Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Suami Berdarah Dingin

Setelah pisah ranjang, seorang pria membantai mertua, istri, dan dua adik iparnya. Empat nyawa melayang.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam belum begitu larut, baru sekitar pukul sepuluh, tapi Kartini Budiningsih, 35 tahun, tak kuasa melawan kantuk. Warga Kampung Tiisdingin, Desa Dukuh, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, ini menyerah. Tanpa menunggu suaminya yang belum pulang, dia merebahkan diri bersama dua anaknya yang sudah terlelap.

Mata baru saja terpejam, tiba-tiba telinganya menangkap sayup-sayup jeritan wanita minta tolong. Kartini tersentak, teriakan itu mirip suara kakaknya, Tuti Susilawati, 38 tahun. Bergegas dia bangkit membuka pintu dan menerjang kegelapan. Wanita ini menuju rumah panggung yang berjarak 20 meter dari rumahnya. Di sana tinggal Nyonya Enok, 70 tahun, mertua Tuti. Bersama suami dan dua anaknya, Tuti tinggal di rumah sendiri, tak jauh dari situ.

Dalam keremangan cahaya lampu lima watt, Kartini melihat wanita tertelungkup berkubang darah di beranda rumah Enok yang tertutup. Setelah membalik kepala perempuan itu, Kartini langsung menjerit. Dia memang Tuti, kakaknya.

Gemparlah seisi kampung pada Sabtu malam, 14 Januari, itu. Sebagian menghubungi polisi, sebagian lagi membawa Tuti ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Seseorang melihat ceceran darah yang memanjang hingga ke rumah Tuti, sekitar 20 meter dari rumah Enok.

Mengikuti jejak darah, sebagian warga menuruni tanah yang dipapas berupa undak-undakan. Sampai di depan rumah Tuti yang tertutup, mereka berhenti. Tak ada yang berani masuk.

Rumah ini baru dibuka setelah petugas dari Kepolisian Sektor Paseh datang. Warga terhenyak melihat Amas, 45 tahun, suami Tuti, beserta tiga anaknya, Heni (18), Ujang Yanto (12), dan Mulyadi (3), terkapar tak bernyawa. Amas tewas dengan luka bacokan di tengkuknya. Tubuhnya ditemukan tertelungkup di ruang keluarga.

Heni ditemukan di atas tempat tidur dalam kamarnya. Luka akibat sabetan golok menyilang di belakang kepalanya. Pergelangan tangan kanannya putus. Mayat Ujang Yanto tergolek di sebuah kamar yang bersebelahan dengan kamar Heni. Di sebelahnya terbujur kaku adiknya, Mulyadi, yang kepalanya telah merekah.

Kepala Polisi Sektor Paseh, Ajun Komisaris Polisi Roedy de Vries, menduga pembantaian itu dilakukan oleh Iip Syaifulloh, 28 tahun, suami Heni. ”Pengakuan saksi dan keterangan orang-orang di sekitarnya mengarah ke dia,” katanya.

Sebelum beraksi, tersangka pernah tidur di rumah Erus, temannya, di Desa Karyasari, Kecamatan Pamugaran Sukanagara, Cianjur. Menurut si teman, Syaifulloh saat itu batuk-batuk berdarah. ”Saya telah diguna-gunai keluarga istri saya,” kata Syaifulloh kepada Erus.

Setelah menginap tiga malam di rumah Erus, Uloh—begitulah dia biasa dipanggil—pamit untuk mengunjungi keluarga istrinya. Dia mengatakan hendak menyelesaikan urusan keluarganya secara baik-baik. ”Kalau tidak, saya tidak akan kembali,” ujarnya.

Tersangka mengawini Heni enam bulan lalu. Empat bulan kemudian mereka pisah ranjang karena sering cekcok. Sejak itu pula, Syaifulloh tak tinggal bersama mertuanya. Dia tinggal bersama orang tuanya di Kampung Wadat, Desa Cikawao, tak jauh dari Tiisdingin.

Tuti mengakui pada malam yang nahas itu Syaifulloh memang datang ke rumahnya. Ia mengobrol dengan Amas. Sementara itu, Tuti, Heni, dan adik-adiknya tidur di kamar masing-masing.

Menjelang pukul sepuluh, Tuti terbangun karena suara gaduh di ruang tengah. Dia membuka pintu. Dilihatnya suaminya sudah tertelungkup berlumuran darah. ”Saya bertanya, ada apa ini,” katanya. Tanpa menjawab, Syaifulloh membacok Tuti empat kali hingga ia semaput. Setelah sadar, Tuti merangkak ke rumah mertuanya sambil berteriak minta tolong.

Syaifulloh sendiri mungkin tidak mengira Tuti masih hidup. Setelah membantai semua anggota keluarga istrinya, dia kabur menumpang ojek yang mengantarnya hingga ke Majalaya. Dari situ dia naik angkutan kota ke Ciparay. Sampai akhir pekan lalu, polisi masih mengejarnya.

Pada malam setelah pembantaian itu, Kartini dan warga Tiisdingin tak berani tidur di kampung itu. Mereka baru muncul kembali pada siang hari. Itu pun hanya kaum prianya.

Nurlis E. Meuko dan Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus