Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN di executive lounge Hotel Mulia, Jakarta Pusat, itu berlangsung pada penghujung 2003. Nyat Kadir, ketika itu Wali Kota Batam, datang memenuhi undangan Setya Novanto.
Pertemuan ini amat dinanti Setya. Politisi yang saat itu adalah Wakil Bendahara Golkar tersebut sedang ngebet ingin membenamkan duitnya di Batam. Berkongsi dengan Irawan Darsono, pengusaha yang bermukim di Singapura, keduanya berniat mengembangkan budi daya ikan kerapu dan pertanian berteknologi tinggi.
Sebagai persiapan, Novanto dan Ira-wan wara-wiri ke Batam. Lewat bantuan Rudy Alfonso, bekas Sekretaris Ke-tua Otorita Batam, dua pengusaha itu diperkenalkan kepada sejumlah pejabat di sana. Di antaranya, Asman Abnur (saat itu Wakil Wali Kota Batam) dan Wan Darussalam (Kepala Badan Perencanaan Daerah Kota Batam).
Puncaknya adalah pertemuan di Hotel Mulia itu. Nyat Kadir datang bersama Wan Darussalam, Raja Muchsin (Kepala Biro Keuangan Kota Batam), dan Agus Sahiman (Kepala Dinas Pendapat-an Daerah Kota Batam).
Hampir dua jam para pejabat dari Batam itu mendengarkan penjelasan Irawan soal bisnis yang akan digarap. Irawan, yang kerap dipanggil Richard, juga memaparkan rencana pemakaian pupuk organik untuk menyuburkan tanah di Batam. Cerita ini dibenarkan Agus Sahiman. ”Tapi, itu bukan presentasi resmi. Kebetulan saja kami ada di Jakarta,” katanya.
Apa pun bentuknya, yang jelas Peme-rintah Kota Batam memberi lampu hijau atas rencana bisnis itu. Novanto dan Irawan pun diminta mendirikan per-usahaan agar urusan perizinan lebih mu-dah diselesaikan.
Kesempatan ini tak disia-siakan. Sepucuk surat permohonan izin prinsip usaha langsung dilayangkan Setya kepada Nyat Kadir pada 29 Desember 2003. Selain urusan ikan kerapu, agrobisnis, dan holtikultura, ia juga meminta izin untuk menjalankan usaha pengendalian limbah lingkungan. Galang dan Galang Baru, dua pulau di kawasan Batam, dibidiknya sebagai tempat investasi.
Novanto lalu meminta Rudy mencari no-taris untuk membuat akta pendirian per-usahaan. Imbalannya, Rudy diberi jan-ji akan dijadikan direktur. Gerak ce-pat juga dilakoni Irawan. Pria asal Jember itu langsung mencari gedung di Batam untuk dijadikan kantor, sekali-gus me-rekrut pegawai. Untuk meya-kin-kan Nyat Kadir, ia kembali melakukan pre-sen-tasi di kantor Wali Kota Batam, -Maret 2004.
Sebulan berikutnya, dua pengusaha ini meneken nota kesepahaman penyer-taan modal di PT Asia Pacific Eco Lestari (APEL). Novanto, lewat bendera PT Asia Pacific Capital Nusindo, setuju menyertakan modal 30 persen. Sisa-nya dikucurkan oleh Asia Resources En-terprise Limited (AREL)—perusaha-an Singapura tempat Irawan menjadi komisaris. Nyat Kadir lalu menerbit-kan surat persetujuan penanaman mo-dal -asing untuk PT Asia Resources Enterprise Limited dan PT Asia Pacific Capital Nusindo pada 24 Juni 2004.
Dalam lampiran surat disebutkan, Asia Resources Enterprise Limited akan mengucurkan modal US$ 140 ribu. Sisa-nya digelontorkan Novanto lewat PT Asia Pacific Capital Nusindo, sebanyak US$ 60 ribu.
Selang lima hari, akta pendirian PT Asia Pacific Eco Lestari (APEL) rampung. Dalam akta yang dibuat oleh notaris Eben Eser L. Tobing itu, susunan direksi terdiri dari Irawan Darsono (direktur utama), Rudy Alfonso (direktur), dan Ong Gin Keat, seorang warga Si-ngapura (direktur). Juga tertulis posisi Rudy selaku direktur atas persetujuan Setya Novanto. Novanto sendiri tercatat sebagai komisaris.
Dalam akta itu juga disebutkan, mo-dal dasar yang sudah ditempatkan oleh Asia Resources Enterprise Limited baru US$ 35 ribu. Sedangkan Novanto baru menempatkan US$ 15 ribu.
Irawan kian mantap. Pada 21 Juli 2004, ia meminta izin kepada Nyat Kadir untuk memasukkan pupuk organik dari Singapura ke Pulau Galang Baru. Tak tanggung-tanggung, bobotnya 3.000 ton. Syafriadi, yang saat itu pelaksana tugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batam, menerbitkan surat rekomendasi. Isinya, atas nama Wali Kota Batam, bahan organik diperbolehkan masuk.
Setelah mengantongi rekomendasi itu, dengan menumpang kapal Winstar, pupuk organik dikirim dari Singapura pada 28 Juli 2004. Winstar merapat di dermaga Hasim, Pulau Galang Baru, sehari berikutnya. Namun, pupuk yang dibawa dengan 1.762 karung besar itu hanya sepertiga dari yang direncanakan, yaitu 1.149 ton.
Di sini persoalan mulai muncul. Ke-men-terian Lingkungan Hidup curiga -me-lihat ribuan karung ”pupuk” itu ditumpuk di lahan seluas dua hektare yang di-keruk hingga kedalaman 20 meter. -Ka-rena penasaran, pihak kemente-rian pun akhir-nya mengambil sampel dan mengirimnya ke Australian Labo-ratory Services di Bogor dan Badan Tenaga Atom Nasional. Pengujian juga dilakukan oleh laboratorium Sucofindo di Batam.
Hasilnya: pupuk yang katanya bisa me-nyu-burkan tanah itu ”kaya” akan ba-han berbahaya dan beracun (B3). Sederet unsur pembunuh, seperti tembaga, arsen, kad-mium, seng, dan timbel, mengendap ber-sama ranting-ranting kayu di dalam ka-rung. Bila ditimbun sembarangan, logam berat ini dapat merusak lingkung-an.
Namun, temuan ini ditolak oleh Singa-pura. Dua laboratorium di Negeri Singa itu, National Environment Agency dan Agrifood & Veterinary Authority, menyatakan pupuk tersebut aman-aman saja.
Silang pendapat inilah yang sempat meng-ganjal Indonesia dalam memulang-kan limbah beracun itu ke Singa-pura. Untuk memecah kebuntuan, Sekretariat Konvensi Basel, yang mengatur lika-liku limbah berbahaya, menunjuk Si-rim Berhad Laboratories dari Malaysia- se-bagai laboratorium pembanding. Ha-silnya, kadar seng dan tembaga tetap ting-gi bila dilihat dari hukum Indonesia.
Kata sepakat akhirnya dicapai di Sekretariat Konvensi Basel, Jenewa, awal Mei 2005. Disepakati bahwa pengiriman bahan organik itu tidak melanggar Konvensi Basel karena Singapura dianggap telah bertindak sesuai dengan hukum negaranya. Meski begitu, pupuk itu tetap dinyatakan berbahaya dilihat dari aturan yang berlaku di Indonesia. ”Sehingga pemulangannya juga tidak melanggar Konvensi Basel,” kata Sudarsono, bekas Asisten Deputi Urusan Pe-negakan Hukum KLH. Akhir Mei 2005, dipulangkanlah tumpukan racun itu ke Singapura.
BUNTUT dari silang-sengkarut ini, empat nama ditetapkan sebagai tersangka. Namun, baru Rudy Alfonso yang dibawa ke meja hijau dan dihukum enam bulan penjara karena mencemari lingkungan. Sisanya, Irawan Darsono alias Richard, Ong Gin Kiat, dan Fredy Boy (Manajer PT APEL) masih buron.
Menurut Zulhendri Hasan, pengaca-ra Rudy, kliennya hanyalah korban da-ri persoalan ini. ”Rudy tak pernah mem-beri perintah atau bertindak se-bagai pimpinan dalam kegiatan impor tersebut,” katanya kepada Tempo. ”Kewe-nangan itu tak dimilikinya, karena ia memang tak punya saham.”
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab? Zulhendri menunjuk No-vanto. Alasannya, selain penggagas bisnis, Novanto juga setuju menyetorkan modal dasar sebesar 30 persen di APEL. Novanto pula, melalui Kartika Wulansari, sekretarisnya, yang meminta Rudy menyambut impor perdana. ”Tiketnya disediakan oleh Wulan,” kata Zul. Dua hari setelah itu, Rudy mengundurkan diri dari PT APEL.
Keterlibatan Novanto juga pernah diisyaratkan Menteri Lingkungan Hi-dup, Rachmat Witoelar. ”Pengimpornya memang licin. Kalau Anda nongkrong di tempat parkir di sana (gedung DPR), Anda akan ketemu dengan orangnya,” kata Rachmat.
Untuk bisa memeriksa Novanto yang ang-gota DPR, Rachmat melayangkan surat permohonan persetujuan penyidikan- ke-pada Presiden Susilo Bambang Yu-dho-yono pada 30 Agustus 2005 dan 30 Janua-ri 2006. Tapi izin tak kunjung turun.
Novanto atas inisiatifnya memang pernah membawa surat pernyataan diri untuk diperiksa oleh penyidik KLH, Juni tahun lalu. Tapi, dalam pemeriksaan ia mengaku tak tahu-menahu soal impor limbah itu. Alasannya, ia sudah meng-undurkan diri sebelum impor dilaksa-nakan. Bahkan ia mengaku tak ingat lagi tujuan awal bisnis yang dirintisnya. ”Urusan ini sudah selesai di Pengadilan Negeri Batam,” ujarnya.
Pihak KLH pun sepertinya mati kutu. Menurut Dasrul Chaniago, Kepala Bidang Penyidik KLH, penyidik belum menemukan satu pun saksi di lapangan yang melihat langsung peran Novanto. Itu sebabnya suara Rachmat belakang-an kian lunak. Kata Dasrul, ”Belum ada bukti yang bisa mengaitkan keterlibatan Novanto.”
Yandhrie Arvian, Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo