Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Baju Koko hingga ’Qisash’

Di Sulawesi Selatan, syariat Islam diterapkan bervariasi. Ada yang mewajibkan baju koko, ada pula yang menghardik maksiat dengan kekerasan.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu siang menjelang salat Jumat di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, awal November lalu. Di sebuah kantor pemerintah, ratusan lelaki memasuki masjid. Mereka mengenakan peci dan baju koko berleher Cina. Yang perempuan tak ke masjid, tapi semua mengenakan jilbab warna-warni. Tak ada yang mengumbar aurat: semua bersih, rapi jali. Di Maros, kabupaten yang mayoritas penduduknya Islam, pergi ke masjid dengan pakaian muslim adalah kelaziman. Yang istimewa, mulai 21 Oktober 2002 pemerintah kabupaten melalui surat edaran bupati mengeluarkan peraturan: semua pegawai negeri pria harus memakai baju koko dan peci pada hari Jumat. Yang perempuan wajib berjilbab sepanjang pekan. Wajib peci hanyalah sebagian bentuk penerapan syariat Islam di Maros. Selain di kabupaten yang terletak 45 kilometer dari Makassar itu, saat ini syariat Islam juga diterapkan di Kabupaten Sinjai di provinsi yang sama. ”Sekarang 90 persen perempuan di Sinjai sudah mengenakan jilbab. Kalau masih ada yang belum pakai, mereka umumnya adalah pendatang,” kata Yahya Abdullah, pemimpin Pesantren Syiar Islam Sinjai, yang getol memperjuangkan syariat Islam di sana. Semangat menerapkan syariat Islam di Makassar telah dimulai pada 1999 ketika forum Kongres Umat Islam memutuskan mendirikan lembaga Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI). Tugas lembaga ini mengatur persiapan penerapan hukum Islam di provinsi itu. Idenya: penerapan syariat Islam akan diperjuangkan dengan memanfaatkan Undang-Undang Otonomi Daerah, yang sudah dilansir pemerintah pusat. Sebagai ketua terpilih Azis Kahar Muzakkar—putra bungsu tokoh Darul Islam Kahar Muzakkar—dan sebagai pelaksana harian terpilih Agus Dwikarna, tokoh yang belakangan ditahan di Filipina karena dituduh membawa bom. ”Kami memperjuangkan syariat Islam secara konstitusional dan mengacu pada konsep Negara Kesatuan RI,” kata Azwar Hasan, salah satu ketua lembaga itu. Sejauh ini yang dimaksud dengan syariat Islam adalah praktek hukum seperti yang terjadi di Arab Saudi. Para pencuri akan dikenai hukum qisash alias potong tangan. Para penzina akan terkena hukum rajam. Tapi, karena menerapkan “hukum keras” semacam ini tak mudah, sejumlah kabupaten memulainya dengan praktek yang enteng. Wajib peci itu hanya salah satunya. Syariat Islam di Makassar bukan tak punya sejarah. Ketika Darul Islam dulu berkuasa di Makassar, di sebagian tempat praktek syariat telah dijalankan. ”Saya melihat sendiri bagaimana pencuri dipotong tangannya dan penzina dirajam di depan penduduk,” kata Yahya Abdullah, kini 53 tahun. Menurut Hermansyah M.R.D., Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Daerah Sinjai, syariat Islam ini dapat memberikan efek jera kepada mereka yang melanggar hukum. ”Hukum manusia seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya bersifat membina,” ia menambahkan. Tapi, bagaimana menentukan seseorang dianggap bersalah atau tidak secara syariat? Inilah soalnya. Mestinya, semua kesalahan ditentukan oleh pengadilan. Tapi di Makassar pengadilan syariat belum ada. Polisi juga tak punya wewenang mengawasi pelanggar syariat. Soal pengawas ini KPPSI telah membentuk Laskar Jundullah. Milisi sipil ini diharapkan bisa menjadi, ”Polisi syariat jika syariat Islam jadi ditegakkan,” kata Iswari Alfarizi, Wakil Ketua KPPSI. Saat ini Laskar Jundullah memiliki 10 ribu anggota. Tapi, karena Jundullah bukan polisi betulan, yang terjadi kemudian adalah ekses. Tahun 2000 lalu laskar ini sempat merazia tempat hiburan malam yang beroperasi di bulan Ramadan. Seperti Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta, mereka merusak rumah karaoke di Hotel Country Inn, Makassar. Entah ada hubungannya atau tidak, setahun kemudian sebuah bom meledak dalam acara KPPSI di Asrama Haji Sudian, Makassar. Akibatnya, dua anggota laskar menjadi korban. Di Sinjai, kasus serupa juga terjadi. Pelakunya adalah Forum Bersama Gerakan Anti-Maksiat (Forbes Gamas). September 2000 lalu mereka menangkap dan membunuh anggota mafia pencuri sapi. Selain itu, mereka juga memukuli Wakil Kepala Polres Sinjai Komisaris Polisi Sappewali dan ajudannya karena di mobil mereka ditemukan botol minuman. Sappewali juga dituding melindungi perjudian dan penjualan minuman keras. Akibat penganiayaan tersebut, beberapa anggota forum itu ditangkap dan enam di antaranya dihukum penjara 10-14 tahun. Di Sulawesi Selatan semuanya terjadi: syariat Islam diterapkan dengan tafsir yang tak seragam. Arif Zulkifli, Syarief Amir (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus