Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah baru di Jalan Wijaya itu tampak mencorong, bahkan untuk ukuran kawasan elite seperti Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Seluruh dindingnya berwarna putih, penuh lampu. Lantai pa-ling bawah (basement) digunakan se-bagai garasi yang muat 14 mobil. Untuk mendaki dari garasi ke ruang tidur di lantai empat, jangan khawatir, Anda tak perlu repot-repot menghabiskan ba-nyak kalori. Cukup pencet lift, dan wus..., dalam sekejap kita diantar langsung ke depan pintu kamar. Ah, Anda bukan di hotel, Anda sedang berada di rumah pribadi.
Untuk rumah sehebat itu, tak mengherankan jika ”grand opening”-nya di-buat istimewa. Maka, pertengahan Juli lalu, sekitar 200 tamu penting diundang agar ikut merayakan selamatan rumah baru ini. Selain sejumlah selebriti, pesta yang penuh sorot lampu dan gelak tawa itu juga dihadiri Ketua DPR Agung Laksono dan bekas Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung.
Yang mengejutkan, tak sampai dua pekan setelah hajatan agung itu, pe-milik rumah, pengusaha Setya No-van-to, diciduk aparat Kejaksaan Agung. Para penyidik memanggil anggota DPR dari Partai Golkar ini dengan bekal surat izin Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono. Untuk pertama kalinya, pemilik beberapa resor dan hotel mewah ini diperiksa dalam kasus penyelundupan beras sebagai saksi.
Nova ikut terseret karena nama-nya tertera sebagai pemberi jaminan pribadi kredit impor yang dicairkan PT Hexa-tama Finindo dari Bank Mandiri. Pada Maret - Mei 2003, Hexatama memasuk-kan 60 ribu ton beras asal Vietnam. Yang menjadi soal, dari jumlah seba-nyak itu hanya 900 ton yang dibayar bea masuknya. Gara-gara aksi penyelundup-an ini, kas negara bolong hingga Rp 28,5 miliar.
Perkara penyelundupan beras ini pulalah yang membawa Nurdin Halid ke penjara. Ketua Umum Induk Koperasi (Inkud, rekanan Hexatama) itu diganjar hukuman dua setengah tahun dan denda Rp 250 juta. Dua petinggi Inkud lainnya juga divonis bersalah oleh pengadil-an. Sejumlah pejabat pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ikut terseret sebagai tersangka.
November tahun lalu, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudho Husodo ”menggugat” kasus ini. Menurut Siswono, Inkud ha-nya diperalat. Sebab, pemilik be-ras sebenarnya adalah Hexatama, perusaha-an yang dipimpin Gordianus Setio Lelono, kakak kandung Nova. ”Inkud memang bersalah,” katanya, ”tapi tidak adil kalau dalangnya tidak diseret ke pengadilan.”
Baru sepuluh bulan kemudian gugatan Siswono berbuah. Dalam peme-riksaan selama delapan jam akhir Juli lalu, status Nova memang masih ”saksi”. Namun, kaitannya dalam perkara ini sulit terbantahkan. Surat Setio Lelono ke Bank Mandiri, Juni 2003, jelas menyebut Nova sebagai pejabat Hexatama yang meneken seluruh surat-menyu-rat yang berkaitan dengan rekening pe-nampung Hexatama di Bank Mandiri.
Meskipun namanya kerap dikaitkan dengan bisnis yang menyerempet-nye-rempet bahaya, selama ini Nova selalu lolos. Beberapa rekan pengusaha menyebut menantu bekas Kepala Polisi Jawa Barat itu sebagai The Untouchable.
Delapan tahun lalu, bersama Djoko S. Tjan-dra, Nova menjadi ”bintang” media dalam skandal tagihan Bank Bali. Ka-sus yang menyeret sejumlah petinggi Par-tai Golkar ini meletup setelah Bank Ba-li mentransfer dana setengah triliun le-bih kepada PT Era Giat Prima, milik No-va, Djoko, dan Cahyadi Kumala. Da-na ini merupakan komisi atas ”jerih pa-yah” EGP menagih piutang Bank Bali ke BPPN.
Beberapa tahun kemudian, nama-nya kembali diributkan dalam kasus impor limbah dari Singapura. Dengan izin impor pupuk organik, perusahaan milik Nova mendatangkan ribuan ton limbah beracun. Tak kurang dari Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar yang melayangkan surat permohonan persetujuan pemeriksaan Nova kepada Presiden, akhir Agustus 2005. Namun, sampai sekarang kasus ini masih buntu.
Pengusaha kelahiran Bandung, November 1955, ini memang dikenal seba-gai jagoan lobi. Lelaki ganteng yang meraih anugerah Pria Tampan Surabaya 1975 ini selalu tampak santun dan ringan tangan, terutama terhadap orang-orang yang punya pengaruh. Sebagai peng-usaha yang sudah lumayan kondang, Nova tak merasa risi, misalnya, membawakan tas petinggi militer, kala itu, Jenderal Wismoyo Arismunandar.
”Awalnya, Pak Wismoyo memandang sebelah mata pada saya,” katanya dalam wawancara dengan majalah Swa bebe-rapa tahun lalu, ”Tapi kemudian beliau percaya.” Kedekatan dengan Wismoyo menjadi tiket bagi Nova untuk mema-suki kalangan pimpinan induk orga-nisasi olahraga, yang kala itu dikuasai pejabat tinggi dan pengusaha.
Selain pintar melobi, Nova juga dikenal pantang menyerah. Kisah bagaimana ia menempel Sudwikatmono menunjukkan keuletannya. Kala itu, 20 tahun lalu, bekas pedagang besar di Pasar Keputren Surabaya ini belum lagi ter-kenal. Nova, yang baru saja menyelesaikan proyek Nagoya Plaza Hotel di Batam, melihat potensi pulau itu se-bagai daerah wisata. Sayang, tanah paling stra-tegis di wilayah itu, yakni kawasan Pantai Nongsa, telah dikuasai oleh Su-dwi-katmono, Ciputra, dan Liem Sioe Liong.
Tak ada jalan lain kecuali harus me-rapat kepada Sudwi. Tapi bagaimana caranya? ”Berhari-hari saya mencegat Pak Dwi di lapangan parkir,” katanya. Sudwi, yang semula terus menampik, akhirnya memberi kesempatan kepada anak muda yang ulet dan penuh sema-ngat itu. Kegigihan inilah yang kemudian membuahkan Talvas Resort Island, padang golf internasional, proyek per-tama Nova dengan Sudwi.
Sejak itu, proyek bersama antara Nova dan Sudwi terus bermunculan. Setelah resor dan hotel, menyusul kemudian proyek telekomunikasi, kawasan industri, kota satelit, pabrik pompa air, dan sebagainya. Saking banyaknya usaha patungan dengan kerabat dekat Cenda-na itu, Nova dikenal sebagai peng-usaha ”binaan” Sudwikatmono.
Setelah menggaet Sudwi, Nova melaju tak tertahankan. Jalan ke Cendana, pusat bisnis dan kekuasaan saat itu, tinggal selangkah lagi. Benar saja. Dengan menulis buku Manajemen Soeharto, Nova berkesempatan bertemu dan mewawancarai langsung Presiden Soeharto di Bina Graha.
Seperti cerita sinetron yang gampang ditebak, Nova kemudian berkongsi de-ngan anak-anak Soeharto. Bersama Siti Hardijanti, dia mengelola bisnis pembuatan surat izin mengemudi. Dengan Elsye Sigit (istri Sigit Hardjojudanto), Nova sempat mendirikan perusahaan untuk komputerisasi KTP.
Pertanyaannya, apakah keuletan dan ke-kuatan lobi akan menyelamatkan No-va, kali ini? Sumber Tempo menye-but Par-tai Beringin kini tidak solid men-du-kung-nya. Nova, bekas Wakil Bendahara Gol-kar pada era Akbar Tan-djung, sekarang tidak lagi berada dalam kepengurus-an partai.
Menurut Ketua DPP Golkar Anton Le-siangi, yang mengutip ucapan Ke-tua Umum Jusuf Kalla, pada prinsipnya Gol-kar tak akan melindungi kadernya yang bersalah. Kalau Golkar melin-dungi orang seperti itu, ”Bagaimana partai bi-sa menang pemilu?” ujarnya.
Jika pernyataan itu benar, sulit bagi Nova untuk mengharapkan naungan Po-hon Beringin. Kalaupun ada pe-luang untuk lolos, kesempatan itu harus digali-nya dari dirinya sendiri. Kepada Heri -Susanto dari Tempo, ia menegaskan peran di Hexatama hanya sebatas penjamin kredit. ”Saya bukan pemilik saham,” ujar-nya.
Metta Dharmasaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo