Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Warin Diyo Sukisman "Orang Cina Cenderung Eksklusif"

Tidak ada libur dalam kalender nasional pada Rabu dua pekan lalu. Tapi Letnan Jenderal (Purn.) Warin Diyo Sukisman memilih meliburkan diri pada hari itu. Dia menolak membuat janji, dia tidak muncul di rektorat Universitas Darma Persada, Jakarta, dan dia tidak menulis tajuk untuk Harian Indonesia—koran berbahasa Cina yang dipimpinnya sejak 1987. Sukisman menyediakan seluruh hari itu untuk menyambut suatu peristiwa istimewa: Tahun Baru Imlek.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sukisman bukan Tionghoa. Lahir di Boyolali, Jawa Tengah, 76 tahun silam, dia berdarah asli Jawa, berasal dari sebuah keluarga pamong praja. Ayahnya, wedana Boyolali yang kemudian menjadi bupati Solo. Di kota ini, Sukisman melewatkan masa remajanya. Ia menghabiskan masa sekolah menengahnya di Yogyakarta. Dan ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, mantan Direktur Urusan Asing dan Keturunan Asing di Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) ini memperoleh beasiswa ke Jepang. Di negeri ini ia berkenalan dengan Yoga Soegomo, yang kemudian menjadi bosnya di bidang intelijen. Studinya di Jepang terputus saat Jepang kalah melawan Sekutu dalam Perang Dunia II. Pulang ke Jakarta, Sukisman masuk dinas ketentaraan. Ia juga meneruskan studi yang terputus. Pada 1961, ayah dua anak ini menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Cina Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kemampuan berbahasa asing—Jepang, Cina, Inggris, Belanda—pula yang mengantarkan Sukisman ke dalam dunia intelijen dan diplomasi. Empat tahun ia menghabiskan waktu di Beijing sebagai asisten atase militer. Dari Beijing ia pindah ke Hong Kong sebagai konsul jenderal. Berhenti sebagai konsul, Sukisman masuk lagi ke Bakin. Kali ini ia menjabat deputi II hingga pensiun. Pria yang fasih berbahasa Mandarin ini rupanya tak pernah bisa benar-benar pensiun. Sebelas tahun terakhir, ia menjadi Rektor Universitas Darma Persada. Kedekatan Sukisman dengan etnis Tionghoa Indonesia sebetulnya bukan cuma terpicu oleh pengetahuan tentang sejarah atau bahasa negeri itu. Selama beberapa tahun, ia aktif di Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Pemerintah membentuk lembaga ini—pada awal 1970-an, selepas tumbangnya Orde Lama—untuk mengoordinasi berbagai solusi terhadap masalah kaum keturunan Tionghoa di Indonesia. Sukisman juga menulis empat buku yang berhubungan dengan masalah itu, antara lain Sejarah Kontemporer Cina dan Masalah Cina di Indonesia. Sebagai sinolog, dia mengikuti dari dekat pasang surut sentimen anti-Cina di Indonesia. Selama tiga dawasarsa (sejak tumbangnya Orde Lama) etnis Tionghoa mengalami sejumlah pembatasan hak sosial budaya dan politik—kendati konstitusi negara ini mencantumkan hak yang setara bagi warga negara. Kegiatan kesenian dan kebudayaan mereka mati perlahan-lahan. Bahkan kegiatan keagamaan dan tradisi mereka seolah tak boleh dilakukan secara terbuka. Latar belakang tekanan terhadap kaum Tionghoa Indonesia adalah kisah panjang yang sudah muncul jauh sebelum konflik politik antara kelompok pro dan antikomunis di Indonesia, yang mencapai puncaknya pada 1965. Pada 1959, misalnya, terjadi eksodus besar-besaran, menyusul peraturan pemerintah yang dikeluarkan Presiden Sukarno untuk membatasi kegiatan dagang mereka. Kedekatan Indonesia dengan Republik Rakyat Cina—yang menjadi "partriarkh" negara-negara komunis di kawasan Asia Timur dan Tenggara—adalah faktor lain yang memicu dendam dalam sekam dari kelompok antikomunis terhadap orang Tionghoa keturunan di Indonesia. "Itu tidak sepenuhnya benar. Karena sebagian orang Cina di Indonesia pro-Taiwan," ujar Sukisman kepada TEMPO. Seperti menyaksikan pentas dalam beberapa episode, Sukisman berumur panjang untuk mengalami suatu masa yang jauh lebih terbuka bagi etnis Tionghoa—selepas tumbangnya Orde Baru pada 1998. Toh, menurut Sukisman, euforia keterbukaan ini tidak serta-merta menyelesaikan semua problem etnis ini di Indonesia. "Sentimen Cina akan tetap ada selama orang-orang keturunan dan kaum pribumi tidak bisa menciptakan bibit-bibit kehidupan yang serasi," ujarnya. Di ruang kerjanya, di Universtas Darma Persada, yang dipenuhi buku bahasa Cina dan Jepang, ia menerima wartawan TEMPO Rian Suryalibrata dan fotografer Robin Ong untuk sebuah wawancara khusus, dua pekan lalu. Berikut ini petikannya.
Gelar kesenian dan kebudayaan Cina bisa disaksikan secara terbuka di Indonesia dalam setahun terakhir. Bagaimana Anda melihat hal ini? Dari sudut ini, Gus Dur membawa era demokrasi. Demokrasi ini membuat orang Cina punya kesempatan untuk menyatakan segala rasa hatinya. Apa perbedaan situasi berkesenian orang Cina sekarang dengan masa sebelum pemerintah Orde Baru melarang semua tontonan berbau Cina? Saya merasakan perbedaannya. Waktu saya kecil, saya senang-senang saja menonton pertunjukan barongsai. Kalau sekarang, aparat keamanan seolah punya rasa khawatir meletus kerusuhan, selagi kesenian itu dipentaskan. Larangan berkesenian pada masa Orde Baru cuma salah satu bentuk pembatasan hak sosial budaya. Bagaimana dengan hak politik? Tidak ada pembatasan. Pada dasarnya itu kan tidak ada. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Rezim Soeharto memang memberi kelapangan yang luas bagi etnis Cina di bidang ekonomi. Tapi apakah bisa mereka menjadi menteri atau jenderal? Ah, saya rasa tidak ada pembatasan itu. Saya kenal beberapa perwira TNI keturunan Cina. Ada bapak dan anak—mereka WNI keturunan Cina—yang menjadi perwira TNI. Mungkin ada beberapa orang yang mengalami diskriminasi. Di sini kan selalu terjadi hal seperti itu (pengecualian kasus). Tapi pada dasarnya tidak ada pembedaan itu. Jika memang tidak ada perbedaan, apa perlunya pemerintah pada awal Orde Baru sampai membentuk lembaga untuk mengatur orang Cina? Peraturan-peraturan itu diadakan pada zaman Orde Baru. Waktu itu ada pertimbangan bagaimana mengoordinasi orang Cina ini. Masalah Cina kan bukan cuma menyangkut bidang politik dan pemerintahan saja. Ada urusan perekonomian, luar negeri, keamanan. Presiden Soeharto minta dicarikan instansi yang bisa mencakup semuanya. Waktu itu tidak ada instansi seperti itu. Semula, ada staf pribadi Pak Harto untuk mengurusi masalah Cina. Tapi kok itu dirasa tidak pas. Lalu Bakin menangani masalah ini? Ada pemikiran ke arah itu. Instansi seperti Bakin bisa lintas sektoral departemen. Jadi, ini bukan menangani masalah intelijennya, tapi menampung berbagai masalah yang lintas sektoral departemen. Kemudian dibentuklah Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Secara struktural, BKMC itu tidak ada di dalam organisasi Bakin. Tapi dia berada langsung di bawah kendali Kepala Bakin—yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Anda pernah menjabat Ketua BKMC? Cuma sebentar. Itu terjadi ketika Pak Narso (Mayor Jenderal Soenarso, bekas Direktur Corps Polisi Militer dan mantan Dubes RI di Singapura) pensiun dari jabatan Ketua BKMC. Karena belum ada gantinya, saya menjadi pejabat sementara selama beberapa bulan. Sebelumnya, saya menjadi Deputi II BKMC. Apa fungsi lembaga ini? Jika ada masalah Cina yang muncul, BKMC akan membicarakannya bersama perwakilan dari tiap departemen yang ada di BKMC. Di lembaga ini ada unsur Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, dan departemen lainnya. Bisa beri beberapa contoh masalah? Pendidikan bahasa Cina. Ada upaya agar pendidikan bahasa Cina ini tidak hanya untuk orang Cina. Atau soal keimigrasian, ekonomi. Apa saja hasil kerja lembaga ini bagi komunitas Cina pada masa itu? BKMC tidak melakukan tindakan, hanya mengoordinasi berbagai pelaksanaan. Misalnya, ketika itu Indonesia tidak ingin menerima penduduk baru. Tapi kadang-kadang masuk orang yang ingin menjadi WNI. Nah, orang keturunan Cina yang pernah melarikan diri berusaha kembali ke Indonesia. Lewat mana mereka masuk? Kalau dia masuk lewat Hong Kong, BKMC akan bekerja sama dengan pihak imigrasi Hong Kong untuk menyelesaikan problem ini. Berapa kira-kira jumlah orang Cina yang melarikan diri dari Indonesia setelah larangan berdagang eceran sekitar tahun 1960 itu? Puluhan ribu. Mereka berbondong-bondong berkumpul di pantai utara Pulau Jawa, menunggu kapal untuk pulang ke negara leluhurnya. Ternyata, pemerintah RRC cuma mengirim tiga kapal. Ya jelas, tidak muat. Mereka yang tidak jadi berangkat menjadi persoalan baru lagi bagi pemerintah Indonesia. Akhirnya, mereka ditampung di gudang-gudang tembakau dalam keadaan yang menyedihkan. Lama-kelamaan mereka menetap dan bertani di sana. Apakah peraturan tentang perdagangan eceran yang memicu eksodus ini? Presiden Sukarno pernah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) mengenai perdagangan kecil dan eceran. Inti PP itu mengatur bahwa orang asing itu tidak dibenarkan melakukan perdagangan kecil dan eceran di luar daerah ibu kota kabupaten. Jadi, jika ada keturunan asing yang sudah menjadi WNI, semestinya boleh. Saya katakan mestinya karena ada yang tidak begitu. Kebetulan, yang punya kegiatan usaha kecil dan eceran itu sebagian besar keturunan Cina. Dan kemudian timbul gelombang protes? Mereka protes karena memang banyak yang terkena penertiban peraturan ini. Ada kalanya dalam satu keluarga ada yang sudah WNI dan ada yang belum. Tapi mereka mengatakan sudah WNI semua. Sebaliknya, aparat pemerintah mengatakan belum. Jadi, mereka tetap ditindak. Sebab, jika tidak, masyarakat sekitar sendiri yang menindak. Pemerintah RRC kemudian menanggapi hal ini—kalau tidak dikatakan ikut campur. Dengan cara bagaimana? Pemerintah RRC mengumumkan mereka tidak menghendaki orang keturunan Cina itu diperlakukan semena-mena. Bahkan ada seruan dari satu radio RRC yang menentang kebijakan pemerintah Indonesia itu. Seruan ini disambut masyarakat keturunan Cina di sini. Mereka berdemonstrasi di berbagai tempat. Bahkan pemerintah Cina memberikan semacam uluran tangan. Mereka mengatakan, kalau keadaannya tetap seperti itu, mereka akan memberikan perlindungan, dengan menyediakan sarana transportasi untuk kembali ke RRC—ya, tiga kapal itu. Apa yang terjadi pada orang Cina yang tidak mendapat tumpangan? Akhirnya mereka bertani dan menetap di sana (pantai utara Pulau Jawa)—berjualan hasil bumi kepada penduduk. Ada juga yang kembali ke kota dan menyebar. Keadaan mulai memanas lagi ketika meletus peristiwa G30S-PKI. Setelah peristiwa itu, peraturan untuk masyarakat etnis Cina semakin ketat. Dibedakan betul antara yang WNI dan WNA. Presiden Soeharto pernah memutuskan: bila sudah menjadi WNI, tidak ada perbedaan antara yang pribumi dan yang tidak. Tapi, dalam praktek, ada warga keturunan Cina yang tetap mendapat perlakukan berbeda walau sudah WNI. Kembali ke fungsi BKMC, apakah lembaga ini juga bertugas mengadakan seleksi pada orang keturunan Cina agar bisa jadi WNI? Yang melakukan seleksi adalah departemen-departemen yang bersangkutan. Bisa juga polisi atau kejaksaan—BKMC cuma mengoordinasi pelaksanaannya. Kalau ada orang asing yang mau jadi WNI, misalnya, dia memang harus diseleksi. Hasil akhir seleksi akan diputuskan oleh Bakin. Menurut Anda, apakah perlu ada lembaga khusus yang mengatur pemantauan etnis Cina seperti BKMC itu? Kalau menurut pemantauan saya, dulu orang etnis Cina itu tidak berbaur, sih. Mereka cenderung eksklusif, sehingga badan seperti BKMC diperlukan. Kalau sekarang lembaga seperti ini dianggap tidak perlu, ya tidak perlu ada. Sekarang juga sudah tidak ada larangan untuk mempertontonkan kesenian Cina. Dulu dilarang karena dipandang bisa merangsang sentimen anti-Cina. Apa saja hal yang dianggap merangsang sentimen anti-Cina? Mempertontonkan kemewahan. Juga upacara ibadah disarankan untuk dilakukan di tempat ibadah saja. Itu merupakan keputusan resmi pemerintah? Pada mulanya belum tapi kemudian jadi resmi, berdasarkan instruksi presiden yang diterbitkan setelah Orde Baru mulai berkuasa. Militer bertindak sebagai penertib dan pengaman berdasarkan Inpres itu. Menurut pengamatan Anda, seberapa besar peristiwa G30S menyuburkan sentimen anti-Cina? Latar belakangnya panjang. Benih-benih sentimen itu sudah sedemikian subur sebelum pecah G30S. Pemerintah menyadari hal ini. Kepala Staf Angkatan Bersenjata (pada waktu itu), Jenderal A.H. Nasution, memerintahkan agar tindak kekerasan terhadap orang Cina itu diakhiri. Perintah itu di satu sisi tidak membenarkan orang Indonesia menerapkan tindakan kekerasan terhadap etnis Cina. Di lain pihak warga keturunan Cina diminta jangan melakukan hal yang bisa merangsang sentimen negatif kepada mereka sendiri. Bagaimana dengan mereka yang tetap memilih menyandang kewarganegaraan Cina? Pada era 1960-an, paling tidak ada lima juta penduduk keturunan Cina di Indonesia. Sebagian besar tidak memahami bahasa Indonesia. Itu juga salah satu penyebab lahirnya Harian Indonesia, yang berbahasa Cina. Kalau orang Cina ini tidak tahu apa-apa mengenai berbagai peraturan (di Indonesia) akan sulit bagi mereka sendiri maupun pemerintah. Karena itu, pemerintah memikirkan sebuah media yang bisa memberikan penerangan pada mereka. Harian Indonesia kan bukan satu-satunya koran berbahasa Cina pada masa itu? Ada tiga koran: Banteng, Obor, Garuda. Ada juga program di RRI yang mengudarakan siaran dalam bahasa Cina Hong Kong. Kemudian keluar ketetapan MPR pada 1967—saya lupa nomornya—yang hanya mengizinkan satu koran berbahasa Cina. Itulah Harian Indonesia, yang masih terbit sampai sekarang. Selama masa Orde Baru, Departemen Penerangan mengawasi isi koran ini dengan ketat. Seperti media lain, sedikit saja isinya menyimpang, redaksinya langsung dipanggil Deppen. Boleh dikata, koran ini adalah terompet pemerintah (bagi masyarakat berbahasa Cina di Indonesia) pada masa itu. Benarkah konflik di kalangan etnis Cina pada masa itu juga muncul karena pertikaian paham politik di antara mereka sendiri? Situasi politik pada waktu itu membuat kita cenderung dekat dengan blok Timur. Poros Jakarta-Peking-Pyongyang adalah contohnya. Negara-negara komunis ketika itu seperti berbagi tugas: Uni Soviet bertugas menghadapi Eropa, sementara RRC ditugasi menghadapi Asia Timur dan Tenggara. Indonesia dekat sekali dengan RRC. Nah, kelompok politik di Indonesia yang antikomunis menganggap kedekatan dengan RRC ini tidak benar. Rakyat Indonesia pada saat itu umumnya menganggap bahwa semua masyarakat keturunan Cina itu pro-RRC, yang artinya prokomunis. Padahal, itu tidak sepenuhnya benar. Banyak juga mereka yang pro-Taiwan. Nah, antara pro-Taiwan dan pro-RRC juga sering ada bentrok. Kini, penerimaan terhadap kebudayaan dan kesenian Cina menjadi jauh lebih terbuka. Seberapa jauh hal ini dapat menekan sentimen anti-Cina? Sentimen ada dan ekses dari sentimen itu juga masih ada. Contohnya, tiga tahun silam ada penjarahan besar-besaran. Korbannya warga keturunan Cina. Dulu pernah juga ada kejadian seperti ini pada generasi saya. Kita bencinya minta ampun sama orang kulit putih. Kita berperang dengan mereka. Ketika perang itu selesai dan sudah damai, rasa tidak suka itu masih ada. Tapi pada generasi cucu saya sudah tidak begitu. Nah, hal ini sama dengan keturunan Cina itu. Maksud Anda, penyembuhan sentimen ini perlu waktu panjang? Betul. Dan institusi negara harus bisa memberi masukan yang baik. Misalnya, jangan sampai kita mendirikan organisasi dengan keanggotaan eksklusif, misalnya hanya untuk golongan Tionghoa. Seperti kumpulan sepak bola. Di situ kan ada berbagai macam suku bangsa. Tapi etnis Cina masih belum bergabung. Mungkin harus diingat kecenderungan eksklusif itu karena tekanan yang mereka terima secara "eksklusif" pula selama puluhan tahun? Penyembuhan luka-luka itu memang akan memakan waktu yang lebih lama. Tapi, saya katakan ada juga eksklusivisme dari etnis Cina sendiri. Misalnya, perkumpulan yang cuma untuk orang Cina. Unsur seperti ini akan menyulitkan mereka sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus