Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wawancara David van Reybrouck penulis buku tentang revolusi kemerdekaan Indonesia.
David bercerita tentang proses kreatif dibalik penulisan bukunya.
Pengalaman David menggali bahan bukunya hingga ke Nepal, Jepang, dan Indonesia.
KURANG dari setahun, buku Revolusi; Indonesië en het ontstaan van de moderne wereld atau Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World karya David van Reybrouck sudah terjual hampir 100 ribu eksemplar. Buku tersebut mendapat banyak pujian sebagai buku yang enak dibaca sekaligus penuh dengan detail sejarah kolonialisme Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo, selama hampir dua jam David menceritakan pengalamannya menuliskan buku itu hingga ke Jepang, Nepal, dan Indonesia, lewat aplikasi Zoom, dua pekan lalu. David juga menjawab beberapa pertanyaan ketika Tempo bertemu dengan dia dalam acara diskusi bukunya di Rijksmuseum, Amsterdam, Selasa, 7 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita pembuka di bab pertama buku Anda adalah peristiwa serangan bom Sarinah, Jakarta, pada 14 Januari 2016. Padahal materi buku Anda menceritakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Apa alasannya?
Begini. Saya merasa dunia sekarang ini tidak menaruh perhatian yang cukup kepada Indonesia. Kita mendengar tentang Cina, Amerika, dan India, tapi tidak Indonesia. Saya mengecek beberapa toko buku di dunia, sangat sedikit buku tentang Indonesia. Jadi saya memulai dengan kejadian itu karena tiba-tiba perhatian dunia mengarah kepada Indonesia. Saat ada bom Sarinah itu saya cek seharian berita tentang Indonesia ada di mana-mana di dunia, tapi keesokan harinya Indonesia dilupakan lagi. Menurut saya, itu tidak adil. Indonesia adalah negara besar dengan sejarah yang besar juga, tapi sedikit sekali perhatian dunia kepada Indonesia. Padahal Indonesia memainkan peran penting dalam sejarah dunia. Maka dari itu saya memulai buku saya dengan keacuhan lugu dunia kepada Indonesia.
Sebagai orang Belgia, Anda menulis tentang Indonesia, seperti apa tanggapan orang sekitar Anda?
Sebenarnya saya sudah memberitahukan ide menulis soal Indonesia ini dengan beberapa teman orang Belanda. Tapi mereka mengatakan bahwa sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia tersebut terlalu rumit, terlalu kontroversial, dan terlalu menyakitkan. Saya sempat menunggu selama lima tahun untuk kemudian memulai proses menulis buku ini.
Apa yang membuat revolusi Indonesia patut disuarakan?
Pertama, dunia seakan tidak sadar ihwal posisi penting Indonesia sebagai negara pertama yang memproklamasikan kemerdekaannya setelah Perang Dunia Kedua. Kedua, ini bukan hanya tentang sejarah Indonesia dan Belanda, tapi menjadi catatan sejarah dunia, yakni menjadi awal dekolonialisasi global. Setelah Indonesia, negara-negara lain juga turut memproklamasikan kemerdekaannya, seperti India, Filipina, dan lainnya. Kejadian itu menjadi awal sejarah dunia modern. Ketiga, Konferensi Asia-Afrika 1955 juga punya dampak besar bagi dunia. Tokoh-tokoh seperti Marthin Luther King dan Malcolm X melihat Indonesia dan mengaguminya. Bahkan Malcolm X mengatakan, “Kami membutuhkan Konferensi Bandung Kedua di Bronx, New York.”
Apakah Anda menemukan kerumitan seperti yang disebut rekan Anda dalam menulis sejarah Indonesia?
Benar, itu sangat kompleks. Kalian memiliki pulau-pulau yang sangat beragam dan dinamis. Ketika itu Indonesia juga dilanda perang saudara khususnya setelah Agresi Militer Belanda, antara Sukarno dan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), juga antara TNI (Tenatara Nasional Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun. Saya juga mewawancarai Soemarsono yang terlibat pemberontakan Madiun. Dia juga terlibat dalam perang melawan Sekutu di Surabaya sebelumnya. Ini yang membuat situasi ketika itu makin rumit. Selain melawan Belanda, otoritas Indonesia menghadapi pemberontakan-pemberontakan. Itu sejatinya akibat Perjanjian Renville yang sangat merugikan Indonesia. Lalu Perjanjian Linggar Jati yang lebih baik dari itu. Bayangkan ketika itu ada babak perang yang penuh kekerasan lalu ada diplomasi, kemudian kembali perang, setelah itu diplomasi lagi hingga Konferensi Meja Bundar. Lima tahun periode perang dan diplomasi itu seperti main pingpong.
Tentu saja. Pandangan (yang membanggakan kolonialisme) semacam itu perlu dipertanyakan. Saya malah berharap buku saya bisa masuk kurikulum pendidikan sejarah di Belanda.
Selain Soemarsono, siapa lagi tokoh yang Anda wawancarai?
Narasumber tertua saya dengan usia lebih dari 100 tahun adalah Raden Mas Djajeng Pratomo, anak Pratomo, seorang dokter pertama lulusan STOVIA yang membangun rumah sakit pertama di Bagansiapiapi, Riau. Djajeng Pratomo lahir pada 1914 dan dibesarkan di sana. Dia datang ke Belanda pada 1930-an untuk belajar di Leiden, Belanda, dan terlibat Perhimpunan Indonesia ketika itu. Lalu ketika perang 1940 mulai, ada 80-an orang Indonesia aktif terlibat dalam gerakan melawan NAZI. Djajeng Pratomo sempat ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi Dachau, Jerman. Dan mereka tercatat menjadi bagian dalam perlawanan awal terhadap NAZI di Belanda.
Kesulitan apa lagi yang Anda temui dalam menulis buku ini?
Salah satu kesulitan terbesar adalah menyatukan semua fakta dan data yang saya kumpulkan ke dalam satu tulisan yang terangkai dengan bagus. Ini tampak seperti buku yang besar, padahal adalah versi tersingkat yang bisa saya hasilkan. Soalnya terlalu banyak sisi yang bisa diceritakan dan memilah itu sangat sulit. Memasukkan semua kompleksitas itu ke dalam cerita menjadi tantangan terbesarnya.
Lebih dari 600 halaman Anda bilang pendek, apakah itu berarti akan ada semacam sekuel dari buku ini?
Saya belum tahu. Tapi Harry Poeze bisa menulis tentang Tan Malaka dalam tiga volume, itu sangat mengagumkan.
Apa beda buku tentang revolusi Anda dengan buku-buku sejarah Indonesia lain yang pernah ada?
Jika saya adalah Presiden Trump, saya akan bilang, “Ini adalah buku yang paling bagus yang pernah ditulis.” Ha-ha-ha... Menurut saya ada tiga hal penting. Pertama, para narasumber yang tak hanya menteri, diplomat, pejabat, tapi juga orang biasa dan para perempuan pejuang. Kedua, tentang inovasi yang tidak hanya soal Indonesia dan Belanda, juga dampak global yang dihasilkan dari kemerdekaan Indonesia. Ketiga, buku ini penuh dengan riset akademik karena latar belakang saya sebagai mantan dosen dan disajikan dengan tujuan ringan untuk dibaca. Dan itulah hal yang tersulit: menyajikan pengetahuan akademis dalam buku yang bisa dibaca siapa saja.
Anda juga menggunakan aplikasi Tinder untuk mencari narasumber. Seperti apa ceritanya?
Ha-ha-ha…. Saya menggunakan Tinder di Jepang dan Indonesia. Dan saya adalah pengguna Tinder yang paling demokratis karena saya menerima semua orang. Saya mendekati semua profil, baik yang tua maupun muda, yang dekat dan jauh. Semuanya. Saya menduga bahwa saya menjadi populer di komunitas gay di Jakarta. Banyak yang mengajak bertemu. Lalu saya sampaikan bahwa, “Saya penulis dari Belgia, tapi saya sebenarnya lebih tertarik kepada kakek atau nenek kamu.” Saya mengirim pesan dalam bahasa Indonesia dan ketika di Jepang dalam bahasa Jepang.
Apakah itu sukses? Berapa narasumber yang berhasil Anda temukan lewat Tinder?
Ya, saya menemukannya. Itu seperti (memanen) pohon apel. Terlalu banyak apel untuk satu pohon apel. Dari 3.000 orang, saya mendapatkan tiga narasumber untuk buku ini.
Dalam buku Anda menjelaskan bahwa ada lebih dari 50 persen orang Belanda yang bangga akan masa lalu kolonial ini dan hanya 6 persen yang malu akan itu. Apakah buku Anda didedikasikan juga untuk mengubah kondisi tersebut?
Tentu saja. Pandangan (yang membanggakan kolonialisme) semacam itu perlu dipertanyakan. Saya malah berharap buku saya bisa masuk kurikulum pendidikan sejarah di Belanda.
Jika Anda menjadi Menteri Pendidikan Belanda, apa yang akan Anda lakukan?
Saya akan mengubah kurikulum. Saya akan menambah jam mata pelajaran sejarah. Di Belanda ini yang dominan adalah pandangan neoliberal yang tidak tertarik sama sekali akan hal-hal seperti itu. Siswa-siswa “dicetak” untuk siap masuk ke industri dan menjadi tenaga kerja. Tidak seharusnya metafora atau kerangka berpikir perusahaan dipakai dalam segala hal. Saya berharap buku ini bisa membantu orang Belanda melihat sejarah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo