Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH lekat dalam ingatan Abdul Manan Abas, Santoso alias Abu Wardah bertampang kurus, suka bolos sekolah, dan jarang ikut upacara bendera Senin. Keduanya berteman ketika duduk di kelas I hingga III Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Poso, Sulawesi Tengah, pada awal 1990-an. "Dulu tak terbayang ia bakal seperti sekarang," kata Manan Abas, Jumat pekan lalu.
Kini Manan anggota "tim pengacara muslim" Poso. Sedangkan Santoso buron yang paling dicari polisi. Mereka terakhir kali bertemu pada awal 2011 di Pengadilan Negeri Palu secara tak sengaja, sebelum penembakan tiga polisi di Bank BCA Palu, yang ditengarai diotaki Santoso. "Badannya kekar, jenggotnya lebat," ujar Manan. Ketika itu, Santoso mengatakan sedang sibuk mengurus "proyek sekolah".
Santoso, 36 tahun, diyakini polisi sebagai pemimpin kelompok yang menebar teror di Poso akhir-akhir ini. Sejumlah petunjuk mengarah pada pria asal sebuah kampung transmigran di perbatasan Poso-Morowali itu. Misalnya, secara terang-terangan seseorang yang mengaku bernama Santoso menantang Detasemen Khusus 88 Antiteror di Internet pada 17 Oktober tahun lalu.
Terakhir, pada 24 Desember, Santoso, yang menyebut dirinya "Abu Mus'ab Al-Zarqawi Al-Indunesi", meretas situs milik Kompi Kavaleri Intai 2 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Dalam maklumatnya, ia mengatakan Komando Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpinnya tak punya hubungan dengan Jamaah Ansharut Tauhid yang didirikan Abu Bakar Ba'asyir.
Pada awal Oktober, dua polisi, Brigadir Satu Sudirman dan Brigadir Andi Safa, yang sedang menyelidiki kasus penembakan di Masani, tempat pelatihan Jamaah Ansharut Tauhid Poso, tewas dibunuh. Jenazah mereka ditemukan sepekan kemudian di Tamanjeka, Poso Pesisir Utara, 45 kilometer dari Poso Kota.
Pada 20 Desember, sembilan polisi yang sedang berpatroli di sekitar perbukitan Taswinuni, Poso Pesisir Utara, diberondong peluru. Empat tewas, sisanya luka-luka. Lima hari kemudian, pada Natal pagi, sebuah bom waktu tergeletak di pos polisi di Pasar Sentral Poso—sekitar 100 meter dari Markas Kepolisian Resor Poso. Bom disetel meledak pukul 08.00. Untunglah bom bisa dijinakkan.
Menurut polisi, rangkaian dan adonan bom itu amat mirip dengan bom yang ditemukan sepanjang Oktober-November di Poso. Sekurangnya ada lima bom yang keberadaannya diketahui. Salah satu lokasinya sudah bisa ditebak: pos polisi di Bundaran Smaker, Poso Kota. Sisanya di tempat mereka kerap muncul, yakni Tamanjeka dan Karola.
Petunjuk tentang Santoso datang dari orang-orang yang diringkus polisi. Sehari setelah penembakan di Taswinuni, polisi menangkap lima pria, yakni Agus alias Solihin, Riyadi alias Mas Riad, Sugiyanto Latif alias Papa Latif, Muhrin, dan Sony Hermawan. "Mereka menyediakan logistik dan memfasilitasi pelatihan militer," kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar. Sumber lain mengatakan mereka murid Santoso.
Kepada polisi, Agus alias Solihin mengaku ia dan kawan-kawannya berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Mereka tinggal di Poso sejak Agustus 2012. Seorang bekas kombatan di Poso mengatakan para pendatang tersebut tak berbaur dengan "orang-orang lama".
Seorang anggota rombongan itu, Muhammad Choiri alias Jipo alias Ibeng, tewas dalam penyergapan di Karola pada akhir Oktober. Choiri jadi buron sejak meletusnya bom di Pesantren Umar bin Khatab di Dolo, Bima, pada 2011. Tujuh kawannya diciduk Detasemen Khusus, lalu disidangkan di Tangerang, termasuk Abrori alias Maskadof alias Abrori al-Ayubi—pemimpin pesantren sekaligus dalang penyerangan terhadap polisi di Bima. Abrori merupakan jebolan kamp pelatihan Poso yang dipimpin Santoso.
SAMPAI sekarang, Abdul Manan Abas tak percaya Santoso, sahabat lamanya, memimpin pasukan teror. Lepas dari tsanawiyah, mereka bertemu lagi pada 2006. Santoso baru ditangkap karena menghadang sebuah mobil boks berisi barang-barang kelontong, dengan menenteng senjata rakitan. Manan Abas menjadi pengacaranya.
Di Poso pascakonflik, kata Manan, seseorang dengan mudah memiliki pistol. Menurut Manan, berbeda dengan sidang kasus terorisme yang biasanya riuh oleh pekik takbir terdakwanya, sidang Santoso berlangsung datar. "Bagaimana mau takbir kalau kasusnya pencurian?" kata Santoso kepada Manan. Karena itu, penghadangan mobil boks tadi bukanlah fa'i—mengumpulkan dana untuk jihad.
Dari interaksi selama di sekolah dan menjadi pembelanya di pengadilan, Manan melihat tuduhan polisi terhadap Santoso berlebihan. "Kalau ikut-ikutan, mungkin saja," ujarnya. "Tapi, kalau pemimpin, rasanya dia tak punya karakter memimpin." Manan menduga Santoso berhaluan keras setelah bertemu dengan alumnus konflik Poso yang sama-sama dibui di Lembaga Pemasyarakatan Palu.
Penasaran dengan fakta sebenarnya, Manan berencana menjadi pengacara Santoso bila kelak sahabatnya itu ditangkap hidup-hidup. Tapi ia mesti bersiap kecewa. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai memastikan Santoso-lah yang meminta Mustofa alias Abu Tholut menyelenggarakan latihan perang di Poso pada 2009.
Mustofa juga menyiapkan kamp pelatihan di Aceh bersama Dulmatin, lalu memerintahkan Santoso mengumpulkan calon peserta dan mencari lokasi latihan. Sejak itu hingga sekarang, sudah ada sembilan angkatan pelatihan militer. Pesertanya antara lain dari Bima dan Jawa. Mustofa belakangan ditangkap di Kudus, Jawa Tengah, pada 2010.
Poso bergolak lagi berbarengan dengan serangkaian penembakan di Solo, Jawa Tengah, oleh Farhan Mujahid dan kawan-kawan. Dalam rentang waktu yang tak begitu lama, kelompok Wahyu Ristanto alias Anwar berniat mengacau di Jakarta. Sebelum niat itu terlaksana, bom meledak di markas mereka di Beji, Depok, ketika sedang dirakit.
Sementara Farhan dan Wahyu gampang dilumpuhkan, tak begitu dengan Santoso. Hutan dan gunung di Poso salah satu penghalangnya. Sebagaimana pengakuan Agus alias Solihin sebelum ditangkap, mereka berpindah-pindah dari satu rimba ke rimba lain. Tak aneh bila polisi hanya menemukan bunker kosong di tempat-tempat yang pernah mereka singgahi. Seorang polisi memperkirakan Santoso saat ini berada di pegunungan Koroncopu, Tambarana, Poso Pesisir Utara.
Meski Santoso belum dicokok, Ansyaad Mbai memperkirakan kekuatan mereka mulai timpang. Sebelumnya, polisi memperkirakan anggota mereka puluhan orang. Setelah dikurangi yang mati ditembak dan diringkus, jumlahnya tinggal segelintir. Yang paling baru adalah tewasnya Asmar alias Abu Uswah dan Hasan di Makassar pada Jumat pekan lalu.
Polisi menyebut mereka terlibat pembunuhan dua polisi pada Oktober tahun lalu. Lewat mereka pula senjata dari Ambon masuk ke Sulawesi. Menurut Ansyaad Mbai, mereka juga gembong sel Makassar yang mulai aktif belum lama ini. "Mereka sudah dua tahun diintai," kata Ansyaad.
Sebagian peserta pelatihan kabur ke Bima pada akhir Desember. Pada Jumat pekan lalu, dua di antaranya tewas dalam penyergapan polisi. Salah seorangnya bernama alias Roy. Menurut Ansyaad, Roy inilah yang mengkoordinasi peserta pelatihan dari Bima, sekaligus penghubung antara jaringan Poso dan Makassar.
Anton Septian (Jakarta), Amar Burase (Poso), Darlis (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo