SEORANG ibu dari Semarang punya kasus lucu. Setiap tahun ia
mendapat undangan ke Istana Merdeka. Mungkin sebagai pahlawan
(yang masih hidup) atau keluarganya, mungkin juga karena sebab
lain. Nah, tahun 1981 ia membungkus nasi tumpeng buatan Istana,
dan menyimpannya di rumah - hingga hari ini. Para tetangga
tertawa melihat ia menjemur nasi sebungkus itu hingga kering.
Biarlah, katanya, yang penting tumpeng sebungkus itu membawa
rezeki.
Nasi tumpeng memang punya fungsi bermacam-macam. Ada yang
memperlakukannya sebagai sesajen, di masa lalu - juga kini, bagi
yang masih percaya. Di sini pun terbagi dua maksud sesajen itu.
Ada yang menganggapnya hanya sebagai persembahan simbolis,
dengan "aturan" sang penunggu tidak menyentuhnya sama sekali.
Langsung sesajen itu "dikembalikan kepada masyarakat" - siapa
pun dapat terus memakannya.
Ada pula yang menganggap tumpeng benar-benar memperoleh 'kontak
fisik' dengan roh halus, dan karenanya lalu memperolehi kekuatan
supernatural tersendiri. Hanya beberapa orang tertentu yang
boleh makan. Yang lain boleh menyimpannya menjadi jimat, seperti
dalam kasus ibu dari Semarang itu.
Lambat-laun, dengan datangnya agama-agama besar kemari, hal-hal
seperti tumpeng sebagai sesajen lalu mengalami perubahan. Tidak
lagi memiliki arti magis dan supernatural, melainkan "diturunkan
derajatnya" setingkat - menjadi 'misteri'.
Kiai Sekati atau gong Keraton diarak pada upacara tertentu, dan
tumpeng turut pula dipersiapkan - mungkin kecil saja, mungkin
sebesar bukit. Bagi sebagian orang yang turut memperebutkannya,
ia memiliki kekuatan magis. Tetapi bagi yang mempersiapkan, ia
mengandung misteri tanpa magi. Misteri karena menjadi bagian
upacara penegakan wibawa sang Ratu, bukti 'keampuhan' Sang Nata.
Sekarang ini, ketika budaya pariwisata sudah menjadi bagian
peradaban modern, tumpeng beralih fungsi lagi - menjadi
eksotika, bagian dari 'kekayaan tersembunyi' yang patut
diperlihatkan kepada para wisatawan. Tumpeng disekulerkan,
menjadi bagian transaksi komersial belaka.
Bersama dengan itu, nasi tumpeng juga mengalami 'pergeseran
historis' lain - menjadi bagian neofeodalisme yang muncul di
kalangan atas, yang terangsang 'melestarikan kebudayaan asli'
kita. Di pesta-pesta perkawinan, upacara pembukaan proyek baru,
pesta kenegaraan, dan seterusnya, tumpeng memang tidak magis,
tidak memiliki misteri, tapi berperan simbolis juga.
Di tempat lain, jelas bukan di Semarang, seorang mubalig
melabrak nasi tumpeng. Diharamkan - karena ia adalah sesajen
kaum yang tidak punya tauhid, tidak percaya kepada keesaan
Tuhan. Ia bagian dari kemusyrikan yang menganggap ada banyak
tuhan. Tumpeng harus dijauhi. Penerimaan atasnya menunjukkan
kelemahan iman kita.
Maka di satu pihak, tumpeng diminta lestari kehadirannya. Sedang
di pihak lain diminta untuk dijauhi. Mengapa hal-hal seperti itu
tetap menjadi masalah?
Jawabnya: perbenturan budaya antara proses Islamisasi dan proses
penemuan identitas diri sebagai bangsa. Di satu pihak,
Islamisasi berjalan pesat, walau dalam wajah yang tidak sama dan
intensitas berbeda-beda. Kesadaran ber-Islam makin hari makin
menampakkan bentuk nyata:
Ada sektor yang menampakkan wajah kemanusiaan, mendorong
munculnya humanisme baru di dunia ini, yang tidak lepas dari
wawasan kerohanian, seperti terlihat dalam pergolakan pemikiran
keagamaan. Ada yang menampilkan wajah kemelut tak kunjung usai,
seperti di bidang politik. Ada pula yang memunculkan wajah
"bengis": koreksi total, transformasi penuh, realisasi ajaran
agama secara tuntas, Islam sebagai alternatif, dan segerobak
istilah lain yang digunakan untuk memberi nama proses Islamisasi
dalam bentuk terakhir itu.
Di pihak lain, integrasi nasional dijalani dengan susah payah.
Melalui 'humanisme liberal' di bidang budaya ia berjalan
tersendat-sendat, karena tidak memperhitungkan hukum "siapa kuat
ia yang menang, dan mengambil segala-galanya kalau menang".
Reaksi baliknya adalah gerakan separatisme di tahun-tahun lima
puluhan dan enam puluhan.
Ketika era pembangunan datang, prioritas utama secara alami
adalah penanganan masalah integrasi nasional itu. Dari unifikasi
sistem komunikasi melalui satelit domestik Palapa hingga
rentetan santiaji dan penataran P4, energi bangsa banyak sekali
dicurahkan kepada pemantapan proses itu. Termasuk proses
pelestarian 'budaya luhur bangsa' menurut versi kalangan atas -
yang menonjolkan upacara perkawinan adat begitu mewah sebagai
'mode masa kini' sebagai salah satu manifestasinya. Dan sudah
tentu juga: nasi tumpeng.
Dalam pelestarian nasi tumpeng sebagai bagian pelestarian
'budaya luhur' bangsa itu, dengan sendirinya tidak terhindarkan
lagi turut dilestarikannya beberapa orientasi semula. Misalnya
masih adanya aura misteri nasi tumpeng itu sendiri sebagai
"makanan yang tidak biasa, mengandung arti kerohanian". Tapi itu
pun hanya di kalangan kecil.
Perbenturan itu sendiri antara Islamisasi dan integrasi
nasional, hanyalah bagian dari perjaianan sejarah yang panjang.
Bukan pertanda datangnya kiamat, tetapi juga bukan sesuatu yang
harus diabaikan sama sekali. arus ditangani, tetapi dalam
ukuran proporsional.
Menurut hemat penulis, penanganannya adalah bentuk meyakinkan
dari sang mubalig - bahwa munculnya nasi tumpeng bukan berarti
lunturnya keimanan kita, melainkan hanya bagian dari proses
integrasi nasional yang alami itu. Sekali integrasi tercapai
dalam bentuk mapan, Islam juga yang mengambil keuntungannya. Di
pihak lain, bangsa ini secara umum harus memperoleh Informasi
pula, bahwa 'suara-suara sumbang' yang menuntut hilangnya nasi
tumpeng hanyalah sebagian saja dari proses Islamisasi yang
panjang. Di suatu saat, Islam pun akan menerima nasi tumpeng
tanpa merasa "terancam". Percayalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini