MANUSIA kuno dari Afrika, dari Zaman Batu, ternyata sudah
berpakaian. Bahkan gaya potongan rambut mereka bermacam-macam.
Mereka tidak hanya tahu berburu. Tapi juga menyanyi, menari, dan
memainkan alat musik. Juga melukis. Bahkan sketsa mereka, yang
masih bisa dilihat sekarang juga, hampir tak ada bedanya dengan
sketsa modern kini seakan dunia sama sekali tidak berkembang.
Kesimpulan seperti itu didapat dari penelitian Dr. Louis
S.B.Leakey dan istrinya, Mary, di satu daerah Tanzania, Afrika
Timur. Pasangan antropolog dan pelukis Amerika itu menjelajah
daerah batu-batu karang di Tlawi, Distrik Kondoa, dan membuat
ribuan reproduksi lukisan di gua-gua di sana. Mary kemudian
menuliskannya di majalah National Geographic Juli yang lalu.
Mary sendiri mula-mula melihat lu kisan batu karang itu pada
1935, ketika mengadakan ekspedisi bersama suaminya yang kini
sudah almarhum. Mendengar berbagai laporan tentang adanya 'karya
dinding' itu, setelah menyelesaikan tugas mereka di Ngarai
Olduvai, dengan segera mereka mengunjungi Kondoa. Tapi hanya
sebentar. Enam belas tahun kemudian, 1951, baru mereka kembali
ke sana untuk mempelajarinya lebih serius.
Sebagaimana peninggalan budaya kuno yang lain, karya-karya itu
sama sekali tak mencantumkan nama penciptanya, tanggal atau
tahun pembuatan. Mengherankan juga, hampir semuanya bisa awet di
udara terbuka selama beberapa ribu tahun. Berdasarkan tes
karbon-14 untuk menguji zat pewarna, diketahui bahan-bahan
pewarna yang digunakan memang berusia sangat tua.
Penelitian pertama dilakukan Mary dan suaminya di tempat bernama
Kolo. Malam pertama, setelah memasang tenda, mereka didatangi
para tetua setempat, dari Suku Irangi . Kepada mereka
diceritakan, daerah peninggalan itu merupakan tempat suci bagi
penduduk setempat. Supaya aman bekerja, kepada mereka disarankan
mengorbankan seekor kambing - agar roh-roh setempat tidak merasa
terganggu.
Penduduk menyediakan seekor kambing dengan harga Rp 4.000. Yang
di-'kurban'-kan untuk "roh" ternyata memang hanya jeroan kambing
itu. Dagingnya sendiri disantap beramai-ramai.
Tiga bulan lamanya suami-istri memeriksa semua lukisan, dan
memilih yang patut untuk direkam. Mary yangm elakukan rekaman
itu dengan menempelkan lembaran cellophane pada dinding batu.
Kemudian lukisan-lukisan itu diperkecilnya menjadi separuh dari
ukuran aslinya pada kertas gambar. Dengan itu mereka berhasil
mereproduksi 1.600 karya, yang dipilih dari 186 tempat berbeda.
Sepintas lalu banyak peninggalan situs itu tampak hanya sebagai
gambaran berbagai peristiwa masa lampau, yang campur aduk dan
sulit dimengerti. Lukisan yang masih dalam keadaan baik memang
agak jarang ditemukan. Tampaknya pula para seniman prasejarah
itu hanya meneruskan karya yang sebelumnya telah dibuat orang
lain . Tapi, berkat penelitian yang cermat, suami-istri Leakey
dapat membedakan coraknya masing-masing.
Dan sebagiannya memang menunjukkan keindahan dan kehalusan yang
luar biasa. Terutama kalau diingat, para pelukis Zaman Batu itu
tidak ada yang menghapus karya mereka, seperti yang dilakukan
para pelukis modern ji ka ada kesalahan. Tak ada usapan, atau
goresan warna, atau garis yang kabur di dinding batu. Mungkin
juga mereka mula-mula membuat sketsa kasar dengan arang atau
medium lain yang sementara.
Bahan pewarna terdiri dari berbagai pigmen (zatwarna) yang
dicampur dengan lemak binatang. Dari campuran ini didapat
"krayon", yang sisa-sisanya masih ditemukan di berbagai tempat.
Zat warna yang umum dipakai ialah oker - semacam tanah liat -
yang menghasilkan warnawarna dominan, merah, dan warna jingga,
serta kuning yang tak banyak dipakai. Dari bahan mangaan
dihasilkan warna hitam, sedang dari tahi burung dihasilkan warna
dasar putih.
Dari karya-karya itu diketahui, mereka bukan bangsa penggembala.
Melainkan pemburu dan pemetik hasil alam. Dalam lukisan-lukisan
itu, misalnya, banyak terdapat gambar anjing. Meski saat
pembuatan karya dinding itu belum dapat ditentukan persisnya,
gaya lukisan-lukisan itu sendiri sebenarnya memberikan
keterangan.
Gambar-gambar dari zaman lebih awal, misalnya, dibuat secara
kasar dalam bagan (outline) hitam yang agak tebal. Ini kemudian
diikuti lukisan binatang, manusia, dan bintik-bintik besar yang
rupanya dibuat dengan mencelupkan ujung jari ke dalam zat warna
yang basah. Kemudian, tibatiba, gaya pun berubah.
Karya-karya hasil ujung jari itu disusul oleh gambar-gambar
naturalis binatang dalam warna merah. Hasilnya mengagumkan. Dr.
Mary berpendapat, lukisan gaya ini yang paling baik dari semua
karya prasejarah yang dibuat di batu-batu. Kemudian muncul
teknik melukis binatang dalam warna merah semata.
Gaya berikutnya, yang dianggap unik bagi lukisan Tanzania,
berupa binatang yang badannya diisi rangkaian garis-garis
sejajar untuk menunjukkan lekuk dan bentuknya.
Akhirnya, gambar skets muncul lagi - meski tidak sebaik gaya
sketsa terdahulu .
Salah satu ciri menyolok dari semua karya itu ialah tidak adanya
penggambaran jelas wajah manusia. Hingga dewasa ini memang
banyak suku primitif Afrika, seperti suku Masai, yang enggan
dipotret. Menerakan wajah mereka dalam gambar berarti
"melepaskan" wajah mereka - demikianlah menurut kepercayaan. Dan
"melepaskan" berarti memungkinkan orang lain menenung mereka.
Kepercayaan serupa ini sampai sekarang pun barangkali masih ada
di sebagian kecil penduduk Indonesia.
Menarik perhatian pula: tidak ada penggambaran peranan wanita
sebagai ibu. Tidak diketahui apakah fungsi keibuan wanita
dianggap tidak penting ataukah ada alasan magisreligius tertentu
yang mencegah pengabadiannya.
Ada banyak keragaman di antara gambar manusia. Ada yang tinggi,
ada yang pendek. Beberapa malah tampak dengan rambut yang
berlebihan lebatnya, selain ada tokoh yang dilukis tanpa rambut
sama sekali. Beberapa figur tampak telanjang, beberapa
mengenakan gelang tangan, gelang lutut, bahkan gelang kaki. Ada
yang dilukiskan berbuntut, ada lagi yang memakai rok, sedang
yang lain mengenakan jubah.
Begitu beragamnya dalam gaya sehingga tidak mungkin dibuat
klasifikasinya. Tapi ada satu tipe yang menyolok - dan ditemukan
di berbagai tempat. Dr. Mary dan suaminya menamakan 'tipe Kolo'
karena di tempat itulah mereka pertama kali melihatnya.
'Manusia Kolo' selalu dilukiskan tinggi dan kurus, dengan hiasan
kepala atau gaya rambut yang sangat besar, kadang-kadang lengkap
dengan hiasan bulu. Tangannya biasanya hanya punya tiga jari,
dengan jari tengah lebih panjang dari dua jari lainnya. Sering
pula digarnbarkan dengan ekor kurus, mirip ekor singa. Kakinya
berjari panjang, atau sesuatu yang tampak sebagai tumit tinggi.
Tema yang paling sering ialah mengenai musik dan tari. Salah
satu gambar yang paling disukai Dr. Mary memperlihatkan seorang
pemain suling yang elok, yang musiknya dilukiskan berupa garis
titik-titik yang menetes dari ujung sulingnya.
Sebuah lukisan menun jukkan, manusia Zaman Batu sudah mengenal
alkohol - mungkin bir dari madu atau tuak dari pohon enau.
Petunjuk tentang hal ini tidak begitu tegas, tapi gambarnya
memperlihatkan tiga buah labu - yang isinya sudah diambil dan
kulitnya digunakan sebagai tempat air - bergelembung penuh
dengan bahan cairan yang menggelegak.
Meski lukisan binatang umumnya sangat realistis dan dalam
proporsi yang tepat, semuanya hampir selalu digambarkan dalam
bentuk profil. Keempat kaki binatang diperlihatkan, tapi
biasanya tanpa telapak. Ini mungkin suatu cara melukis para
seniman zaman itu - atau sekadar petunjuk bahwa demikianlah
mereka melihat binatang berdiri di padang rumput.
Walaupun sangat cenderung pada gaya realisme, para pelukis Zaman
Batu rupanya sudah mengenal pula apa yang kini disebut
'kebebasan seni'. Binatang yang dianggapnya menyolok sering
dilukiskan secara berlebih-lebihan. Misalnya, ular digambarkan
dengan lekuk yang lebih banyak dari yang biasa kita kenal.
Tanduk kudu, antelop, yang biasanya berpilin - spiral - kurang
dari tiga, kadang dilukiskan berpilin sampai sebelas. Jenis
antelop lain yang berwarna merah agak kelabu dan berdaun telinga
sangat lebar dilukiskan dengan lebih memperbesar daun
telinganya.
Tapi mereka tampak memahami benar perbedaan sangat sepele antara
satu binatang dan yang lain. Disebuah situs bernama Kisese, Dr.
Mary dan suaminya menemukan dua lukisan badak putih yang besar.
Detil-detil anatominya demikian tepat sehingga dengan segera
menjadi jelas bahwa kedua binatang itu badak putih dan bukan
badak hitam. Kepalanya berbentuk segi empat sebagaimana lazimnya
badak putih. Punuk antara kepala dan pundak dilukiskan
menonjol, dan itu tidak terdapat pada badak hitam.
Kedua ekor badak itu dilukiskan dalam pola bercumbu yang sudah
dikenal, yang ditemukan Dr. Mary dan suaminya di Olduvai. Si
betina mengikuti si jantan dari belakang. Di beberapa tempat ada
lukisan badak yang menakjubkan: si jantan melarikan diri karena
dikejar si betina.
Para seniman Zaman Batu tampaknya memilih subyek karya mereka
berdasar besar-kecilnya binatang. Binatang seperti kelinci dan
antelop kecil jarang sekali dilukis di Tanzania. Padahal, dari
tulang belulang yang ditemukan, diketahui bahwa manusia Zaman
Batu suka makan binatang tersebut.
Yang lebih disukai ialah binatang yang besar: gajah dan jerapah,
serta badak dan hewan pemakan daging lain. Dalam pengertian
sederhana, pembunuhan binatang yang besar, yang akan memberi
makan banyak orang, memang dianggap lebih berarti daripada
pembunuhan binatang kecil.
Banyaknya jumlah lukisan gajah barangkali tidak menunjukkan
banyaknya yang dibunuh, tapi lebih menunjukkan makna penting
peristiwa tersebut.
Dalam keseluruhannya, berbagai lukisan tersebut menonjolkan
binatang pemakan daging. Ada kemungkinan, manusia Zaman Batu
menganggap hewan jenis itu - seperti singa - dengan cara yang
sama dengan anggapan yang berlaku hingga kini di antara
suku-suku Afrika. Misalnya, di kalangan suku Masai seorang
prajurit muda belumlah dianggap 'lulus' dalam pandangan kaum
wanita, kalau ia belum membunuh seekor singa. Mungkin manusia
Zaman Batu punya pandangan yang sama.
Seperti nasib peninggalan budaya kuno di negara berkembang
umumnya, masa depan lukisan Tanzania Purba ini pun mencemaskan.
Mungkin karena alasan pariwisata, jalan raya mulus sudah banyak
dibangun di situs-situs yang lebih menarik. Akibat sampingannya:
perusakan oleh tangan jahil. Untuk melihat warna sebuah lukisan
lebih jeas, misalnya, para pengunjung membasahi gambar itu
dengan air. Kalau ini terus menerus dilakukan lukisan akan
rusak. Yang iseng malah mencoret-coretkan namanya di dinding
karang itu. Anak-anak gembala setempat suka pula melempari
gambar-gambar itu dengan batu.
Bahkan dua situs penting, yang direkam Dr. Mary dan suaminya di
tahun 1951, kini sudah mengalami kerusakan cukup parah. Sedang
kerusakan di situs-situs lainnya tampaknya hanya soal waktu,
kalau tak ada usaha pencegahan. Beberapa tahun lalu pemerintah
Tanzania memagari beberapa situs dengan kawat berduri. Tapi -
dasar jahil pintu pagar dicopot dan dibuang.
Boleh pula diingat, ke-186 situs yang direkam Mary dan suaminya
di tahun 1951 ini sebenarnya hanya bagian kecil saja dari yang
ada di Tanzania
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini