Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Cerita Sabdopalon hingga Primbon

Tan Khoen Swie telah menerbitkan ratusan kitab. Mulai sejarah pembagian Jawa sampai urusan teknik bersenggama.

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kitab itu tampak telah kusam dan mulai la-puk. Sebagian dipenuhi bercak-bercak co-ke-lat- tua. Di atas sampulnya tertera judul Kitab De-radjat Istri dan subjudul Ilmoe Peladja-ran Bikin Koewe-koewe dan Masakan-masak-an. Sementara di bagian bawah sampul itu tercantum nama penerbit: Boekhandel Tan Khoen Swie, Kediri.

Bertarikh 1935, kitab karangan Siti Asidah binti Datoek dari Bukittinggi, Sumatera Barat, itu berisi resep makanan dan kiat masak-memasak. Buku sekitar 30 halaman yang beraksara Latin dan berbahasa Indonesia ejaan lama itu merupakan satu di antara ratusan kitab terbitan Tan Khoen Swie.

Lewat usaha penerbitan yang dirintis sejak 1883, nama Tan Khoen Swie menjulang dan identik de-ngan buku-buku populer, terutama buku yang beredar sepanjang 1915-1950. Buku terbitannya lebih terkenal ketimbang kitab-kitab keluaran Balai Pustaka—penerbit resmi yang berdiri sekitar 1917 dan dibe-kingi pemerintah Hindia Belanda.

Dari sekitar 400 judul, buku terbitan Tan secara umum bentuknya tipis. Bahannya kertas merang. Isinya praktis, bahasanya efektif, dan tak banyak kata-kata mubazir, sehingga mudah dimengerti pembaca umum. Mulanya, penerbit itu menyebarkan buku-buku beraksara Jawa Kuno. Tapi, sejak 1950-an, Tan menerbitkan buku-buku beraksara Latin.

Buku yang diproduksi Tan juga beragam, dari buku masakan, pertanian, wayang, primbon, sastra klasik Jawa, hingga teknik bersenggama. Bahkan sejumlah buku terbitannya, khususnya karya-karya sastra klasik Jawa, kemudian masyhur dan menjadi legen-daris. Misalnya Kitab Serat Darmogandoel.

Darmogandoel versi terbitan Tan berjudul Derma Gandoel, Gantinja Agama Islam. Kitab itu diterbitkan Tan pada 1953 (cetakan kedua), berbahasa Jawa dan beraksara Jawa Kuno. Selain nasihat-nasihat hidup, isi kitab berbentuk puisi Jawa yang tak jelas siapa pengarangnya itu berkisah tentang penyebaran Islam di Jawa dan runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Dalam kitab Darmogandoel juga termuat sebuah- ramalan Sabdopalon. Ramalan itu diucapkan se-orang abdi Prabu Brawijaya, raja terakhir Kerajaan Maja-pahit. Ramalan yang dilontarkan pada 1478 itu berbunyi bahwa genap 500 tahun sepeninggalnya, agama Islam akan diganti dengan agama kebatinan yang disebarkan di seluruh Jawa. Siapa yang tidak terima akan dihancurkan sang abdi yang bernama Sabdopalon itu.

Pada 1920-an, jauh sebelum diterbitkan oleh Tan, Dar-mogandoel pernah dilansir dalam ben-tuk- almanak-. Saat itu, Darmogandoel diprotes masyarakat- Islam dan Cina. Isinya dianggap mencemooh orang Cina, orang Arab, dan menyerang Islam. Pemerintah Hindia Belanda pun lantas melarang peredarannya. Lalu pada sekitar 1990-an, Darmogandoel kembali menuai protes ketika diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Isinya dinilai melecehkan Islam dan berbau pornografi.

Penerbit Tan Khoen Swie juga menerbitkan kitab la-in, Suluk Gatolotjo, sekitar 1940. Beraksara Jawa Ku-no dan berbahasa Jawa, suluk itu berisi perbin-ca-ngan atau perdebatan antara Gatoloco dan Dewi Perjiwati- mengenai hakikat pria-wanita, termasuk perilaku dalam asmaragama dan asal mula terjadi-nya manusia.

Gatolotjo pernah menuai protes pada 1987. Saat itu Ga-tolotjo pernah diresensi oleh dosen Sastra Jawa UGM, Sumiarsih, di TVRI Stasiun Yogya. Buntutnya: su-rat protes melayang dari Kantor Wilayah Departemen- Agama karena dinilai menimbulkan kesan- porno.

Buku lain yang juga cukup terkenal adalah Serat- Ka-latida karya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Kitab itu berisi tentang zaman edan, sebuah masa penuh kekalutan dan ketidakpastian. Sebuah zaman kalati-da- (keragu-raguan). Dari kitab inilah kemudian mun-cul- kalimat yang populer di masyarakat Jawa: ”Saiki za-man edan, yen ora edan ora keduman. Ning sak edan-edane zaman, isih bejo wong eling lan waspa-da-.” Terjemahan bebasnya: ”Ini zaman edan, kalau tak ikut edan tidak kebagian. Tapi segila-gilanya za-man-, masih beruntung mereka yang tak ikut edan.”

Karya terkenal Ronggowarsito lain yang diterbitkan Tan Khoen Swie adalah Primbon Joyoboyo. Kitab itu berisi tentang Jangka Jayabaya, yang me-ngisahkan permulaan zaman berdirinya Pulau Jawa hingga zaman kiamat kubro. Dalam ramalan itu Ronggowarsito membagi tiga zaman. Tiap zaman besar dibagi menjadi tujuh zaman kecil. Dan tiap zaman kecil memiliki rentang waktu sejarah berusia 100 tahun.

Dalam Jangka Jayabaya, yang paling terkenal ada-lah ramalan yang menyebutkan di Tanah Jawa akan da-tang suku bangsa kate, bangsa kerdil. Mereka akan ting-gal di tanah Jawa seumur jagung (tiga setengah bu-lan). Ternyata yang dimaksud adalah zaman pen-du-dukan kolonial Jepang selama tiga setengah tahun. Pa-sukan Jepang memang bertubuh pendek.

Tan Khoen Swie juga menerbitkan buku-buku ke-raton. Misalnya Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV. Serat Jawa klasik berbentuk puisi tembang macapat itu ditulis di Keraton Surakarta sepanjang 1768-1820. Isi serat berbahasa Jawa Baru itu mengenai ajaran etika manusia ideal yang ditujukan kepada keluarga raja, bangsawan, dan hamba di lingkung-an keraton.

Buku keraton lain yang diterbitkan Tan adalah Babad Giyanti. Versi terbitan Tan judulnya Babad Gianti (Babad Soerakarta). Kitab yang berkisah tentang sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari 1755 itu berbentuk tembang macapat berhuruf Jawa Kuno. Babad yang kemudian menjadi terkenal itu dikarang oleh pujangga keraton, Yosodipuro.

Sedangkan satu di antara buku terbitan Tan Khoen Swie yang paling laris adalah Serat Nitimani. Kitab itu karya R. Tanojo, seorang pujangga yang cukup masyhur di era 1940-an. Nitimani merupakan terjemah-an dari Aji Asmorogomo, yang banyak me-ngulas rahasia hubungan suami-istri, termasuk membahas lika-liku bersenggama. Teknik hubungan suami-istri itu digambarkan dengan kalimat yang sangat halus.

Yang juga monumental dan membantu mengubah budaya tutur ke budaya tulis adalah kitab Serat Sastra Harjendra terbitan Tan pada 1929. Slamet Riyadi, ahli sastra Jawa dari Balai Bahasa Yogyakarta, mengatakan, jika saat itu Tan tak menerbitkan kitab yang memuat filsafat Hanacaraka itu, ada keterputus-an generasi yang mencoba mengurai Hanacaraka secara kontekstual. Saat itu, kata Slamet, filsafat Hanacaraka hanya disebarkan secara lisan.

Tan membeli teks asli Serat Sastra Harjendra dari I Wayan Jiwa senilai Rp 25 dan mencetaknya ba-nyak-banyak. Ia mengubah kaligrafi huruf Jawa Kuno ke dalam kaligrafi bergambar manusia. ”Ia mencipta-kan kirata basa (berdasarkan etimologi rakyat), yaitu de-ngan menelusuri ungkapan suku kata. Ia juga meng-utak-atik kata untuk menemukan arti. Contohnya Ca Ra Ka yang bisa dimaknai dengan Cipta, Rasa, dan Karsa,” ucap Slamet.

Begitulah. Saat ini, buku-buku terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie sebagian besar tersimpan di Kediri, Jawa Timur. Sebagian lagi disimpan Yuriah Tanzil di rumahnya di Jakarta. Menurut Yuriah, sekitar 1970-an buku peninggalan Tan pernah ditawar oleh Haji Mas Agung, bos penerbit dan Toko Buku Gunung Agung, untuk ditukar dengan rumah dan tanah di kawasan elite Kebayoran Baru, Jakarta. ”Saya menolak karena Almarhum berpesan agar tidak dijual. Ini warisan turun-temurun,” kata ahli waris Tan Khoen Swie itu menjelaskan.

Nurdin Kalim, Dwidjo U. Maksum (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus