Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasang-Surut Indonesianis Aussie
Australia pernah melahirkan banyak Indonesianis terkemuka. Jumlahnya menurun akibat perubahan prioritas pemerintah, dan Indonesia dianggap bukan lagi kajian yang "seksi".
Memandang Menzies Building yang menjulang di kampus pusat Universitas Monash di Clayton, Victoria, Australia, waktu serasa mundur ke puluhan tahun silam. Berdiri sejak 1963, gedung berlantai 11 yang menjadi tetenger Universitas Monash itu menjadi saksi bisu lahirnya para Indonesianis, pemikir atau ahli tentang Indonesia, dari Negeri Kanguru.
Di salah satu universitas terbesar di Australia itulah Herbert Feith dan kawan-kawan merintis pendirian pusat studi Indonesia. Dengan semangat menyala-nyala, ketiga cendekiawan itu berhasil mengembangkan pusat studi tersebut. Menempati South Wing lantai tiga Menzies Building, pusat studi itu kemudian menjadi sangat terkenal dan diperhitungkan.
Boleh dibilang Herb Feith-lah motornya. Dia bisa disejajarkan dengan George McT. Kahin dari Amerika Serikat. Sementara Kahin membangun studi Indonesia di Universitas Cornell dan melahirkan Ben Anderson, Daniel S. Lev, serta sejumlah Indonesianis lain, Feith membangun studi Indonesia di Monash dan melahirkan Lance Castles serta sejumlah nama penting lain.
Sepanjang 1960-an hingga awal 1990-an, studi Indonesia di Universitas Monash khususnya dan Australia umumnya mengalami masa keemasan. Diskusi, seminar, workshop, dan pertunjukan kesenian Indonesia acap digelar di kampus-kampus di Australia. Banyak tamu seniman, cendekiawan, dan pakar dari Indonesia berkunjung ke sana. Menurut Kepala Program Studi Indonesia di Universitas Monash, Paul Thomas, data komputer di perpustakaan kampus itu mencatat, hasil riset dan kajian mengenai Indonesia dari semua kampus di Australia lebih dari 4.500 buah—meski tak semuanya karya mahasiswa Australia.
Ambil contoh buku karya Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Buku terbitan 1962 itu merupakan hasil penelitian intensif Feith tentang perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia pasca-Perang Dunia II. Buku ini membuktikan perhatian Feith terhadap sistem politik dan demokrasi di Indonesia serta perdamaian dunia.
Buku karya John Legge, kolega Herb Feith, berjudul Sukarno: A Political Biography menjadi buku yang populer sekaligus penting. Buku ini hasil pengamatan Legge tentang pemimpin karismatis Sukarno yang memprakarsai negara-negara baru merdeka di Asia dan Afrika untuk bersatu di bawah semboyan "The New Emerging Forces" demi mengimbangi dua kekuatan adikuasa: Blok Barat dan Timur. Buku yang diterbitkan pada 1972 itu dipandang telah memberikan kontribusi besar terhadap ilmu sosial dan sejarah Indonesia.
Harold Crouch, dari The Australian National University, sudah tak asing lagi. Karyanya, The Army and Politics in Indonesia, yang diterbitkan Cornell University Press, Amerika, pada 1978, membedah peran militer dalam kehidupan politik Indonesia.
Lalu buku Keith Foulcher yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Buku yang merupakan disertasi Foulcher di Universitas Sydney, Australia, pada 1974 itu menjelaskan kedudukan politik Pujangga Baru—salah satu angkatan dalam kesusastraan Indonesia—dalam peta sejarah perjuangan pembentukan konsep kebudayaan Indonesia.
Media, Culture, and Politics in Indonesia atau dalam versi Indonesia berjudul Media, Budaya, dan Politik di Indonesia, karya pasangan suami-istri David T. Hill dan Krishna Sen, membedah pengaruh budaya dan politik Indonesia terhadap perkembangan media pers di Tanah Air. Karya setebal 248 halaman itu dikategorikan sebagai buku wajib bagi mahasiswa Australia yang ingin belajar kajian Indonesia, khususnya di bidang media pers.
Dari kalangan Indonesianis yang lebih muda, salah satu buku yang penting adalah karya Edward Aspinall berjudul Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Buku yang merupakan tesis dosen The Australian National University itu menjabarkan secara luas bagaimana rakyat, yang mempunyai iktikad besar mengubah sistem politik yang mandek, akhirnya secara kolektif bagai gelombang mampu mengakhiri rezim pemerintah Soeharto. Buku yang terdiri atas sepuluh bagian itu penting bagi mahasiswa Indonesia dan non-Indonesia yang ingin mempelajari studi sosial-politik kontemporer Indonesia.
Nama Aspinall memang tak asing bagi para aktivis prodemokrasi. Sebab, ia sudah melakukan penelitian sebagai mahasiswa di Indonesia pada pertengahan 1990-an. "Saya dekat sekali dengan mereka dan saya mengagumi perjuangan kaum oposan yang dengan keberanian luar biasa berani menentang pemerintah otoriter," ujarnya. "Ketika kawan-kawan saya seperti Wiji Thukul diculik, saya merasa kehilangan."
Tahun 1960-an sampai akhir 1980-an memang menjadi masa keemasan Indonesianis di Australia. Saat itu, banyak terjadi pertukaran mahasiswa antara Indonesia dan Australia. Masa itu meredup sejak 1990-an. Jumlah mahasiswa yang belajar bahasa dan penelitian Indonesia, dari tingkat S-1 hingga S-3, di universitas-universitas di sana makin berkurang. Hingga 2001, universitas di seluruh Australia yang membuka program pengkajian Indonesia berjumlah 28. Tapi jumlah itu sekarang menciut hingga tinggal 15 universitas. Data ini dikemukakan David T. Hill dari Universitas Murdoch, Perth, Australia Barat, dan dilansir koran The Australian pada Februari lalu.
Greg Barton, Kepala Yayasan Herb Feith, Universitas Monash, membenarkan soal penurunan itu. Menurut Barton, minat mahasiswa belajar kajian Indonesia merosot ketika pemerintah Federal di Canberra mengeluarkan travel warning tingkat empat, yang menyarankan warga Australia, termasuk pelajar dan mahasiswa, tidak mengunjungi Indonesia. "Mereka tidak menyadari ada perubahan total di Indonesia," katanya.
Selain itu, prioritas pemerintah Australia sudah bergeser. Di masa pemerintahan Partai Buruh pada awal 1980-an sampai akhir masa kepemimpinan Perdana Menteri Paul Keating pada 1996, Australia dianggap perlu tahu lebih banyak tentang tetangga Asia. Canberra bahkan berperan aktif dalam Kelompok Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Maka dana kajian dan pengajaran bahasa-bahasa Asia mengucur melalui program-program pendidikan, baik tingkat sekolah menengah maupun universitas.
Namun, saat John Howard berkuasa, sejak awal 1997, pemerintah Liberal mulai mengurangi bantuan dana untuk belajar bahasa-bahasa Asia. Howard lebih konservatif dan tidak nyaman dengan kebijakan mendekati tetangga Asia dengan "Look North Policy" yang dikawal Partai Buruh. Pengaruh pemotongan dana itu mulai terasa di kalangan guru dan dosen bahasa Indonesia. Seperti dituturkan Nani Pollard, dosen di Universitas Melbourne, pengajar kajian Indonesia di kampusnya hanya tinggal empat orang. Di Universitas Monash idem ditto.
Setelah Partai Buruh menang di bawah pimpinan Kevin Rudd, yang fasih berbahasa Mandarin, Canberra mulai kembali mengucurkan dana untuk mendukung pengajaran bahasa-bahasa Asia, termasuk Indonesia, melalui National Asian Languages and Studies in Schools Program. Pada 2008, Rudd memberikan dana sekitar Aus$ 62,4 juta untuk tiga tahun. "Memang pemerintah Australia seharusnya lebih banyak memberikan dukungan dana untuk pengajaran tentang Indonesia," kata David Hill.
Meski minat studi Indonesia menurun, topik kajian justru makin beragam, terutama sejak reformasi 1998. Menurut Edward Aspinall, tema kajiannya makin banyak, dari masalah desentralisasi, feminisme, kemerdekaan pers, hak asasi manusia, rekonstruksi Aceh, investasi modal asing di daerah-daerah, hingga masalah lingkungan hidup. "Di zaman Orde Baru, perhatian peneliti terpusat kepada negara, tapi setelah reformasi, mulai melebar ke daerah, ke masyarakat sipil. Jadi, bukan soal negara lagi," ujarnya.
Tragedi bom Bali pada 2001, yang menewaskan ratusan orang, termasuk warga Australia, juga berdampak pada tema penelitian. Menurut Greg Barton, peristiwa itu memicu para peneliti mengungkap soal Islam di Indonesia. Pemerintah pun menyuntikkan dana bantuan kepada lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat, yang mulai "galak" menyelenggarakan konferensi dan diskusi tentang Islam, bahkan mulai menyalurkan dana ke universitas-universitas untuk membuka lembaga kajian Islam.
Memang masa kejayaan Indonesianis di Australia belum kembali seperti dulu. Menurut David Hill, secara nasional jumlah mahasiswa anjlok 40 persen dalam kurun sepuluh tahun terakhir. "Kalau tren ini berlanjut, sebelum 2020, pelajaran bahasa Indonesia akan hilang dari universitas di seluruh Australia, kecuali di Negara Bagian Northern Territory dan Victoria," kata David memperingatkan. Dia khawatir terhadap ketiadaan regenerasi Indonesianis di Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo