Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari gua-gua batu di tanzania

Peninggalan budaya kuno di tanzania, yaitu lukisan di gua-gua batu yang menggambarkan peristiwa di masa lalu. berdasarkan penelitian oleh dr. louis s.b leakey dan istrinya, manusia kuno sudah berpakaian. (sel)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANUSIA kuno dari Afrika, dari Zaman Batu, ternyata sudah berpakaian. Bahkan gaya potongan rambut mereka bermacam-macam. Mereka tidak hanya tahu berburu. Tapi juga menyanyi, menari, dan memainkan alat musik. Juga melukis. Bahkan sketsa mereka, yang masih bisa dilihat sekarang juga, hampir tak ada bedanya dengan sketsa modern kini seakan dunia sama sekali tidak berkembang. Kesimpulan seperti itu didapat dari penelitian Dr. Louis S.B.Leakey dan istrinya, Mary, di satu daerah Tanzania, Afrika Timur. Pasangan antropolog dan pelukis Amerika itu menjelajah daerah batu-batu karang di Tlawi, Distrik Kondoa, dan membuat ribuan reproduksi lukisan di gua-gua di sana. Mary kemudian menuliskannya di majalah National Geographic Juli yang lalu. Mary sendiri mula-mula melihat lu kisan batu karang itu pada 1935, ketika mengadakan ekspedisi bersama suaminya yang kini sudah almarhum. Mendengar berbagai laporan tentang adanya 'karya dinding' itu, setelah menyelesaikan tugas mereka di Ngarai Olduvai, dengan segera mereka mengunjungi Kondoa. Tapi hanya sebentar. Enam belas tahun kemudian, 1951, baru mereka kembali ke sana untuk mempelajarinya lebih serius. Sebagaimana peninggalan budaya kuno yang lain, karya-karya itu sama sekali tak mencantumkan nama penciptanya, tanggal atau tahun pembuatan. Mengherankan juga, hampir semuanya bisa awet di udara terbuka selama beberapa ribu tahun. Berdasarkan tes karbon-14 untuk menguji zat pewarna, diketahui bahan-bahan pewarna yang digunakan memang berusia sangat tua. Penelitian pertama dilakukan Mary dan suaminya di tempat bernama Kolo. Malam pertama, setelah memasang tenda, mereka didatangi para tetua setempat, dari Suku Irangi . Kepada mereka diceritakan, daerah peninggalan itu merupakan tempat suci bagi penduduk setempat. Supaya aman bekerja, kepada mereka disarankan mengorbankan seekor kambing - agar roh-roh setempat tidak merasa terganggu. Penduduk menyediakan seekor kambing dengan harga Rp 4.000. Yang di-'kurban'-kan untuk "roh" ternyata memang hanya jeroan kambing itu. Dagingnya sendiri disantap beramai-ramai. Tiga bulan lamanya suami-istri memeriksa semua lukisan, dan memilih yang patut untuk direkam. Mary yangm elakukan rekaman itu dengan menempelkan lembaran cellophane pada dinding batu. Kemudian lukisan-lukisan itu diperkecilnya menjadi separuh dari ukuran aslinya pada kertas gambar. Dengan itu mereka berhasil mereproduksi 1.600 karya, yang dipilih dari 186 tempat berbeda. Sepintas lalu banyak peninggalan situs itu tampak hanya sebagai gambaran berbagai peristiwa masa lampau, yang campur aduk dan sulit dimengerti. Lukisan yang masih dalam keadaan baik memang agak jarang ditemukan. Tampaknya pula para seniman prasejarah itu hanya meneruskan karya yang sebelumnya telah dibuat orang lain . Tapi, berkat penelitian yang cermat, suami-istri Leakey dapat membedakan coraknya masing-masing. Dan sebagiannya memang menunjukkan keindahan dan kehalusan yang luar biasa. Terutama kalau diingat, para pelukis Zaman Batu itu tidak ada yang menghapus karya mereka, seperti yang dilakukan para pelukis modern ji ka ada kesalahan. Tak ada usapan, atau goresan warna, atau garis yang kabur di dinding batu. Mungkin juga mereka mula-mula membuat sketsa kasar dengan arang atau medium lain yang sementara. Bahan pewarna terdiri dari berbagai pigmen (zatwarna) yang dicampur dengan lemak binatang. Dari campuran ini didapat "krayon", yang sisa-sisanya masih ditemukan di berbagai tempat. Zat warna yang umum dipakai ialah oker - semacam tanah liat - yang menghasilkan warnawarna dominan, merah, dan warna jingga, serta kuning yang tak banyak dipakai. Dari bahan mangaan dihasilkan warna hitam, sedang dari tahi burung dihasilkan warna dasar putih. Dari karya-karya itu diketahui, mereka bukan bangsa penggembala. Melainkan pemburu dan pemetik hasil alam. Dalam lukisan-lukisan itu, misalnya, banyak terdapat gambar anjing. Meski saat pembuatan karya dinding itu belum dapat ditentukan persisnya, gaya lukisan-lukisan itu sendiri sebenarnya memberikan keterangan. Gambar-gambar dari zaman lebih awal, misalnya, dibuat secara kasar dalam bagan (outline) hitam yang agak tebal. Ini kemudian diikuti lukisan binatang, manusia, dan bintik-bintik besar yang rupanya dibuat dengan mencelupkan ujung jari ke dalam zat warna yang basah. Kemudian, tibatiba, gaya pun berubah. Karya-karya hasil ujung jari itu disusul oleh gambar-gambar naturalis binatang dalam warna merah. Hasilnya mengagumkan. Dr. Mary berpendapat, lukisan gaya ini yang paling baik dari semua karya prasejarah yang dibuat di batu-batu. Kemudian muncul teknik melukis binatang dalam warna merah semata. Gaya berikutnya, yang dianggap unik bagi lukisan Tanzania, berupa binatang yang badannya diisi rangkaian garis-garis sejajar untuk menunjukkan lekuk dan bentuknya. Akhirnya, gambar skets muncul lagi - meski tidak sebaik gaya sketsa terdahulu . Salah satu ciri menyolok dari semua karya itu ialah tidak adanya penggambaran jelas wajah manusia. Hingga dewasa ini memang banyak suku primitif Afrika, seperti suku Masai, yang enggan dipotret. Menerakan wajah mereka dalam gambar berarti "melepaskan" wajah mereka - demikianlah menurut kepercayaan. Dan "melepaskan" berarti memungkinkan orang lain menenung mereka. Kepercayaan serupa ini sampai sekarang pun barangkali masih ada di sebagian kecil penduduk Indonesia. Menarik perhatian pula: tidak ada penggambaran peranan wanita sebagai ibu. Tidak diketahui apakah fungsi keibuan wanita dianggap tidak penting ataukah ada alasan magisreligius tertentu yang mencegah pengabadiannya. Ada banyak keragaman di antara gambar manusia. Ada yang tinggi, ada yang pendek. Beberapa malah tampak dengan rambut yang berlebihan lebatnya, selain ada tokoh yang dilukis tanpa rambut sama sekali. Beberapa figur tampak telanjang, beberapa mengenakan gelang tangan, gelang lutut, bahkan gelang kaki. Ada yang dilukiskan berbuntut, ada lagi yang memakai rok, sedang yang lain mengenakan jubah. Begitu beragamnya dalam gaya sehingga tidak mungkin dibuat klasifikasinya. Tapi ada satu tipe yang menyolok - dan ditemukan di berbagai tempat. Dr. Mary dan suaminya menamakan 'tipe Kolo' karena di tempat itulah mereka pertama kali melihatnya. 'Manusia Kolo' selalu dilukiskan tinggi dan kurus, dengan hiasan kepala atau gaya rambut yang sangat besar, kadang-kadang lengkap dengan hiasan bulu. Tangannya biasanya hanya punya tiga jari, dengan jari tengah lebih panjang dari dua jari lainnya. Sering pula digarnbarkan dengan ekor kurus, mirip ekor singa. Kakinya berjari panjang, atau sesuatu yang tampak sebagai tumit tinggi. Tema yang paling sering ialah mengenai musik dan tari. Salah satu gambar yang paling disukai Dr. Mary memperlihatkan seorang pemain suling yang elok, yang musiknya dilukiskan berupa garis titik-titik yang menetes dari ujung sulingnya. Sebuah lukisan menun jukkan, manusia Zaman Batu sudah mengenal alkohol - mungkin bir dari madu atau tuak dari pohon enau. Petunjuk tentang hal ini tidak begitu tegas, tapi gambarnya memperlihatkan tiga buah labu - yang isinya sudah diambil dan kulitnya digunakan sebagai tempat air - bergelembung penuh dengan bahan cairan yang menggelegak. Meski lukisan binatang umumnya sangat realistis dan dalam proporsi yang tepat, semuanya hampir selalu digambarkan dalam bentuk profil. Keempat kaki binatang diperlihatkan, tapi biasanya tanpa telapak. Ini mungkin suatu cara melukis para seniman zaman itu - atau sekadar petunjuk bahwa demikianlah mereka melihat binatang berdiri di padang rumput. Walaupun sangat cenderung pada gaya realisme, para pelukis Zaman Batu rupanya sudah mengenal pula apa yang kini disebut 'kebebasan seni'. Binatang yang dianggapnya menyolok sering dilukiskan secara berlebih-lebihan. Misalnya, ular digambarkan dengan lekuk yang lebih banyak dari yang biasa kita kenal. Tanduk kudu, antelop, yang biasanya berpilin - spiral - kurang dari tiga, kadang dilukiskan berpilin sampai sebelas. Jenis antelop lain yang berwarna merah agak kelabu dan berdaun telinga sangat lebar dilukiskan dengan lebih memperbesar daun telinganya. Tapi mereka tampak memahami benar perbedaan sangat sepele antara satu binatang dan yang lain. Disebuah situs bernama Kisese, Dr. Mary dan suaminya menemukan dua lukisan badak putih yang besar. Detil-detil anatominya demikian tepat sehingga dengan segera menjadi jelas bahwa kedua binatang itu badak putih dan bukan badak hitam. Kepalanya berbentuk segi empat sebagaimana lazimnya badak putih. Punuk antara kepala dan pundak dilukiskan menonjol, dan itu tidak terdapat pada badak hitam. Kedua ekor badak itu dilukiskan dalam pola bercumbu yang sudah dikenal, yang ditemukan Dr. Mary dan suaminya di Olduvai. Si betina mengikuti si jantan dari belakang. Di beberapa tempat ada lukisan badak yang menakjubkan: si jantan melarikan diri karena dikejar si betina. Para seniman Zaman Batu tampaknya memilih subyek karya mereka berdasar besar-kecilnya binatang. Binatang seperti kelinci dan antelop kecil jarang sekali dilukis di Tanzania. Padahal, dari tulang belulang yang ditemukan, diketahui bahwa manusia Zaman Batu suka makan binatang tersebut. Yang lebih disukai ialah binatang yang besar: gajah dan jerapah, serta badak dan hewan pemakan daging lain. Dalam pengertian sederhana, pembunuhan binatang yang besar, yang akan memberi makan banyak orang, memang dianggap lebih berarti daripada pembunuhan binatang kecil. Banyaknya jumlah lukisan gajah barangkali tidak menunjukkan banyaknya yang dibunuh, tapi lebih menunjukkan makna penting peristiwa tersebut. Dalam keseluruhannya, berbagai lukisan tersebut menonjolkan binatang pemakan daging. Ada kemungkinan, manusia Zaman Batu menganggap hewan jenis itu - seperti singa - dengan cara yang sama dengan anggapan yang berlaku hingga kini di antara suku-suku Afrika. Misalnya, di kalangan suku Masai seorang prajurit muda belumlah dianggap 'lulus' dalam pandangan kaum wanita, kalau ia belum membunuh seekor singa. Mungkin manusia Zaman Batu punya pandangan yang sama. Seperti nasib peninggalan budaya kuno di negara berkembang umumnya, masa depan lukisan Tanzania Purba ini pun mencemaskan. Mungkin karena alasan pariwisata, jalan raya mulus sudah banyak dibangun di situs-situs yang lebih menarik. Akibat sampingannya: perusakan oleh tangan jahil. Untuk melihat warna sebuah lukisan lebih jeas, misalnya, para pengunjung membasahi gambar itu dengan air. Kalau ini terus menerus dilakukan lukisan akan rusak. Yang iseng malah mencoret-coretkan namanya di dinding karang itu. Anak-anak gembala setempat suka pula melempari gambar-gambar itu dengan batu. Bahkan dua situs penting, yang direkam Dr. Mary dan suaminya di tahun 1951, kini sudah mengalami kerusakan cukup parah. Sedang kerusakan di situs-situs lainnya tampaknya hanya soal waktu, kalau tak ada usaha pencegahan. Beberapa tahun lalu pemerintah Tanzania memagari beberapa situs dengan kawat berduri. Tapi - dasar jahil pintu pagar dicopot dan dibuang. Boleh pula diingat, ke-186 situs yang direkam Mary dan suaminya di tahun 1951 ini sebenarnya hanya bagian kecil saja dari yang ada di Tanzania

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus