Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelar kesenian dan kebudayaan Cina bisa disaksikan secara terbuka di Indonesia dalam setahun terakhir. Bagaimana Anda melihat hal ini? Dari sudut ini, Gus Dur membawa era demokrasi. Demokrasi ini membuat orang Cina punya kesempatan untuk menyatakan segala rasa hatinya. Apa perbedaan situasi berkesenian orang Cina sekarang dengan masa sebelum pemerintah Orde Baru melarang semua tontonan berbau Cina? Saya merasakan perbedaannya. Waktu saya kecil, saya senang-senang saja menonton pertunjukan barongsai. Kalau sekarang, aparat keamanan seolah punya rasa khawatir meletus kerusuhan, selagi kesenian itu dipentaskan. Larangan berkesenian pada masa Orde Baru cuma salah satu bentuk pembatasan hak sosial budaya. Bagaimana dengan hak politik? Tidak ada pembatasan. Pada dasarnya itu kan tidak ada. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Rezim Soeharto memang memberi kelapangan yang luas bagi etnis Cina di bidang ekonomi. Tapi apakah bisa mereka menjadi menteri atau jenderal? Ah, saya rasa tidak ada pembatasan itu. Saya kenal beberapa perwira TNI keturunan Cina. Ada bapak dan anak—mereka WNI keturunan Cina—yang menjadi perwira TNI. Mungkin ada beberapa orang yang mengalami diskriminasi. Di sini kan selalu terjadi hal seperti itu (pengecualian kasus). Tapi pada dasarnya tidak ada pembedaan itu. Jika memang tidak ada perbedaan, apa perlunya pemerintah pada awal Orde Baru sampai membentuk lembaga untuk mengatur orang Cina? Peraturan-peraturan itu diadakan pada zaman Orde Baru. Waktu itu ada pertimbangan bagaimana mengoordinasi orang Cina ini. Masalah Cina kan bukan cuma menyangkut bidang politik dan pemerintahan saja. Ada urusan perekonomian, luar negeri, keamanan. Presiden Soeharto minta dicarikan instansi yang bisa mencakup semuanya. Waktu itu tidak ada instansi seperti itu. Semula, ada staf pribadi Pak Harto untuk mengurusi masalah Cina. Tapi kok itu dirasa tidak pas. Lalu Bakin menangani masalah ini? Ada pemikiran ke arah itu. Instansi seperti Bakin bisa lintas sektoral departemen. Jadi, ini bukan menangani masalah intelijennya, tapi menampung berbagai masalah yang lintas sektoral departemen. Kemudian dibentuklah Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Secara struktural, BKMC itu tidak ada di dalam organisasi Bakin. Tapi dia berada langsung di bawah kendali Kepala Bakin—yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Anda pernah menjabat Ketua BKMC? Cuma sebentar. Itu terjadi ketika Pak Narso (Mayor Jenderal Soenarso, bekas Direktur Corps Polisi Militer dan mantan Dubes RI di Singapura) pensiun dari jabatan Ketua BKMC. Karena belum ada gantinya, saya menjadi pejabat sementara selama beberapa bulan. Sebelumnya, saya menjadi Deputi II BKMC. Apa fungsi lembaga ini? Jika ada masalah Cina yang muncul, BKMC akan membicarakannya bersama perwakilan dari tiap departemen yang ada di BKMC. Di lembaga ini ada unsur Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, dan departemen lainnya. Bisa beri beberapa contoh masalah? Pendidikan bahasa Cina. Ada upaya agar pendidikan bahasa Cina ini tidak hanya untuk orang Cina. Atau soal keimigrasian, ekonomi. Apa saja hasil kerja lembaga ini bagi komunitas Cina pada masa itu? BKMC tidak melakukan tindakan, hanya mengoordinasi berbagai pelaksanaan. Misalnya, ketika itu Indonesia tidak ingin menerima penduduk baru. Tapi kadang-kadang masuk orang yang ingin menjadi WNI. Nah, orang keturunan Cina yang pernah melarikan diri berusaha kembali ke Indonesia. Lewat mana mereka masuk? Kalau dia masuk lewat Hong Kong, BKMC akan bekerja sama dengan pihak imigrasi Hong Kong untuk menyelesaikan problem ini. Berapa kira-kira jumlah orang Cina yang melarikan diri dari Indonesia setelah larangan berdagang eceran sekitar tahun 1960 itu? Puluhan ribu. Mereka berbondong-bondong berkumpul di pantai utara Pulau Jawa, menunggu kapal untuk pulang ke negara leluhurnya. Ternyata, pemerintah RRC cuma mengirim tiga kapal. Ya jelas, tidak muat. Mereka yang tidak jadi berangkat menjadi persoalan baru lagi bagi pemerintah Indonesia. Akhirnya, mereka ditampung di gudang-gudang tembakau dalam keadaan yang menyedihkan. Lama-kelamaan mereka menetap dan bertani di sana. Apakah peraturan tentang perdagangan eceran yang memicu eksodus ini? Presiden Sukarno pernah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) mengenai perdagangan kecil dan eceran. Inti PP itu mengatur bahwa orang asing itu tidak dibenarkan melakukan perdagangan kecil dan eceran di luar daerah ibu kota kabupaten. Jadi, jika ada keturunan asing yang sudah menjadi WNI, semestinya boleh. Saya katakan mestinya karena ada yang tidak begitu. Kebetulan, yang punya kegiatan usaha kecil dan eceran itu sebagian besar keturunan Cina. Dan kemudian timbul gelombang protes? Mereka protes karena memang banyak yang terkena penertiban peraturan ini. Ada kalanya dalam satu keluarga ada yang sudah WNI dan ada yang belum. Tapi mereka mengatakan sudah WNI semua. Sebaliknya, aparat pemerintah mengatakan belum. Jadi, mereka tetap ditindak. Sebab, jika tidak, masyarakat sekitar sendiri yang menindak. Pemerintah RRC kemudian menanggapi hal ini—kalau tidak dikatakan ikut campur. Dengan cara bagaimana? Pemerintah RRC mengumumkan mereka tidak menghendaki orang keturunan Cina itu diperlakukan semena-mena. Bahkan ada seruan dari satu radio RRC yang menentang kebijakan pemerintah Indonesia itu. Seruan ini disambut masyarakat keturunan Cina di sini. Mereka berdemonstrasi di berbagai tempat. Bahkan pemerintah Cina memberikan semacam uluran tangan. Mereka mengatakan, kalau keadaannya tetap seperti itu, mereka akan memberikan perlindungan, dengan menyediakan sarana transportasi untuk kembali ke RRC—ya, tiga kapal itu. Apa yang terjadi pada orang Cina yang tidak mendapat tumpangan? Akhirnya mereka bertani dan menetap di sana (pantai utara Pulau Jawa)—berjualan hasil bumi kepada penduduk. Ada juga yang kembali ke kota dan menyebar. Keadaan mulai memanas lagi ketika meletus peristiwa G30S-PKI. Setelah peristiwa itu, peraturan untuk masyarakat etnis Cina semakin ketat. Dibedakan betul antara yang WNI dan WNA. Presiden Soeharto pernah memutuskan: bila sudah menjadi WNI, tidak ada perbedaan antara yang pribumi dan yang tidak. Tapi, dalam praktek, ada warga keturunan Cina yang tetap mendapat perlakukan berbeda walau sudah WNI. Kembali ke fungsi BKMC, apakah lembaga ini juga bertugas mengadakan seleksi pada orang keturunan Cina agar bisa jadi WNI? Yang melakukan seleksi adalah departemen-departemen yang bersangkutan. Bisa juga polisi atau kejaksaan—BKMC cuma mengoordinasi pelaksanaannya. Kalau ada orang asing yang mau jadi WNI, misalnya, dia memang harus diseleksi. Hasil akhir seleksi akan diputuskan oleh Bakin. Menurut Anda, apakah perlu ada lembaga khusus yang mengatur pemantauan etnis Cina seperti BKMC itu? Kalau menurut pemantauan saya, dulu orang etnis Cina itu tidak berbaur, sih. Mereka cenderung eksklusif, sehingga badan seperti BKMC diperlukan. Kalau sekarang lembaga seperti ini dianggap tidak perlu, ya tidak perlu ada. Sekarang juga sudah tidak ada larangan untuk mempertontonkan kesenian Cina. Dulu dilarang karena dipandang bisa merangsang sentimen anti-Cina. Apa saja hal yang dianggap merangsang sentimen anti-Cina? Mempertontonkan kemewahan. Juga upacara ibadah disarankan untuk dilakukan di tempat ibadah saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo