Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saat Ananda Berpihak

Ananda Sukarlan membuat opera tentang tragedi pemerkosaan kerusuhan Mei 1998. Setelah ini, ia ingin menggarap opera kematian Munir.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wanita yang diperkosa itu bernama Clara (diperankan Isyana Sarasvati). Rok merah yang semula ia kenakan sudah hilang entah ke mana. Dipeloroti dan dilempar ke udara oleh satu dari sekian belas pemuda yang memerkosanya di tengah jalanan Jakarta. Puas melampiaskan berahi, para pemuda akhirnya pergi. Clara tergolek seorang diri. Ia pingsan.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya Clara siuman. Ia meraba-raba selangkangan. Di tengah rasa sakit yang membingungkan itu, sambil terseok-seok menyeret diri di jalanan, Clara mulai bernyanyi: "…di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya…."

Clara, gadis Tionghoa yang dikisahkan sebagai korban pemerkosaan kerusuhan Mei 1998 itu, terus bernyanyi hingga enam menit lamanya. Komponis Ananda Sukarlan, yang membuat Opera Clara ini, di panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Desember tahun lalu, sengaja menjadikan adegan pasca-pemerkosaan itu bagian dengan nyanyian yang paling melodius. Istilahnya: bagian Aria dalam sebuah opera.

"Penonton pasti kaget, habis diperkosa kok malah menyanyi indah," katanya kepada Tempo. Opera itu dibuat berdasarkan cerita pendek Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Clara atawa Wanita yang Diperkosa. Set sangat realis. Begitu masuk ke gedung Graha Bhakti Budaya, kita melihat di panggung ada sebuah pos polisi. Betul-betul seperti pos polisi sesungguhnya. Baru pertama kali mungkin di panggung Taman Ismail Marzuki ada set berupa pos polisi demikian.

Di tengah adegan, tiba-tiba masuk mobil beneran ke panggung, Mercedes Boxer E320. "Itu mobil teman saya yang dibeli tahun 1996. Saya pinjam," ujar Ananda. Lalu di panggung ada kobaran api.

"Kalau opera ini saya buat simbolis, pesannya tidak sampai," kata Ananda. Mulanya, biar lebih realis, Ananda ingin mencari mobil bekas dari sekitar tahun 1998 yang sudah agak rongsok. "Supaya kacanya bisa dipecahin. Bisa lebih digebrak-gebrak. Lebih dramatik," ujar koreografer Chendra E. Panatan, yang membantu Ananda. Tapi Mercedes Boxer E320 itu pun sudah cukup. Di panggung, kita melihat ada pasir. "Itu untuk jaga-jaga karena mobilnya kan berbensin, sementara di dekat mobil kami nyalakan api," ucap Ananda.

Ananda berkisah, saat terjadi kerusuhan Mei 1998, dia tengah menuntut studi musik di Belanda. "Saya mengetahui Jakarta terbakar dari televisi. Saya langsung menelepon ibu saya. Keluarga kami keluarga tentara. Tinggal di kompleks Senen." Di Belanda, ia cemas membayangkan kerusuhan di Jakarta.

Selain cerpen Seno Gumira Ajidarma, sebuah buku tipis yang baru saja diterbitkan Komisi Nasional Perempuan berjudul Disangkal! sangat mempengaruhi penciptaan Ananda. Buku itu berisi testimoni korban pemerkosaan Mei 1998. Komnas Perempuan akhirnya menemukan para perempuan korban Mei yang mau bersaksi. Nama-nama mereka disamarkan oleh Komnas Perempuan.

Salah satu perempuan itu berada di daerah Klender pada 14 Mei 1998. Pada hari itu, ia melihat arak-arakan beringas sebuah gerombolan. "Serbu Yogya. Serbu Yogya," mereka berteriak. Mereka mengarah ke Yogya Plaza. Saksi ini kemudian dengan mata kepala sendiri melihat gerombolan tersebut mengeluarkan jeriken-jeriken berisi minyak tanah untuk membakar Yogya Plaza. Anaknya sendiri mati terpanggang di Yogya Plaza itu.

Saksi lain, seorang perempuan keturunan, menceritakan pengalamannya pada 13 Mei 1998. Ia saat itu membonceng sepeda motor suaminya mengantar kue di Jakarta Barat. Sesampai di sebuah kawasan pertokoan di dekat kantor kepolisian sektor, mereka tiba-tiba dihadang massa. "Yang bukan Cina mundur, yang Cina diam di tempat," massa berteriak. Suaminya gugup, balik arah, tapi sepeda motornya terpelanting.

"Ini Cina, ini Cina." Perempuan itu mendengar orang berteriak menunjuknya. Ia lalu merasa badannya dioper ke sana-kemari. Setelah itu, ia tak sadarkan diri. Dan, ketika bangun, ia merasa seluruh badannya perih. Kemaluannya terasa sangat sakit.

"Saya mendapat suasana pemerkosaan dari buku itu," kata Ananda. Ia mengatakan, setelah membaca buku tersebut, di kepalanya segera berdenting akor-akor pedih yang sebelumnya tak pernah ia garap. "Biasanya komposisi saya tentang cinta, akor-akornya riang, bahkan ada sedikit nada humor. Adegan Clara menahan rasa sakit di selangkangan juga saya dapat dari kesaksian di buku itu."

Bisa disebut, opera ini sederhana, tapi kuat, tajam, menyentuh. Ananda hanya menggunakan empat musikus, yang memainkan cello, English horn, percussion, dan didjeridu, sementara dia sendiri memainkan piano. Sesekali tangan kanannya terangkat ke atas memimpin orkes kecil itu. Ia merangkap konduktor. "Tadinya saya ingin orkes lengkap, tapi terbentur biaya," ujar Ananda.

Opera itu dibuka dengan sebuah adegan seorang penyidik kepolisian (diperankan Widhawan Aryo Pradhita) berseragam cokelat-cokelat, bersepatu hitam mengkilap, lengkap dengan pet berlambang Polri di jidat, menyanyikan: "…Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi. Tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya…."

Polisi itu lambang kemunafikan. Ia, yang seharusnya melindungi korban, digambarkan justru menggelegak nafsunya ketika melihat tubuh Clara lemah lunglai di hadapannya. Nada vokal polisi itu semakin lama semakin tinggi tatkala menyanyikan, "…aku juga ingin memerkosanya…."

"Saat polisi itu menyaksikan tubuh Clara, saya buat nyanyiannya dengan dua not yang intervalnya makin memanjang. Kalau divisualkan, itu bagai penis yang sedang bergerak ereksi," kata Ananda. Dua not yang intervalnya makin panjang itu, menurut Ananda, lambang kemenangan penis terhadap perempuan.

Mulanya, pada adegan itu, Ananda ingin pemusik yang menggunakan didjeridu—instrumen tiup bambu Aborigin—naik ke panggung. "Saya mulanya menginginkan didjeridu sebagai lambang penis." Namun ia melihat adegan itu bisa mengganggu, sehingga dibatalkannya. Yang menarik, Ananda sama sekali tak menyensor kata "Cina" yang bertebaran dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma. Entah berapa kali kata "Cina" diserukan dalam pentas. "Saya tidak takut dituduh SARA atau apa. Saya tidak membela Cina. Saya sendiri bukan Cina. Ini semata-mata kemanusiaan."

Ananda tak memungkiri pilihannya pada bentuk pemanggungan realis juga karena ia banyak menyaksikan referensi opera realis di Eropa. "Banyak opera realis di Barat," ujar lelaki yang sesungguhnya menetap di Madrid, Spanyol, ini. Ia misalnya pernah menyaksikan opera Salome karya komponis Richard Strauss dimainkan sebuah kelompok dengan sangat realis. "Ada adegan penggal-penggal kepala," katanya. Ia juga pernah menyaksikan opera karya komponis Prancis bernama Francis Poulenc dibawakan sedemikian realis. "Ada adegan satu per satu orang ditembak di atas panggung. Padahal dalam naskah aslinya satu per satu hanya dibawa ke luar panggung."

Komposisi Ananda sendiri mengadopsi gaya klasik abad ke-20, yang membuatnya tak terlampau kaku dalam membuat musik pengiring. Dalam adegan pemerkosaan, misalnya, musik melompat ke perkusi, sementara orkestra diam sejenak. Ananda menempatkan musik pengiring bukan sebagai pusat perhatian, melainkan lebih sebagai sarana untuk mendramatisasi adegan.

Yang menarik, semua penyanyi dan musikus Ananda adalah anak muda. Untuk penyanyi, semua didapatnya saat pada 2013 ia membuat kompetisi Tembang Puitik Ananda Sukarlan. "Kriteria utama adalah kejernihan suaranya," ujar Ananda. Memang suara Isyana Sarasvati dan Widhawan Aryo Pradhita, sebagai Clara dan polisi, sangat jelas artikulasinya. Penonton mampu mencerna mudah kata-kata yang mereka lantunkan. Ananda juga melibatkan belasan pemain perkusi dari Jakarta Drum School, untuk merayakan polifoni, keramaian yang bersahut-sahutan.

Agaknya, opera ini merupakan awal dari sikap keberpihakan Ananda. Sebab, setelah Opera Clara, ia ingin membuat opera tentang pembunuh Munir. Ia tertarik pada cerpen Aku, Pembunuh Munir, yang juga dibikin Seno Gumira Ajidarma. "Sudah terbayang konsep pemanggungannya. Komposisinya juga tinggal ditulis. Moga-moga ada sponsor yang mau membantu saya mewujudkannya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus