Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPADA wartawan Tempo, seorang polisi pernah berkisah, tiga tahun lalu ia dikirim ke Singapura untuk mencari seorang taipan penunggak utang. Dicari ke sana kemari, sang pengusaha dipergoki sedang ngopi di sebuah kafe. Polisi itu masuk ke situ, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Taipan yang tahu sedang diburu malah mesam-mesem. Alih-alih mendapat hasil buruan, polisi itu pulang membawa angin. Tanpa perjanjian ekstradisi dan bantuan aparat di sana, polisi kita itu tak bisa berbuat apa-apa.
Singapura saat ini memang surga buat para pengemplang utang. Direktur Bank Surya Bambang Sutrisno yang dituduh merugikan negara Rp 1,5 triliun, kabarnya berada di sana. Pada November 2002, ia divonis in absentia penjara seumur hidup Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemilik Bank Pelita, Agus Anwar, yang juga terlibat kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 1,9 triliun, dicurigai juga ada di Singapura. Tanpa perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura, hidup mereka nyaman tak terusik. Sebagian malah masih bisa berbisnis.
Pemerintah kita bukannya tak sadar akan kendala itu. Upaya merintis perjanjian ekstradisi dengan negara-negara Asia Tenggara sudah dimulai sejak 1974. Pada saat itu Indonesia berhasil meneken perjanjian dengan Malaysia, menyusul dengan Filipina dua tahun kemudian, lalu dengan Thailand pada 1978.
Namun, pendekatan terhadap Singapura tak pernah mulus. Muncul dugaan miring: Singapura enggan terlibat perjanjian karena ingin melindungi para koruptor. Soalnya, saat kabur, mereka membawa serta uang jarahan yang kemudian diinvestasikan di sana. Kedutaan Singapura di Jakarta yang dikontak Tempo enggan menjawab. ”Pertanyaan Anda akan kami teruskan kepada pejabat yang berwenang di Singapura,” kata seorang staf Atase Pers Kedutaan Singapura di Jakarta.
Dalam beberapa kesempatan, tuduhan miring selalu dibantah pemerintah Negeri Singa itu. Mereka menunjuk perbedaan sistem hukum sebagai kendala: Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental, sedangkan Singapura menggunakan sistem British Common Law.
Ketegangan Singapura dan Indonesia sedikit mengendur setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu PM Lee Hsien Loong di Singapura, Februari tahun lalu. Dari situ, tim perunding kedua negara pun dibentuk. Menurut ketua juru runding Indonesia, Arif Havas Oegroseno, yang juga Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri, hingga kini setidaknya sudah tujuh kali mereka bertemu.
Hasilnya? ”Dari 20 pasal perjanjian ekstradisi yang dibicarakan, 17 sudah disepakati,” ujar Havas. Satu yang terpenting, katanya, ”Korupsi masuk dalam daftar tindak pidana yang disepakati.” Jika mulus, diharapkan sebelum akhir tahun ini perjanjian itu sudah ditandatangani.
Hasjim Djalal, mantan Kepala Bidang Politik Kedutaan Indonesia di Singapura pada 1974, mengingatkan pemerintah agar tetap awas. Perjanjian tidak serta-merta melancarkan proses ekstradisi. Dia menunjuk kasus Hendra Rahardja, pengemplang utang BLBI yang lari ke Australia sebagai contoh. ”Kalau negaranya nggak mau pulangin, dia bisa cari jalan untuk menolak,” ujar Hasjim. Caranya adalah melalui keputusan pengadilan.
Nah, modus ini bisa diterapkan di Singapura. Menurut sistem hukum di sana, ekstradisi harus atas perintah pengadilan. Kalau pengadilan menganggap bukti untuk kejahatan yang dituduhkan tak cukup, mereka bisa menolak permintaan ekstradisi. Jadi, sebelum mau ke pengadilan, ”Siapkan saja bukti-bukti yang lengkap dan cermat,” kata Hasjim memberi resep.
Philipus Parera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo