Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Pengeboman Pertama dari Maguwo

Pengeboman pertama dalam revolusi Indonesia oleh Angkatan Udara RI menjadi jantung film Kadet 1947. Film Indonesia tentang sejarah yang tak banyak diketahui orang.

11 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengeboman pertama oleh Angkatan Udara RI menjadi jantung film Kadet 1947

  • Dikemas dalam drama berlatar sejarah

  • TNI AU ikut mengawasi jalannya syuting

SERANGAN itu datang dalam kabut tebal. Pada 21 Juli 1947 dinihari, Belanda menggempur titik vital pertahanan Indonesia dalam Agresi Militer I. Dalam perang revolusi Indonesia itu, pangkalan udara kita dilumpuhkan, tak terkecuali Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Panasan (Solo), dan Maguwo (Yogyakarta).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak sampai sejam, pesawat Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Maguwo hampir dilumat habis oleh bom yang dijatuhkan Belanda. AURI, yang masih seumur jagung, bernyali menyerang balik. Namun serangan Belanda berikutnya justru kian melumpuhkan kekuatan udara RI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Maguwo, yang kemudian dikenal sebagai Bandar Udara Adisutjipto, hanya tersisa pesawat Guntai dan Hayabusa, juga pesawat latihan yang selamat lantaran disembunyikan di dalam hutan. Cara ini dipakai untuk mengelabui Belanda, agar AURI dikira sudah tak berdaya lagi untuk melawan. Di tengah kondisi pertahanan yang nyaris sekarat itulah AURI menghidupi aksi balasan. Banyak yang menyebut aksi ini tak ubahnya misi bunuh diri karena modal perang militer udara kita sangat pas-pasan.

Kita tahu operasi yang dipimpin Komodor Muda Halim Perdanakusuma itu akhirnya bisa mengusik kekuatan udara Belanda di Semarang dan Salatiga, Jawa Tengah. Menariknya, misi tersebut tak dilakukan oleh pilot-pilot Maguwo, melainkan oleh sejumlah kadet atau calon penerbang yang bersekolah di sana, juga segelintir teknisi. Mereka nekat terbang dengan peralatan seadanya. Tak ada rambu radio, tak boleh juga memakai lampu navigasi agar tak terendus radar Belanda. Bekalnya? Cuma lampu senter untuk alat isyarat, dan secarik peta.

Adegan dalam film Kadet 1947/IMDB

Aksi heroik yang tercatat sebagai pengeboman udara pertama AURI inilah yang memberi napas plot cerita film Kadet 1947 yang tayang pada Kamis, 25 November lalu, di bioskop. Salah satu sutradara Kadet 1947, Rahabi Mandra, mengaku sudah lama tertarik mengusung fragmen perang revolusi dari sudut pandang para kadet Maguwo. “Saat tahu kejadian itu (pengeboman udara pertama) dilakukan kadet-kadet berumur 20-an tahun, saya kaget. Saya ingin lebih banyak orang melihat sisi kepahlawanan mereka,” ujarnya saat ditemui, Kamis, 25 November lalu, di Jakarta.

Cerita Kadet 1947 menyorot tujuh anak muda di Pangkalan Udara Maguwo yang berambisi menghajar Belanda dalam Agresi Militer I. Mereka adalah Mulyono (diperankan Kevin Julio), Sutardjo Sigit (Bisma Karisma), Suharnoko Harbani (Omara Esteghlal), Sutardjo (Wafda Saifan), Bambang Saptoadji (Marthino Lio), Kapoet (Fajar Nugra), dan Dulrachman (Chicco Kurniawan). Dalam sejarah, nama mereka tercatat sebagai pelaku serangan udara pertama Indonesia ke wilayah yang diduduki Belanda pada 1947.

Padahal, sejatinya, ketujuh pemuda 20-an tahun itu belum berhak menerbangkan pesawat. Sebab, mereka masih berstatus pelajar Sekolah Penerbang AURI Maguwo, cikal-bakal Akademi Angkatan Udara. Walau pengeboman oleh Mulyono dan kawan-kawan itu sungguh terjadi, Rahabi menyebut Kadet 1947 bukanlah film sejarah, melainkan drama yang terinspirasi peristiwa bersejarah. Klaim ini yang membuat kita “sulit memprotes” pengembangan karakter ataupun plot Kadet 1947.

Karakter tokoh-tokoh utama dalam film ini sebenarnya menarik. Ada yang ambisius, ada yang “lurus”, tengil, kaku, ada juga yang (teramat sangat) bucin—menjadi budak cinta. Karakter yang terakhir ini menempel pada Sigit, yang dikisahkan mabuk kepayang kepada pacarnya, Asih. Keberadaan Asih sendiri menjadi peletup romansa dalam Kadet 1947. Sejak awal hingga akhir film, kita bakal melihat keduanya terus menempel, yang justru membuat Kadet 1947 berkurang keasyikannya. “Ke-bucin­-an” keduanya bahkan memuncak di saat kritis: Asih naik ke pesawat untuk memeluk Sigit yang hendak lepas landas. Ah, haruskah?

Proses syuting film Kadet 1947/IMDB

Figur Asih sebagai satu-satunya perempuan yang punya porsi cukup besar dalam Kadet 1947 juga disayangkan. Apalagi semula lini pemain Kadet 1947 menyebutkan peran dua perempuan, Rosma dan Nila Tuharea. Perubahan di tengah proses produksi menepikan keduanya, sampai akhirnya Asih-lah yang merepresentasikan sosok perempuan dalam Kadet 1947. Bila Asih disematkan untuk membuat perempuan “hadir”, dan membuat film ini “tak maskulin-maskulin amat”, iktikad itu justru menjadi kabur. Karakter Asih di sini cenderung dekoratif dan menjadi pelengkap peran lelaki. Ia ada karena mendampingi Sigit, bukan lantaran kediriannya.

Ragam karakter dan relasi antarkadet sebenarnya juga menarik bila dieksplorasi lebih dalam. Namun kita tahu Kadet 1947 justru memberi porsi lebih untuk kisah cinta yang sentimental. Terlepas dari itu, Rahabi dan Aldo Swastia telaten merancang jagat Maguwo versi mereka yang terlihat cantik di layar. Ini terlihat dari kawasan pangkalan udara yang mereka bangun dari nol demi syuting Kadet 1947 di Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu. Produser Tesadesrada Ryza mengatakan area yang mereka garap lebih sederhana dibanding aslinya. “Dulu kan bangunannya udah keren, bahan beton. Yang sekarang kami bikin set yang lebih dramatis,” ucapnya. Ryza menyebutkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara tak keberatan atas hal itu.

Begitu pun ihwal pesawat yang dibikin menyerupai aslinya. Rahabi menuturkan, total 12 pesawat mereka bikin untuk Kadet 1947. Namun “pesawat” itu tak bisa terbang. Pesawat hanya bisa bergerak dengan didorong. Adapun adegan pesawat saat mengudara disiasati dengan teknologi grafis komputer atau CGI yang, sayangnya, tak dioptimalkan dalam film ini. Bagian akhir film yang memuat bagian terpenting cerita pengeboman pun jatuh antiklimaks. Keterbatasan teknologi membuat ketegangan yang terajut sejak pertengahan film itu pun menjadi berkurang.

Karena film ini mengisahkan para calon prajurit Angkatan Udara, sutradara serta duo produser—Tesadesrada Ryza dan Celerina Judisari—lebih dulu sowan kepada TNI AU. Mereka membuka ruang untuk berdiskusi karena menyadari pengeboman oleh kadet-kadet Maguwo adalah peristiwa sakral bagi sejarah AU dan Indonesia. Tim produksi Kadet 1947 juga menekankan bahwa film mereka nantinya tak persis sama menyuguhkan peristiwa bersejarah. Kisah dalam film bakal dibumbui fiksi agar lebih dramatis. “Kami bilang, kalau ceritanya lurus-lurus aja, enggak akan bagus untuk sebuah film,” kata Rahabi.


Kadet 1947. IMDB

Sutradara: Rahabi Mandra, Aldo Swastia

Produksi: Temata Studios, Legacy Pictures, Screenplay Films

Pemain: Bisma Karisma, Kevin Julio, Marthino Lio, Chicco Kurniawan

Tanggal rilis: 25 November 2021


TNI AU pada akhirnya memberi restu, bahkan mendukung seluruh keperluan riset. Namun ada syaratnya: semua tetek bengek terkait dengan keperwiraan dan sejumlah bagian penting sejarah tak boleh diutak-atik. Misalnya kalimat Panglima TNI pertama dari AU, Marsekal Soerjadi Soerjadarma, yang tidak memerintahkan tapi juga tak melarang operasi penyerangan 1947 oleh para kadet. Begitu pun urusan kostum, sikap, dan gestur para tokoh Kadet 1947, yang dijaga ketat oleh TNI AU agar tak melenceng dari aslinya. Bahkan, menurut Rahabi, perwakilan TNI AU secara khusus selalu mengawasi jalannya syuting.

Sebagai drama berlatar sejarah, Kadet 1947 dapat menyampaikan sebuah peristiwa besar dengan ringan. Dari sederet aktor yang porsinya lebih besar di sini, Chicco Kurniawan justru terlihat paling benderang. Ia terlihat meyakinkan sebagai teknisi yang menopang para calon penerbang.

Chemistry para pemain juga terasa kuat, terutama dalam adegan-adegan yang dibumbui musik dan nyanyian. Hampir semua penonton pun sepakat di media sosial. Adegan para kadet menyanyikan lagu “Bagimu Negeri” menjelang penyerangan membuat kita gemetar dan sadar bahwa mereka adalah wajah pahlawan pemberani yang berjuang dalam sunyi dalam revolusi Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus