Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Requiem di Saat Pulang

Kultur maritim Makassar merasuk dalam kehidupan Aborigin di Arnhem Land. Banyak lukisan perahu terpatri di dinding gua.

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Layar di puncak tiang mengembang turun
Kala perahu siap angkat sauh dari selatan
Layar terkembang, terkepak ditiup angin
Menjulang, mengepak, perahu berlayar
Layar terkembang, tiang bergerak-gerak
Dan layar kembali terkepak, menari serta bertutur bersama angin
(Klan Gumatj, Yirkalla)

Kuntum-kuntum bunga segar berwarna-warni tertanam di kepala makam. Bendera-bendera menari di setiap latar makamnya. Tak ada batu nisan di setiap makam selain tiang-tiang totem setinggi dua meter. Di pucuk-pucuk tiang, terpahat besi berbentuk jangkar kapal menantang langit. "Bendera dan kepala tiang itu adalah pengaruh dari kapal pelaut Makassar," ujar Steve Westley, manajer Art Center Galiwinku, kepada Tempo.

Suasana makam di Galiwinku itu terasa begitu hidup, hangat, dinamis. Inilah satu warisan tradisi maritim Makassar yang kental mewarnai kehidupan kaum Aborigin di Arnhem. Syair tembang dari klan Gumatj, misalnya, menjadi requiem-nyanyian kematian-yang aslinya dilagukan saat mengantar para pelaut Makassar yang akan berlayar pulang ke tanah Sulawesi. Mereka menari, menembangkan syair itu di seputar api unggun dalam pesta perpisahan. Requiem itu masih kerap muncul dalam upacara-upacara kematian klan Gumatj dari Yirkalla hingga Pulau Elcho di Arnhem Land. "Lagu itu dinyanyikan berulang-ulang kala ada kerabat mereka yang mati," demikian ditulis C. Berndt dalam laporan antropologisnya.

Dalam kepercayaan Aborigin, kematian adalah perjalanan pulang. Tiang ditegakkan, layar dikembangkan, bendera dilambaikan, jangkar diangkat-ini ritual dalam pemakaman beberapa klan Aborigin. Tak mengherankan, ada puluhan bendera dan tiang yang menghiasi areal makam di Galiwinku. "Kami menyebut tiang itu sebagai wuramu," ujar Datjing Burarrwanga, salah satu keturunan Makassar di Arnhem Land.

Ada rupa-rupa bentuk wuramu. Umpama tiang setinggi dua meter atau berukuran satu meter dengan totem yang dilukisi dan diukir, diberi bentukan kepala manusia di puncaknya. Tegak di bawah rumpun pohon-pohon asam di Arnhem Land, totem-totem itu meniru bentuk nisan Makassar. Dalam artikelnya yang berjudul Macassar and Aborigin, McKnight menulis begini: "Ada tiang yang betul-betul berupa tripod seperti tiang padewakang."

Wuramu juga memiliki arti lain dalam kehidupan spiritual Aborigin, yaitu spirit "Yang Mencipta". Dalam upacara adat inisiasi seorang anak yang beranjak dewasa di keluarga Burarrwanga, misalnya, kata barokallah (berkah Ilahi-Red) dinyanyikan berulang-ulang. Ini seperti budaya muslim yang dibawa pelaut Makassar. "Jika di Makassar ada barokallah, maka pencipta kami adalah wuramu," Datjing mengartikan tembang yang dinyanyikan Matjuwi, ayahnya. Ini membuktikan bahwa pelaut Makassar, yang beragama Islam, tak pernah memaksakan keyakinannya pada kaum Aborigin.

Pengaruh budaya Makassar dalam kehidupan warga Aborigin juga tercatat dalam lagu dan tari-tarian. Salah satu tarian Aborigin yang terkenal adalah flag dance. Di Darwin, banyak terdapat grup tarian flag dance dari berbagai suku. Salah satu yang tersohor adalah Red Flag Dancers. Di Darwin Festival pada Agustus silam, mereka tampil menarik. Dengan tubuh yang diwarnai cat, lelaki-lelaki bercawat menari sembari membawa bendera warna-warni.

"Bendera sejatinya lambaian perpisahan dari perahu-juga dipasang di atas tiang kapal untuk menunjukkan arah angin. Sebelum itu, kaum Aborigin tak mengenal bendera sama sekali," ujar Joanna Barrkman, kurator Museum Art and Gallery Northern Territory, Darwin.

Bendera juga kerap muncul dalam lukisan-lukisan Aborigin. Entah di kanvas, kulit kayu, ataupun media lain. Matjuwi Burarrwanga, misalnya. Dia acap kali melukis figur-figur perahu padewakang lengkap dengan layar, tiang tripod, pedang, parang, rumah Makassar, dan teripang di dalam kanvasnya.

Semuanya digambar secara figuratif dua dimensi dalam empat warna dasar, kuning, merah bata, hitam, dan putih-ciri khas lukisan Aborigin sejak ribuan tahun silam. Warna-warna dasar itu diambil dari material alam kapur, arang, dan bebatuan ocher merah dan kuning yang ditumbuk halus dan diberi air sebelum dijadikan cat. Setiap klan berbeda karakteristiknya, bergantung pada sumber daya alam mereka. Di Pulau Elcho yang kaya akan kapur, umumnya lukisan didominasi warna putih.

Lukisan-lukisan tentang Makassar banyak terpahat di dinding-dinding batu (rock painting). George Chaloupka, peneliti rock painting Aborigin, menemukan puluhan gambar perahu padewakang tersebar di gua-gua Groote Eylandt. Sayang, Chaloupka tak bisa mengetes usia lukisan-lukisan itu karena tak ada unsur karbon (unsur kimia yang diperlukan untuk mengetes usia benda purbakala) dalam materialnya. "Tapi, dari tema-tema lukisannya, dapat saya simpulkan ini lukisan dari abad ke-17 atau abad ke-18," ujarnya.

Lukisan tentang monyet-monyet yang memanjat pohon di Groote, misalnya, adalah cerita yang didapat seorang pria Aborigin sepulang dari melawat ke Makassar. Selain monyet, dia juga melukiskan para wanita Makassar berbalut sarung dan berkulit kuning langsat di samping lukisan-lukisan padewakang. "Ini cara mereka mengekspresikan diri tentang apa yang mereka lihat dan kini menjadi rekaman sejarah," Chaloupka menambahkan.

Kultur melukis secara turun-temurun menjadikan kaum Aborigin di Australia lumayan dihargai di benua itu. Setiap tahun diadakan semacam penghargaan seni bertajuk "National Aboriginal and Torres Strait Islander Art Award". Hadiah utamanya mencapai US$ 40 ribu (setara dengan Rp 360 juta) "Karya seni menjadi pendapatan utama bangsa Aborigin. Tanpa itu, mereka hanya menggantungkan hidup pada santunan pemerintah," tutur Joanna.

Kini, karya-karya Aborigin-selain seni kriya mereka-banyak dipajang di galeri-galeri mewah seantero Australia. Harga lukisan yang telah masuk galeri itu menjulang berkali-kali lipat dibandingkan dengan harga asli dari tangan pelukisnya. Toh, anak-anak suku Aborigin lebih suka menjalani kehidupan apa adanya ketimbang menggenjot produksi berbagai karya seni yang menjanjikan tambahan pemasukan.

Duduk di tanah, mereka berkumpul bersama keluarga, menari, menyanyi, dan menyimak dongeng dari kaum tua-tua tentang tanah leluhur nun jauh di lintas benua, di sebuah pulau bernama Sulawesi. Dongeng berabad-abad itu berkisah tentang tradisi melaut para daeng yang menempuh badai dan samudra untuk menjejaki Arnhem Land:

Tali-tali menggantung ke bawah bagai derai hujan
Mereka pandangi uraian tali dari palang kayu
dari puncak tiang kapal mereka menatap
tali yang menjuntai-juntai.
Lihatlah!
Dia menggantung dari palang kayu,
dari puncak tiang bagaikan derai hujan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus