Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teronggok di satu sudut ruang pamer museum, badan perahu itu terlihat kukuh, walau tak begitu besar. Lambungnya tanpa cat, menonjolkan guratan dan serat kayo ba’do atau kayu besi. Tak ada mesin, tak ada paku baja di sana. Semua bagian perahu dirangkai dengan pasak kayu. Layarnya terbuat dari daun rumbia yang dijalin, tergulung rapi. Tiang kapal adalah tripod bambu wulung yang menjulang. Diberi nama ”Hati Marege”, padewakang yang satu ini menyimpan sejarah yang layak dituturkan.
Desember 1987, Hati Marege angkat sauh dari Makassar dengan tujuan Arnhem Land. Dengan Peter Spillet sebagai kapitan perahu, Hati Marege bertekad mengulang pelayaran gagah berani para daeng Makassar berabad lampau. ”Kami berlayar selama 26 hari mengikuti angin dan jalur yang biasa dilalui para pelaut Makassar,” ujar Peter Spillet kepada Tempo. Peter Spillet, 79 tahun (kala itu dia berusia 62 tahun), bersama 13 pelaut Sulawesi Selatan menempuh rute Makassar-Laut Banda-Pulau Timor, lalu terus berlayar ke selatan. Inilah rute yang ditempuh para daeng pelaut di masa lampau.
Peter Spillet, sang kapitan, adalah sejarawan legendaris Australia, kendati di Indonesia namanya tak begitu dikenal. Tapi bagi orang Aborigin, juga Makassar, dia ibarat legenda hidup. Dialah yang berjasa mempertautkan keluarga Matjuwi Burarrwanga dengan keturunan terakhir Husein Daeng Rangka di Makassar. Di usianya yang senja ini, tubuh Spillet tak lagi tegap. Rambutnya seputih asap, menambah pucat wajahnya yang keriput. Semua tenaganya sudah terkikis bersama tahun-tahun yang lewat. Dia hanya bisa berjalan sedepa demi sedepa. Tapi, dari sorot matanya yang tetap tajam bercahaya, orang segera tahu bahwa gelora hidupnya tak pernah padam.
Pelayaran Spillet dengan Hati Marege sejatinya bukan berpangkal pada ruang kosong. Tahun 1960-an, sejarah hubungan Makassar dan Aborigin mulai terkuak. Ketika itu antropolog C.C. McKnight menemukan artifak dan sisa-sisa permukiman di Milingimbi, satu kawasan di Arnhem. Spillet sendiri memulai penelitiannya di Port Essington pada 1972. Di sana, ada catatan di kantor pelabuhan lama tentang kedatangan perahu-perahu padewakang yang dinakhodai orang Makassar di kawasan itu. ”Tertarik untuk mengetahui siapa mereka, saya berangkat ke Makassar pada tahun 1977,” tuturnya.
Dia membekali diri dengan sejumlah hasil penelitian. Di antaranya laporan C.C. McKnight, buku A Voyage to Marege. Dalam lawatan pertama inilah ia bertemu dengan Mangnggelai Daeng Maro. McKnight mencatat, pada awal 1907 Mangnggelai masih ikut berlayar bersama ayahnya, Husein Daeng Rangka, ke Arnhem. Dalam pelayaran itu, Husein Daeng Rangka membawa sepucuk surat dari majikannya, Doeddoe Daeng Tompo (pemilik perahu yang ia bawa berlayar), untuk diberikan kepada Bea Cukai Australia pada tahun 1906. ”Saya tidak percaya akan peraturan baru ini. Tapi, demi kebijakan bersama, saya hanya mengirim satu perahu ke sana untuk melihat bagaimana kondisi di sana,” tulis Daeng Tompo dalam suratnya yang diserahkan Husein, punggawa (sebutan kapten) kapalnya.
Menurut beberapa catatan, sejak akhir abad 19-an pemerintah Australia dari belahan selatan mulai memberlakukan izin bagi setiap perahu yang masuk perairan Australia. Selain pelaut Makassar, ada juga pelaut Bugis, Flores, Bali, bahkan pelaut Jepang—kendati jumlah mereka tak sebanyak orang Makassar.
Kapal yang dibawa Daeng Rangka adalah padewakang terakhir yang masuk di Arnhem. ”Mereka tak pernah kembali lagi ke sana, karena harus membayar sejumlah uang kepada pemerintah Australia,” tutur Spillet, yang mendapatkan keterangan tersebut dari Mangnggelai, yang wafat tak lama setelah bertemu dengannya. Mangnggelai juga sempat bercerita tentang pelayaran para leluhurnya. Ayahnya sendiri berlayar sejak abad ke-19 bersama kakek-kakek mereka.
Menurut sang Daeng, dia memiliki beberapa saudara tiri di Arnhem. ”Ayahnya mengawini dua wanita Aborigin,” ujar Spillet. Keterangan itu dibenarkan saudara perempuannya, Saribanung Daeng Ngane, yang tahu semua cerita itu dari ayahnya. Lalu, mulailah Spillet menelisik ulang semua penelitian—termasuk jumlah daerah yang pernah dikunjungi para pelaut Makassar. ”Sekurangnya ada 96 daerah yang pernah mereka kunjungi. Sebagian besar nama tempat dari bahasa Makassar masih dipakai di Arnhem,” tutur Spillet sambil menunjukkan peta.
Spillet juga berhasil menemukan ”saudara” yang dimaksud Mangnggelai, yaitu Matjuwi, yang tinggal di Galiwinku, Pulau Elcho. ”Matjuwi juga masih ingat penuturan neneknya, putri kandung Daeng Rangka, bahwa mereka masih punya saudara di Makassar,” Spillet menambahkan. Hasil penelitian silsilah dan asal-usul pertaliannya kemudian banyak dipakai sebagai rujukan karena menguak semua missing link. Termasuk, akhirnya menemukan keturunan terakhir Husein Daeng Rangka yang masih hidup di Makassar: Mansjur Muhayang. Mansjur merupakan cucu Mangnggelai.
Setelah satu dekade meneliti, ia mendapat ide untuk berlayar ulang dengan padewakang dari Makassar. Ide ini disambut oleh pemerintah Australia, yang saat itu hendak merayakan 200 tahun koloni Australia. ”Ekspedisi itu dibiayai oleh pemerintah federal dan pemerintah Darwin. Saya berangkat ke Tanah Beru, sebuah kampung pembuat padewakang di pesisir Makassar,” tutur Spillet, yang mahir berbahasa Indonesia.
Awalnya, Spillet mengalami kesulitan karena jenis perahu layar saat itu hampir punah. Rupanya, padewakang memang dirancang khusus untuk pelayaran jarak jauh. Dua bilah kemudinya (rudder) tidak dirancang untuk berbelok-belok. Untunglah dia menemukan Haji Dja’far, satu perakit yang masih tersisa. ”Haji Dja’far tak memerlukan cetak biru. Semua standar dan detail-detail ukuran kapal dibuatnya di luar kepala,” ujar Spillet dengan kagum.
Berbeda dengan pembuatan perahu dari kayu umumnya, pada lunas padewakang dibuat terlebih dahulu lapisan papan lambung dari kayu ba’do (kayu besi). Setelah lunas dan lambung rampung, barulah siripnya dibuat. Lambungnya sendiri landai, berbeda dengan kapal phinisi dari Bugis (lebih dikenal ketimbang padewakang) yang berlambung bulat.
Spillet masih ingat, hal yang paling sulit dikerjakan adalah memasang tiang kapal berupa tripod dari bambu—satu ciri khas padewakang. ”Tiangnya lebih panjang dari badan kapal dan harus kukuh menahan layar utama,” sejarawan itu menjelaskan. Berbeda dengan phinisi yang berlayar tujuh, padewakang hanya punya dua layar.
Karya Haji Dja’far itu diberi nama Hati Marege (Heart of Arnhem Land). Lima bulan waktu yang diperlukan untuk merampungkan perahu ini. Setelah menjalani semua upacara adat, Spillet berangkat. Dan pada 16 Januari 1988, dia berlabuh di Tanah Arnhem. Bukan untuk mencari teripang kali ini, melainkan membawa Mansjur Muhayang—salah seorang awak Hati Marege—untuk bertemu langsung dengan saudara ”jauh”-nya: Matjuwi. ”Mereka menangis berpelukan,” Spillet mengenang.
Atas keberaniannya menjajal ulang pelayaran berabad silam itu, Peter Spillet menunai gelar Daeng Makulle.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo