Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Tragedi Bom Bali

Program kajian Indonesia di sejumlah kampus Australia kini kian sepi peminat. Sampai-sampai, kepala programnya merangkap mengurusi administrasi, mengajar, memberikan bimbingan tugas akhir, dan melakukan penelitian sekaligus.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari empat tahun ini, bilik kerja Rochayah Machali menjadi tempat penampungan buku dan aneka bentuk bahan kuliah kajian Indonesia di University of New South Wales (UNSW), Sydney. Ruangan berukuran sembilan meter persegi itu memuat rak dan lemari buku di kedua sisinya. "Perpustakaan tidak punya tempat untuk semua ini. Paling mereka simpan di ruang bawah tanah," kata perempuan yang menjabat Kepala Program Indonesia sekaligus satu-satunya staf pengajar program itu di UNSW.

Bahan perkuliahan itu, yang sebagian lainnya sudah dibuang karena tak tertampung, menjadi kenangan masa keemasan kajian Indonesia di UNSW pada dekade 1990 hingga tragedi bom Bali 2002. Rochayah masih ingat betul ketika ia baru bergabung dengan kampus itu, pada 1995, para pengajar yang dimotori David Reeve—salah satu Indonesianis terkemuka di negeri koala ini, kewalahan dengan limpahan dana pemerintah Federal Australia untuk mengembangkan kurikulum kajian Indonesia. "Kami sampai mempekerjakan mahasiswa Indonesia di sini untuk direkam suaranya sebagai penutur asli," ujarnya.

Kini, selain menjadi tempat penyimpanan material pengajaran—setelah Reeve pensiun—bilik kerja Rochayah juga kerap menjadi ruang kelas. Di ruangannya terdapat meja dan lima kursi. "Daripada naik tangga ke kelas, mahasiswa lebih suka datang ke ruang saya," katanya. Kamis pertengahan September lalu, misalnya, dua mahasiswa program sarjana yang mengikuti mata kuliah intermediate Indonesian memilih belajar di ruangan itu. Adapun mahasiswa yang terdaftar mengikuti mata kuliah tersebut hanya lima orang.

Dengan hanya satu anggota staf, jurusan Indonesia di UNSW praktis tinggal menunggu ditutup. Bayangkan, Rochayah harus sendirian mengurus administrasi, mengajar, memberikan bimbingan tugas akhir, dan sebagai peneliti juga dituntut menghasilkan karya ilmiah. "Satu jurusan hanya punya satu dosen, menyedihkan," tuturnya.

Mengenai nasib departemen yang dipimpinnya, Rochayah pun pasrah. Menurut dia, empat tahun lalu Dekan Fakultas Sastra dan Ilmu Sosial UNSW berencana menutup Departemen Kajian Indonesia, tapi batal karena larangan pemerintah federal. Karena universitas tak mendapat izin untuk menutup langsung, Jurusan Indonesia "ditutup" secara perlahan. Setelah David Reeve pensiun pada 2007, dekanat tidak menunjuk atau merekrut penggantinya.

Seiring dengan sepinya peminat, Jurusan Indonesia, yang tadinya major (program studi mandiri), mulai 2009 disusutkan menjadi minor, bagian dari kajian Asia. Dampaknya, Departemen Indonesia hanya bisa menawarkan mata kuliah bahasa dan itu pun sebatas mata kuliah pilihan. "Banyak mata kuliah yang dulu kami kembangkan kini didrop," kata Rochayah.

Penurunan minat terhadap kajian Indonesia juga terjadi di Universitas Monash. Menurut Kepala Kajian Indonesia di Universitas Monash, Paul Thomas, sebelum rezim Orde Baru tumbang pada 1998, biasanya ada 20 sampai 30 mahasiswa yang belajar tentang Indonesia, dari tingkat S-1 hingga program doktoral. Tapi sekarang hanya 9-10 mahasiswa (lihat wawancara dengan Paul Thomas).

Dulu Fakultas Pengkajian Indonesia punya tempat sendiri di South Wing lantai tiga di Menzies Building di Universitas Monash di kampus pusat di Clayton. Di sana terdapat ruang kelas yang cukup untuk 40 orang dan sebuah ruang kantor berukuran sekitar 4 x 6 meter. Kini Kajian Indonesia dilebur ke dalam Pusat Pengkajian Asia Tenggara yang bernaung di bawah Monash Asia Institute, yang menempati kampus Caulfield, sekitar tujuh kilometer dari kampus Clayton.

Mantan dosen Studi Indonesia di Universitas Monash, Barbara Hatley, menyatakan bahwa sejak 2000-an terjadi penurunan minat terhadap bahasa dan kajian Indonesia. Pada awal 1990-an, di Monash, kegiatan seminar, workshop, dan pertunjukan teater sering digelar oleh Hatley (sekarang profesor emeritus), pakar yang juga mendalami kesenian Jawa.

Waktu itu, Hatley menambahkan, suasana di Pusat Kajian Indonesia terasa hidup, seolah-olah ada denyut keindonesiaan. Banyak kegiatan seni dan diskusi politik serta kunjungan tamu dari Indonesia, seperti Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, dan W.S. Rendra, yang pernah membacakan puisi. "Grup Teater Gandrik pada 1999 pernah pentas beberapa hari di Alexander Theatre," tutur Hatley.

Penurunan minat studi Indonesia juga terjadi di Universitas Tasmania, tempat Barbara kini mengajar. Menurut dia, makin kurangnya minat mahasiswa belajar tentang Indonesia di kampusnya itu mulai terjadi pada akhir 1990-an. Pada 2000-2002, saat ia baru mengajar di Universitas Tasmania, ada 28-30 mahasiswa yang belajar tentang Indonesia, tapi sekarang tinggal 5-6 mahasiswa.

Lalu, apa yang menyebabkan turunnya minat mahasiswa terhadap kajian Indonesia? Ambruknya rezim Orde Baru boleh dibilang sebagai salah satu penyebabnya. Kini Indonesia tak lagi dianggap misterius dan tertutup. Tapi dampak perubahan politik di Indonesia tak terlalu signifikan.

Sebagai contoh, jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah intermediate Indonesian pada periode 1997-2004 berkisar 30 orang per tahun, tapi pada 2005 dan setelahnya hanya tersisa sepertiganya. Tak pelak, ujar Rochayah, peristiwa bom Bali dan aneka teror di Tanah Air menjadi penyebab turun drastisnya minat calon mahasiswa terhadap kajian Indonesia.

Pendapat senada diungkapkan Dwi Noverini Djenar dan Michele Ford, anggota staf Departemen Studi Indonesia di Universitas Sydney. Setelah tragedi bom Bali, pemerintah Australia mengeluarkan peringatan bepergian ke Indonesia. Akibat larangan ini, sekolah menengah atas tidak mengizinkan muridnya melakukan studi tur ke Indonesia karena alasan keamanan.

Padahal, dari studi tur itulah siswa Australia mulai mengenal dan mencintai Indonesia, lalu memilih jurusan kajian Indonesia ketika memasuki perguruan tinggi. "Ini berdampak pada minat mahasiswa," kata Dwi, yang menjabat kepala departemen di kampus tertua Australia itu.

Meski mengalami penurunan peminat, kondisi kajian Indonesia di Universitas Sydney masih jauh lebih baik dibanding kampus sekota UNSW. Universitas Sydney masih memiliki tiga pengajar tetap dan tiga pengajar tak tetap. Dengan pembagian tugas, para pengajar memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan penelitian dan menerbitkan karyanya di jurnal akademis.

Menurut Michele Ford, meski jumlah peminat menurun, bidang-bidang yang menjadi obyek penelitian justru semakin luas, tak melulu menyoroti kekuasaan dan hak asasi manusia seperti di era Orde Baru. "Ada penelitian tentang bahasa lokal di Indonesia, atau masalah otonomi daerah," kata akademikus yang giat meneliti isu perburuhan Indonesia itu. Menurut Ford, sifat orang Indonesia yang ramah dan terbuka sangat mendukung penelitian.

Tapi beragamnya obyek kajian tentu tak banyak bermanfaat bila minat mahasiswa kian tergerus. Dampak menurunnya minat ini adalah penutupan kajian Indonesia di Universitas Western Sydney. Sedangkan bahasa Indonesia tidak lagi tercantum pada mata kuliah pilihan international studies di Universitas Teknologi Sydney. Selain di Sydney, tiga kampus lain menutup bidang kajian Indonesia sejak 2006, yaitu Universitas Curtin (Perth), Universitas Griffith (Gold Coast), dan Universitas Teknologi Queensland (Brisbane).

Nasib program Indonesia di negeri tersebut berbanding terbalik dengan rekomendasi parlemen yang menyatakan kajian Indonesia—bersama Arab—merupakan prioritas strategis nasional. Rekomendasi itu juga mengharuskan kampus yang akan menutup program kajian Indonesia mendapat izin dari pemerintah federal.

Indonesianis David T. Hill dari Universitas Murdoch, seperti dikutip koran The Australian, menyayangkan kebijakan itu tak didukung oleh penyediaan sumber daya yang memadai. Tanpa dana yang memadai, kampus akan menutup program yang sepi peminat karena dianggap tak menghasilkan uang.

Padahal kajian Indonesia tidak sebatas bahasa, tapi juga pemahaman tentang manusia dan budaya, sehingga bisa meningkatkan kualitas hubungan kedua negara yang bertetangga ini. "Dalam beberapa tahun ke depan, kita terancam kekurangan tenaga ahli yang memahami Indonesia," kata Hill.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus