Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ambruknya Negeri Serdadu

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jamuan makan malam dengan hiburan lagu dari penyanyi perempuan terkenal Korea Selatan, Sim Soo-bong, itu berubah menjadi ajang pertumpahan darah. Kim Jae-kyu, Direktur Badan Intelijen Pusat Korea (KCIA), yang menjadi tuan rumah acara, dengan dingin menembak mati tamunya, Presiden Park Chung-hee, dan Kepala Pasukan Pengamanan Presiden, Cha Ji-cheol, dengan sepucuk pistol Walther PPK. Kalender menunjukkan saat itu Jumat, 26 Oktober 1979.

”Saya menembak jantung Konstitusi Yushin seperti hewan buas. Saya melakukannya demi demokrasi di negara ini. Tak lebih dan tak kurang,” begitu belakangan Kim Jae-kyu mengaku di pengadilan. Pembelaan itu tak meringankan hukumannya. Bersama empat anak buahnya, bos KCIA itu meregang nyawa di tiang gantungan pada 24 Mei 1980. Seorang anak buahnya yang lain telah lebih dulu dihukum tembak.

Pembunuhan Presiden Park Chung-hee merupakan puncak rivalitas antara KCIA dan Pasukan Pengamanan Presiden (SDC), yang juga biasa disebut Korps Kontraintelijen. Kedua badan ini sesungguhnya tulang punggung Park dalam memerintah Korea Selatan dengan tangan besi. Park, yang berlatar belakang militer dengan pangkat terakhir mayor jenderal, naik ke tampuk kekuasaan setelah mengkudeta Perdana Menteri Chang Myun pada 16 Mei 1961.

KCIA melakukan intervensi di dunia politik untuk membungkam lawan-lawan Park. Adapun sarana yang digunakan Park untuk melegitimasi kekuasaannya adalah Konstitusi Yushin 1972. Konstitusi ini memberinya peluang dipilih kembali secara mudah. Dengan dua senjata itu, dia merasa kuat. ”Dia tidak berkompromi sama sekali dengan golongan oposisi. Hal itu tidak hanya berakibat fatal, tapi juga menimbulkan kerawanan politik dan keamanan,” ujar sejarawan militer Nugroho Notosusanto dalam bukunya Pejuang dan Prajurit.

Selama berkuasa, Park merancang rencana pembangunan ekonomi lima tahunan. Dia berhasil memaksa para chaebol, konglomerat Korea Selatan, membuat industri pengolahan yang menguntungkan negara. Pada akhirnya perusahaan ini, di antaranya Hyundai dan Samsung, berkembang pesat dan terkenal di seluruh dunia.

Park memilih industri berat dan pembangunan infrastruktur yang bisa memompa pendapatan per kapita rakyat Korea Selatan. ”Selama pemerintahan Park, pendapatan per kapita rakyat Korea Selatan naik sepuluh kali lipat,” ujar mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Korea Selatan, Donald Gregg, seperti dikutip Time Asia.

Sayangnya, sukses membangun ekonomi tidak diimbangi dengan sejahteranya kehidupan politik. Rakyat yang tidak puas dengan kebijakan tangan besinya melakukan protes besar-besaran. Dimotori mahasiswa dan buruh, 40 ribu orang berkumpul menuntut perubahan rezim dan Konstitusi Yushin.

Kepala Pasukan Pengamanan Presiden, Cha Ji-cheol, berang atas unjuk rasa itu dan menuduh bos KCIA, Kim Jae-kyu, tak mampu meredamnya. Dicengkeram rasa marah, Kim menduga Presiden Park Chung-hee akan memberhentikannya. Dia pun mendahului dengan menembak mati sang Presiden dan kepala pengawalnya itu.

Dalam bukunya, Nugroho Notosusanto mengangkat contoh Korea Selatan sebagai bukti bahwa rezim militer tak dapat bertahan lama. ”Paling lama lima sampai sepuluh tahun,” begitu dia menulis. Mereka cepat ambruk karena tak mampu beradaptasi dengan tuntutan demokrasi yang diinginkan rakyat. Contoh lain yang dia tunjuk adalah militer Iran semasa kekuasaan Shah Reza Pahlevi.

Shah berusaha keras membangun ekonomi Iran tanpa perimbangan di bidang sosial dan politik. Berlimpahnya petrodolar justru membuat jurang antara si kaya dan si miskin bertambah lebar. ”Rakyat makin miskin, sementara pemerintah dan kaum elite semakin kaya,” tulis Nugroho. Salah satu kelompok yang menikmati kemakmuran dan dimanjakan Shah adalah militer. Shah melengkapi mereka dengan persenjataan modern buatan Amerika. Angkatan bersenjata Iran semasa Shah menjadi salah satu kekuatan militer terkuat di Timur Tengah.

Namun pagar peluru dan bayonet itu tak mampu melindungi Shah dari kemarahan rakyat, yang meletus menjadi revolusi. Pada 16 Januari 1979, Shah dan istrinya terpaksa meninggalkan Iran atas perintah Perdana Menteri Shapour Bakhtiar. Setelah kepergian Shah, secara spontan rakyat Iran menghancurkan patung-patungnya. Dalam hitungan jam saja, tiap jejak penanda dinasti Pahlevi hancur berkeping tinggal puing. Tanpa demokrasi, serdadu terkuat pun menjadi seperti serdadu mainan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus