Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seorang Nenek, Sebuah Babad

Manuskrip kuno tentang masa lalu Kediri diterjemahkan. Buku pertama yang menandai kebangkitan penerbit Tan Khoen Swie

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menggenggam sebun-del- naskah yang diketik. Pe-rempuan yang usianya- sudah menanjak ke-69 ta-hun itu menemui Jojo Soe-tjahjo Gani, cicit Tan Khoen Swie, pen-diri penerbitan yang pernah sa-ngat dikenal di Kediri pada a-wal abad ke-20. Dia memperkenalkan diri sebagai pensiunan guru bahasa daerah di SMP Kejuruan Putri Kediri, Jawa Timur. Namanya Siti Halimah Soeparno.

Halimah kemudian menyo-dorkan bundel naskah itu: terjema-han Serat Babad Kadhiri. Ia mengaku sejak 1975 menerjemah-kan babad berbahasa asli Jawa Kuno itu ke dalam bahasa Indonesia dan baru selesai pada 1981. Buku asli babad itu diterbitkan oleh Boekhandel Tan Khoen Swie pada 1932 (cetakan kedua).

Jojo mengenang pertemuan tiga tahun lalu itu. Halimah berpesan kepadanya agar kerja kerasnya menerjemahkan sebuah manuskrip kuno bisa sampai pada khalayak. Dan Senin pekan lalu, buku yang diimpikan Halimah itu diluncurkan bertepatan dengan peringatan hari jadi Kota Kediri ke-1127. Ia tak ha-dir di sana. Halimah meninggal pada 2004. Hanya dua anaknya yang berlinang air mata yang mewakilinya.

Setelah bertemu Halimah, Jojo berusaha meng-hu-bungi beberapa orang agar mau mengedit dan menerbit-kan buku tersebut. Ia tak menjanjikan apa-apa, karena dia tak punya dana sama sekali. Orang-orang inilah yang kemudian justru berinisiatif iuran bersama menerbitkan buku 88 halaman itu.

Serat Babad Kadhiri—judulnya berubah jadi Serat Babad Kadhiri, Kisah Berdirinya Sebuah Keja-yaan—diterbitkan di bawah bendera Boekhandel Tan Khoen Swie. Yuriah Tanzil, janda mendiang Michael Tanzil, anak ketiga Tan Khoen Swie, ahli waris yang sah dari penerbitan itu, mengatakan, ”Ini upaya merevitalisasi catatan penting yang pernah kami publikasikan 74 tahun lalu.”

Inilah buku pertama Boekhandel Tan Khoen Swie sejak berhenti menerbitkan buku setelah sang pemilik meninggal pada 1953. Penerbit ini dikenal sebagai salah satu pelopor penerbitan di Indonesia, jauh sebelum Balai Pustaka berdiri pada 1917. Tan Khoen Swie telah menerbitkan 400 judul buku—puluhan di antaranya tentang babad daerah—sejak 1883.

Serat ini diriwayatkan oleh Mas Ngabei Purbawidjaja, yang kemudian disempurnakan penulisannya oleh Mas Ngabei Mangunwidjaja dari Wonogiri. Mas Ngabei Purbawidjaja menulis serat itu setelah didesak oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melacak sejarah lahirnya Kota Kediri (Nagari Kadhiri). Saat itu, pada 1832, Kediri baru masuk gupermen (peme-rintah jajahan Hindia Belanda). Mas Ngabei Purbawidjaja menjabat beskal (jaksa) di Kediri.

Untuk menjawab desakan i-tu, ia memanggil dalang wayang- kli-tik Ki Dermakanda dari Du-sun- Kandairen, yang dianggap- me-ngu-asai cerita riwa-yat Kediri. Ki dalang ini kemu-dian memin-ta- bantuan mitra-nya, jin yang di-sebut Ki Buta Locaya (Kyai Da-ha), yang menjaga wilayah Ke-diri, termasuk Gunung Kelud- dan Wilis. Buta merasuk ke dalam raga Pak Sondong, se-o-rang penabuh gamelan, yang kemudian menceritakan riwayat Kediri yang didirikan oleh Prabu Jayabaya itu.

Menurut Profesor Dr Edi Sedya-wati, guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang me-nulis pengantar buku, teks serat itu bersumber dari tradisi lisan. Ia sebuah fiksi, meski sebagian pembaca memaknainya sebagai kejadian sejarah yang benar-benar terjadi. ”Pengarangnya sendiri me-nyebut sebagai ‘cerita pedalangan’ yang berarti cerita itu sebagai sebuah rekaan,” ucap Edi.

Uniknya, meski bersumber dari cerita lisan, serat i-tu menyebut dan mengomentari teks-teks lain seper-ti Se-rat Aji Pamasa, Serat Jangka Jayabaya, dan Babad Ta-nah Jawi. Ada pula Serat Jayakusuma yang dise-but- Ki Buta ”bohong semua”. Mangunwidjaja sendi-ri- meng-akui serat yang ia tulis itu bisa tidak cocok de-ngan teks-teks baku yang sudah dikenal, seperti- Pus-taka Raja, Babad Tanah Jawi, maupun Babad De-mak-.

Serat Babad Kadhiri, kata Edi, bisa memberi per-spek-tif baru dan memperkaya konteks budaya dari ma-sa lalu Kediri. ”Ini contoh yang baik dari suatu teks yang dibangun dari tradisi pedalangan,” katanya.

Agus Sunyoto, dosen Universitas Brawijaya Ma-lang, yang menulis buku serial Syekh Siti Jenar dan cerita panjang tentang sejarah Kerajaan Jenggala- dan Panjalu, mengatakan secara ilmiah memang per-lu ada penelitian lanjutan soal kebenaran babad itu. Tapi, Agus menyebut, ”Ada beberapa kebenaran fakta- dan tempat yang bisa dipertanggungjawabkan hingga sekarang.”

Yos Rizal S, Evieta F. Fadjar, Dwijo Maksum (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus