Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBULAN menjelang pencoblosan pemilihan presiden, 9 Juli lalu, Dyah Kartika Rini Djoemadi kebingungan mencari ruangan kantor yang disewakan. Kegiatan kampanye di media sosial kian gencar, ia dan para relawan di Jokowi Advanced Social Media Volunteers (Jasmev) perlu tempat berkumpul untuk memudahkan koordinasi. Selama ini mereka bekerja di tempat masing-masing.
Berbekal uang Rp 50 juta dari kantong sendiri, Koordinator Jasmev ini berkeliling di Menteng dan Kebayoran Baru berburu ruangan. Namun modal yang dikantonginya tidak sepadan dengan harga pasaran di dua kawasan elite Ibu Kota itu. Rata-rata pemilik rumah meminta sewa selama enam bulan. "Uang saya hanya cukup untuk sewa sebulan," kata DeeDee—sapaan akrab Kartika—kepada Tempo, Ahad pekan lalu.
Belum lagi mendapat kantor, Kartika juga mesti menghadiri banyak pertemuan karena aktivitas kampanye kian padat. Salah satunya menghadiri rapat Pusat Informasi Relawan di kantor Partai Nasional Demokrat (NasDem), Gondangdia, Jakarta Pusat, awal Juni. NasDem salah satu partai yang mengusung Joko Widodo menjadi calon presiden. Nah, di acara inilah Kartika bertemu dengan Soetrisno Bachir, mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, yang juga pendukung Jokowi.
Soetrisno tidak asing bagi perempuan 34 tahun itu. Menurut Kartika, pengusaha itu banyak membantu relawan Jasmev memproduksi materi Islam dalam kampanye di media sosial. Di sela perbincangan, Kartika menyisipkan curhat soal susahnya mencari kantor. Tak banyak kata, Soetrisno lalu mengajak Kartika ke sebuah ruangan di gedung sebelah yang masih di kompleks markas NasDem.
Berada di lantai dasar gedung tengah, luas ruangan yang ditunjukkan itu sekitar 75 meter persegi. Oleh Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, ruangan tersebut dipinjamkan kepada Soetrisno untuk markas penyusunan strategi pemenangan Jokowi di kawasan pesisir utara Jawa. Karena ruangan terlalu besar, Soetrisno urung menggunakannya. Dia bermaksud menawarkannya kepada Kartika jika berminat. "Yang ini cocok?" ujarnya. Kartika langsung menganggukkan kepala.
Soetrisno lalu menelepon Surya meminta izin agar ruangan tersebut dialihkan kepada Jasmev. Sejurus kemudian, Surya menelepon balik Kartika dan memberi izin. Kartika sempat bertanya harga sewa ruangan itu, tapi Soetrisno menggratiskan. "Tapi isinya kamu ongkosi sendiri," katanya menirukan Soetrisno.
Tentu saja tak alang kepalang kegembiraan Kartika menyambut bantuan itu. Tak berselang lama, 50 unit komputer desktop dan jinjing sudah memenuhi ruangan. Sejak 6 Juni, relawan Jasmev mulai berkicau dari kantor NasDem. Ada 150 orang yang bekerja dalam tiga shift per hari. Kartika menyebut ruangan itu sebagai war room. Dan "perang" memang kian ditingkatkan!
Di ruangan itu, semua konten materi kampanye dirancang dan diproduksi. Strategi disusun untuk "menyerbu" Twitter, Facebook, Kaskus, dan beragam microblogging. Tentu saja semua ada biayanya.
Untuk ongkos operasional, DeeDee mengaku menghabiskan Rp 500 juta selama Juni-Juli lalu. Ongkos pengeluaran terbesar adalah untuk makan relawan, yang menyedot dana Rp 6,75 juta setiap hari.
Ongkos terbesar kedua adalah untuk penyelenggaraan workshop sekali seminggu sejak Maret hingga Juli. Workshop ini dimaksudkan menjaring relawan baru dan mengajari mereka membuat atribut kampanye sendiri, dari mendesain gambar hingga menyablon kaus. Sekali workshop biayanya mencapai Rp 10 juta. Itu semua, "Murni uang pribadi saya," kata alumnus magister ilmu komunikasi Universitas Indonesia itu.
Kartika adalah pemilik Spindoctors Indonesia, yakni perusahaan yang bergerak di bidang jasa lobbying. Dia memastikan pekerjaannya tidak berhubungan dengan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Untuk semua kegiatan sebagai relawan, dia memastikan tidak menerima bantuan dari politikus pendukung Jokowi. Ia juga ogah menggelar penggalangan dana lewat media sosial.
Satu-satunya bantuan datang dari Sony Subrata, pemilik PoliticaWave, perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi politik berbasis media sosial. Sony, yang tersohor sebagai pendukung Jokowi, memberikan bantuan berupa merchandise, goodie bag, dan T-shirt untuk peserta workshop.
Sony dan Kartika bukan baru sekarang saja menyokong Jokowi. Mereka bergerak sejak Jokowi maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerindra, dua tahun lalu. Saat itu duet ini menyodorkan konsep relawan ala Jasmev kepada Jokowi. Begitu mereka mendapat lampu hijau, tentu lalu banyak yang dikerjakan. Salah satunya memberi pelatihan relawan Jokowi di Solo agar lebih melek media sosial. Di kota itu, Sony menyodorkan nama Jasmev, yang merupakan akronim dari Jokowi Ahok Social Media Volunteers.
Setelah Jokowi berhasil menyabet kursi Gubernur Jakarta, Jasmev vakum. Namun, ketika Jokowi dicalonkan sebagai presiden oleh PDI Perjuangan, Jasmev bangkit kembali. Tentu saja kali ini terjadi pecah kongsi. Sebab, relawan yang mendukung Partai Gerindra harus bergerak mendukung jagoannya: Prabowo Subianto.
Tak apa, kerja jalan terus. Perang harus dihadapi. Dan kali ini kembali dukungan mereka ikut mengantar Jokowi menjadi orang nomor satu di Republik. Seperti dulu, setelah misi mengantar Jokowi sukses, kini Jasmev mundur dari gelanggang. "Namun, secara individual, kami masih aktif di media sosial," kata Kartika. Relawan Jasmev banyak membantu menjaring aspirasi masyarakat, termasuk penyelenggaraan blusukan, yang digemari sang Presiden.
Sony mengatakan Jokowi memerlukan konsep blusukan yang baru. Ia menawarkan blusukan dengan teknologi video conference, yang disebut e-blus. Sebelum Jokowi dilantik, e-blus sudah digelar dua kali, masing-masing di Rumah Makan Horapa, Menteng (9 September), dan di Posko Relawan Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat (10 Oktober).
Lalu e-blus diadakan lagi seusai pelantikan. Pada awal November, bertempat di Pendopo Wartawan di Istana Negara, Jokowi menggelar e-blus dengan pengungsi bencana Gunung Sinabung, Sumatera Utara. E-blus terakhir dilakukan akhir November lalu, bertatap-muka dengan tenaga kerja Indonesia di delapan negara.
Menurut Sony, e-blus sama sekali tidak menggunakan anggaran negara. Alasannya, penggunaan anggaran negara menuntut adanya tender lebih dulu. Penggunaan duit negara juga akan membuat e-blus seperti video conference saja, yang sebelumnya digelar pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Protokolernya ketat," ujarnya. Sony menilai, jika penyelenggaranya aparat negara, akan sulit menjaring aspirasi yang nilainya setara dengan blusukan manual.
Secara teknis, video conference dan e-blus juga berbeda. Konferensi video digelar di tempat yang kuat sinyal dan masyarakat mendatangi lokasi itu. E-blus sebaliknya. Teknologilah yang mendekati masyarakat meski berada di kawasan miskin sinyal. Yang membawa perangkat e-blus ke masyarakat di pelosok daerah adalah relawan. Ini terjadi pada e-blus dengan pengungsi Gunung Sinabung dan TKI itu.
Kerumitan teknis ini tentu membuat ongkos e-blus cukup mahal. Menurut Kartika, ongkos sekali penyelenggaraan bisa mencapai Rp 300-400 juta. Bagian termahal adalah membeli bandwidth Internet. Tapi, "PT Telkom ikut menyumbang," katanya. Sony punya hitungan berbeda. Rata-rata e-blus menelan biaya Rp 100 juta. Uang itu untuk menggaji tenaga profesional, transportasi, akomodasi, serta perangkat dan fasilitas infrastruktur.
Sony mengingatkan ongkos bisa membengkak jika e-blus dimaksudkan untuk menjangkau masyarakat di daerah nirsinyal. Alasannya, teknologi yang digunakan adalah satelit Inmarsat, yang biayanya dua-tiga kali lipat dari e-blus biasa. Kendati demikian, Sony memastikan, semahal apa pun biaya, tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Hakikat relawan memang bekerja secara sukarela, termasuk siap membiayai sendiri. Sebab, mereka percaya bahwa sosok yang disokong akan bekerja untuk kepentingan yang lebih besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo