Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANDAI-pandai David Nusa Widjaya menghapus jejak, akhirnya tertangkap juga. Setelah melanglang buana dari Hong Kong sampai Amerika, kini bekas bos Bank Umum Servitia yang divonis pidana delapan tahun itu meringkuk di sel penjara Salemba.
David, katanya, rindu kampung. ”Jujur, saya selama di luar negeri tidak betah,” katanya tatkala dihadirkan dalam konferensi pers di Markas Besar Polri, Rabu pekan lalu. ”Kangen pada negeri sendiri, terutama dengan makanannya.” Ehm.
Tentang penangkapannya di Amerika Serikat, David menolak disebut ”tertangkap”. Ia, katanya, dicegat di Bandar Udara San Francisco oleh Biro Investigasi Federal (FBI), Sabtu dua pekan lalu, ketika hendak terbang ke Hong Kong bersama ibu, kakak ipar, dan keponakannya.
Kehadirannya di Indonesia pun, menurut dia, merupakan pilihannya, setelah berkonsultasi dengan para agen FBI dan petugas Polri yang dikirim untuk menjemputnya. ”Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi saya kembali ke Indonesia untuk mencari keadilan,” katanya. ”Saat itu saya ke luar negeri karena merasa tidak mendapat keadilan,” ujarnya tentang pelariannya sejak 5 Maret 2004.
Soal kapan persisnya David kabur juga ada dua versi. Kejaksaan Agung menemukan dua paspor yang dikantongi David. Paspor pertama dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Tangerang atas nama Ng Tjuen Wie, dengan tanggal lahir 27 September 1961, dan berlaku dari 21 Oktober 2003 hingga 21 Oktober 2008.
Paspor lain atas nama David Widjaya Ng, dengan tanggal lahir 16 November 1953. Berlaku sejak 5 Juni 2001 hingga 5 Juni 2006. ”Sejak Mei 2002, David sudah tidak di tempat,” kata juru bicara Kejaksaan Agung, Masyhudi Ridwan.
Mana dari kedua identitas itu yang sungguh-sungguh David? Nama aslinya memang Ng Tjuen Wie, lahir di Jakarta pada 27 September 1961. Tak banyak referensi di media yang mencatat nama David, sebelum orang ramai membincangkan kisruh pengucuran dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sebagai direktur utama di Servitia, yang ketika itu berstatus ”beku kegiatan usaha”, nama David dan Tarunodjojo Nusa tercatat sebagai penjamin atas kucuran uang Bank Indonesia yang mencapai Rp 1,3 triliun. David mewarisi Servitia dari ayahnya, Tan Tjin Kok, yang mendirikan bank itu pada 17 Maret 1967.
Setelah beroperasi hampir 30 tahun, perusahaan itu berubah menjadi perseroan terbuka (Tbk), dengan modal dasar Rp 800 miliar dan modal disetor Rp 100 miliar. Bank ini bahkan sempat dua tahun berturut-turut masuk daftar 500 bank terbaik di Asia Pasifik yang dikeluarkan oleh majalah Asia Week.
Perusahaan di bawah bendera Grup Batasan yang lain, seperti PT Asiana Multikreasi Tbk, juga menempatkan David di jajaran pimpinan. Grup ini membawahkan banyak perusahaan yang bergerak mulai dari pengolahan hasil hutan, perkebunan, sampai bisnis eceran. Umumnya bermarkas di Jalan Pasar Pagi, Jakarta Barat.
David sendiri tak mau banyak bicara tentang sisa hartanya itu. ”Saya keluar negeri pun tidak membawa apa-apa,” katanya. ”Selama di Singapura saya dibantu oleh saudara di sana.” Ketika memberikan keterangan, David didampingi pengacara Agustinus Hutajulu.
David mengaku tak tahu bahwa selama ini ia dikejar-kejar aparat hukum di Indonesia. Buktinya, katanya, ia ke luar negeri dengan paspor bernama asli. ”Kalau saya ingin kabur dan menetap di luar negeri, saya tidak mungkin memakai nama asli,” katanya. ”Bahkan visa saya pun tetap warga negara Indonesia.”
Ia memilih menjalani vonisnya di sini, karena pilihan kedua adalah menghadapi proses hukum di Amerika, dengan ancaman hukuman lima tahun karena pelanggaran dokumen imigrasi. Setelah itu pun ia terancam dideportasi. ”Saya tidak mau ada urusan di luar negeri,” katanya.
Di sini David dijanjikan akan mendapat jaminan keamanan sekaligus kesempatan meluruskan berita yang berkembang di media, yang ia nilai terlalu menyudutkan dirinya. ”Suatu saat saya akan menjelaskan ke Polri apa yang terjadi,” ujarnya.
Ia menolak memberikan keterangan lebih banyak mengenai ke mana saja larinya uang BLBI Rp 1,3 triliun yang dulu diterima banknya. ”Saya tidak terima apa pun,” katanya. Kalau begitu, seraya menyantap makanan Indonesia, David boleh berharap masih akan banyak nama yang menyusulnya ke penjara.
Y. Tomi Aryanto, Erwin Dariyanto/Riset ICW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo