Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=navy>Pemilu 2008</font><br />Ganti Wajah Bisa Bergaul

Partai Keadilan Sejahtera ingin menggaet kalangan nonmuslim. Suara di dalam belum bulat.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM ramah mengembang di bibir Ida Cokorda Pamecutan. Mengenakan pakaian adat Bali komplet, Raja Denpasar ini menyambut tamu istimewa di Puri Pamecutan, Kamis pekan lalu. Para tetamu adalah tiga petinggi Partai Keadilan Sejahtera: Hidayat Nur Wahid, Suharna, dan Kiai Hilmi Aminuddin.

Ini tentu bukan sowan biasa. ”Kedatangan ini menunjukkan Partai Keadilan Sejahtera bisa bergaul dengan siapa saja,” kata Tifatul Sembiring, presiden itu partai. Tifatul kini memang gencar menyuarakan ”keterbukaan”. Ketika berpidato di Bandar Lampung, Sabtu terakhir Januari lalu, ia menyatakan partainya akan merangkul masyarakat nonmuslim di Bali, Papua, Sulawesi Utara, dan Sumatera Utara.

Partai itu pun memilih Bali untuk Musyawarah Kerja Nasional pekan lalu. Para tokoh partai juga mengunjungi dua puri terbesar di Bali, Puri Satria dan Puri Kesiman. Di antara para tamu yang diundang pada pembukaan musyawarah, muncul para tokoh nasionalis seperti Taufiq Kiemas, Try Sutrisno, dan pemimpin spiritual Hindu Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa.

Selama ini, Partai Keadilan Sejahtera dikenal sebagai partai kader. Mereka membangun jejaring melalui aktivis masjid. Ketika pertama kali mengikuti pemilihan umum pada 1999 dengan nama Partai Keadilan, partai ini meraup 1,3 juta suara. Mereka gagal melewati electoral threshold dan harus mengubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Pada 2004, perolehan suara mereka melonjak enam kali lipat.

Dengan menggaet komunitas nonmuslim, aktivis partai berharap bisa menang dalam pemilihan umum tahun depan. Mereka ingin menggaet empat sampai lima persen suara nasionalis yang selama ini sulit menerima Partai Keadilan. Targetnya merebut 110 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dari 45 kursi saat ini. ”Kami optimistis target itu tercapai,” Tifatul menambahkan.

Mahfudz Siddiq, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR, setuju partainya berubah wajah menjadi ”religius nasionalis yang terbuka”. ”PKS ingin menjadi unsur kekuatan untuk semua masyarakat,” ujarnya.

Pada Pemilu 2004, partai ini menempatkan dua wakil nonmuslim di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Papua. Mahfudz berharap jumlah itu terus bertambah. Untuk wilayah Bali, Mahfudz berhitung, 60 persen penduduknya beragama Hindu, 30 persen muslim, dan sisanya beragama lain. Agar bisa menangguk suara, PKS akan memajang calon anggota badan legislatif sesuai dengan data demografi itu. ”Bisa jadi caleg nonmuslim lebih besar daripada caleg muslim,” ia menjelaskan.

Pembahasan caleg nonmuslim ini dikhususkan dalam musyawarah pekan lalu. Rencananya langsung akan dijalankan pada pemilihan umum tahun depan. Dwi Triyono, Ketua PKS Bali 1999-2005, pun pernah menggagas ide ini sejak sembilan tahun lalu. Menurut dia, banyak warga Hindu di Bali berniat masuk dan menjadi pengurus PKS. Begitu juga masyarakat nonmuslim di Papua, Sulawesi Utara, dan Sumatera Utara.

Menurut Triyono, masyarakat di daerah dengan mayoritas penduduk nonmuslim tak mempersoalkan citra PKS sebagai partai dakwah. Mereka pun, menurut dia, tak keberatan dengan asas Islam partai itu. Meski begitu, bukan berarti rencana ini langsung meluncur mulus.

Sebagian kalangan di PKS justru mempersoalkan perubahan ini. Mahfudz mengakui, anggota partainya memiliki sejumlah pertanyaan. Di antaranya pelaksanaan konsep terbuka, kontrol partai terhadap calon anggota badan legislatif dari kalangan bukan kader, peluang tokoh nonmuslim menjadi pengurus partai, serta lunturnya nilai-nilai agama yang selama ini menjadi ”brand” partai ini.

Surahman Hidayat, Ketua Dewan Syariah Pusat dan Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, mengatakan, sebenarnya belum ada pembahasan khusus soal ini, tapi di beberapa daerah para aktivis partai justru sudah gencar menyiapkannya. ”Beberapa kali pengurus pusat memasyarakatkan masalah ini ke bawah,” kata Arif Awaluddin, Ketua PKS Jawa Tengah.

Menurut Ahmad Zainuddin, Ketua Bidang Pembinaan Kader, aturan partainya bisa dikembangkan untuk mengantisipasi perubahan ini. Mahfudz mengatakan, hanya perlu mengubah aturan bahwa calon anggota Dewan dari PKS tidak otomatis menjadi anggota partai. Artinya, PKS akan mendukung calon meski nonmuslim dan bukan anggota partai. ”Termasuk untuk menduduki jabatan publik,” kata Mahfudz.

Pengamat Fachry Ali menilai usaha membuka ke kalangan nonmuslim itu ”revolusi besar dalam pemikiran PKS”. Partai ini, menurut dia, berani melakukan perubahan radikal dalam isu paling sensitif, yaitu agama. ”Inul saja dulu ditolak, apalagi ini pencampuran agama,” katanya.

Ia memperkirakan upaya ini bakal berdampak eksternal maupun internal. Tak mudah bagi PKS meraih ”pangsa pasar” yang lebih luas di lingkup masyarakat sekuler ini. Sebab, ia menyatakan, nilai jual PKS bukanlah kemampuan teknokratis, melainkan ”citra sebagai partai Islam yang jujur”.

Menurut Fachry, masyarakat sekuler lebih memilih kemampuan teknokratis, yang biasanya menjadi barang dagangan partai-partai nonagama seperti Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Amanat Nasional. Ia khawatir PKS gagal merebut pasar sekuler dan, sebaliknya, mengerdil karena digerogoti kader di dalam.

Ia mengatakan, tak semua anggota PKS mampu menerima perubahan radikal. Bisa jadi akan muncul PKS tandingan bentukan anggota partai yang tidak puas dengan perubahan ini. ”Juga penting diketahui, apakah keinginan PKS untuk berkuasa lebih besar daripada menjadi kelompok pendakwah,” kata Fachry.

Pendirian PKS, kata Fachry, tak didasari sejarah politik. Para pendirinya merupakan kelompok masyarakat yang memiliki pemahaman agama yang sama. Karena itu, masih banyak tugas kelompok elite PKS untuk meyakinkan anggota tentang perlunya perubahan wajah ini.

DA Candraningrum, Bayu Galih, Rofiqi Hasan (Denpasar), Rofiuddin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus