, Daniel dan pembela lingkungan di Jepara harus mengalihkan sebagian besar energi untuk mengurus masalah hukum. Persoalan ini sudah melenceng jauh dari isu lingkungan. "Negara justru gagal hadir melindungi hak atas lingkungan yang sehat untuk masyarakat," kata dia.

Nur mengatakan, kekeliruan terhadap penafsiran ujaran kebencian masih berlanjut. Pengadilan Negeri Jepara telah keliru menafsirkan perbuatan Daniel sebagai ujaran kebencian. Hakim tidak memiliki pertimbangan yang jelas tentang pro dan kontra di masyarakat, serta tujuan pemidanaan berupa mencegah adanya tindakan main hakim sendiri dari masyarakat.

Nur menuturkan, rangkaian pendapat majelis hakim itu jauh dari esensi pemenuhan hak asasi manusia. Majelis hakim di tingkat banding yang sempakat dengan putusan bersalah Daniel, maka dapat dipastikan kekeliruan pendapat majelis hakim PN Jepara tidak diperbaiki oleh hakim tingkat banding.

Pengaturan ujaran kebencian sebenarnya dapat dibatasi berdasarkan instrumen internasional, seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta adanya perubahan rumusan Pasal 28 ayat (2) dalam UU ITE terbaru, berdasarkan prinsip lex favor reo dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, Daniel harusnya diputus bebas karena tidak terbukti bersalah. 

Penerapan pasal ujaran kebencian harus mempertimbangkan niat jahat orang yang dilaporkan. Dan ujaran yang dilontarkan atas dasar identitas, yang sifatnya melekat dan permanen. "Bukan hanya masyarakat umum," kata Nur. Kasus Daniel yang menimbulkan pro dan kontra itu jelas tidak layak dikategorikan sebagai bentuk ujaran kebencian yang dimaksud dalam UU ITE.

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus