Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Supaya Pahlawan Tak Dianiaya

TKI tidak perlu datang ke Jakarta hanya untuk mengurus paspor. Kartu cerdas untuk menghindari pemalsuan.

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIPENJARA di ranah rantau, diperas di negeri sendiri—sial nian nasib puluhan tenaga kerja Indonesia asal Lombok ini. Karena datang secara ilegal, mereka sempat mengenyam hukuman kurungan 1-3 tahun dan dicambuk tiga kali oleh pemerintah Malaysia. Ketika dipulangkan ke Tanah Air, mereka justru jadi sasaran pemerasan.

Sebenarnya, perjalanan dua hari tiga malam dengan menumpang bus Damri dari Jakarta biasa-biasa saja. Masalah baru muncul ketika mereka tiba di Mataram pada Kamis, akhir Juni lalu. Turun dari bus, mereka langsung diserbu dan dikejar-kejar preman dan calo angkut-an. Tak terasa mereka sudah berlarian keluar masuk kampung sejauh enam kilometer ke arah timur Kota Mataram.

”Mereka memaksa, kalau tidak mau kami ditebas,” ujar Kamarudin, dari Lombok Timur. ”Beginilah nasib kami. Tidak ada harta dibawa pulang, malah dikerjain di kampung sendiri.’’

Ada ribuan TKI yang mengalami nasib hampir mirip Kamarudin. Ketika akan berangkat, mereka sasaran percaloan. Setelah sampai di negeri orang, mereka bukan cuma ditahan, tetapi juga tidak digaji, dianiaya dan diperkosa. Ketika pulang ke Tanah Air, tak sedikit yang jadi sasaran pemerasan.

”Mereka yang berangkat secara ilegal memang rawan masalah,” ujar Anis Hidayah dari Migrant Care, lembaga swadaya masyarakat yang peduli buruh migran. Ironisnya, dari total 4 juta TKI, ada ribuan orang yang memilih berangkat secara ilegal melalui calo.

Mengapa mereka tergoda calo? Menurut Anis, karena berbelitnya birokrasi pemerintah dan pemusatan pengurus-an izin TKI. Saat ini saja, ada 25 meja atau 40 titik yang harus dilalui calon TKI agar bisa mencari hidup di negeri seberang. Padahal, bila lewat calo atau perusahaan jasa pelayanan TKI (PJTKI) ilegal, urusan bisa cepat beres, meski membayar lebih mahal.

Kondisi itu makin buruk dengan pemusatan pengurusan visa dan paspor. Untuk mengurus paspor calon TKI tujuan Timur Tengah saja, mereka ha-rus datang ke kantor imigrasi Jakarta Timur, sekarang pindah ke Tangerang, meski berasal dari luar Jakarta atau luar Jawa. ”Akibatnya, banyak terjadi pemalsuan identitas calon TKI,” kata Wahyu Susilo, analis kebijakan Migrant Care. ”Bahkan sekitar 60 persen identitas TKI palsu.”

Keyakinan Wahyu diperoleh karena mayoritas TKI bekerja di Timur Tengah. Hasil penelitian Migrant Care pada 2004 juga memastikan banyaknya pemalsuan itu. Saat itu, Desa Tegalega, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, bisa memproduksi Kartu Tanda Penduduk (KTP) secara besar-besaran, hingga 40 ribu kartu. ”Padahal, jumlah penduduk di desa itu hanya enam ribu,” kata Wahyu.

Salah satu korbannya adalah Miftah Farid. Dia berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur, tetapi di paspor tercatat tempat asalnya Tegalega, Sukabumi. Ketika itu Miftah bersama sembilan calon TKI mengurus perizinan lewat calo dan diteruskan ke PT Ipwikon Jasindo. Rata-rata mereka membayar Rp 10-12 juta. Dia pun ditampung selama beberapa bulan di Condet, Jakarta, tempat mangkal banyak PJTKI kaki lima—ini sebut-an untuk PJTKI tak resmi.

”Tapi, ketika paspor dibagikan di bandara, saya terkejut karena ditulis berasal dari Tegalega,” ujar Miftah, yang sekarang menjadi aktivis buruh migran. Dia sempat protes, namun mereka mengancam keberangkatan dibatalkan. ”Karena takut dibatalkan, saya nekat saja.”

Pola ini sudah berjalan bertahun-tahun. TKI yang berangkat lewat PJTKI kaki lima umumnya melalui pro-ses peng-urusan izin yang sama. Sampai se-karang pun, menurut aktivis di Serikat Buruh Migran Indonesia, keadaannya masih seperti itu. ”Sebab, saya memang mendampingi ratusan buruh yang memiliki kasus serupa.”

Pengurusan paspor untuk calon TKI memang sudah pindah ke imigrasi Ta-ngerang. Namun, Anis Hidayah tidak yakin pemalsuan identitas berkurang. Di kantor imigrasi ini, Tempo mendapati suasana kantor yang kumuh. Puluhan wanita tampak tiduran di lantai dan ratusan lagi antre berjubel di depan loket. Pedagang kaki lima berkeliaran seperti di rumah sendiri.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigra-si Erman Soeparno membenarkan bahwa banyak praktek percaloan dalam pengurusan izin dan penempatan calon TKI. Dia mengakui munculnya praktek percaloan disebabkan kebijakan peme-rintah yang salah selama ini. ”Prosedur yang berbelit-belit, lama dan banyak -biaya siluman,” katanya.

Untuk menekan praktek percaloan itu, pemerintah segera memangkas birokrasi pengurusan izin TKI dari 20 meja menjadi hanya 10 meja. Biaya-bia-ya siluman, seperti biaya rekomendasi fiskal, dihapuskan. Sebagian wewenang perizinan diserahkan ke daerah, seperti penampungan dan pengurusan paspor. Ini akan mengurangi bia-ya transportasi, akomodasi, dan penampung-an. ”Mereka tidak perlu datang ke Jakarta hanya untuk mengurus paspor,” ujar Erman.

Perbaikan layanan TKI juga dilakukan di Terminal III Bandara Soekarno-Hatta. Tempat keberangkatan dan kedatangan akan disatukan agar TKI bisa langsung pindah pesawat jika akan ke kota lain. ”Mere-ka tak akan dikejar-kejar lagi.” Dari pengamatan Tempo pekan lalu, kondisi Terminal III memang sudah lebih baik. Sulit menemui praktek pungutan liar dan pemerasan di sini.

Untuk menghindari pemalsuan, pe-merintah akan menggunakan kartu smart card alias kartu cerdas. Ini menjadi identitas resmi TKI sesuai dengan paspor. Selain bisa untuk transaksi di bank, kartu ini juga bisa untuk klaim asuransi dan penghargaan sosial, mi-salnya kalau berobat mendapat diskon. ”Sebab, TKI telah berjasa sebagai pahlawan devisa.”

Heri Susanto, Ayu Cipta (Tangerang), Supriyanto Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus