Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Deliar Noer: Rekonsiliasi Adalah Tugas Pemerintah

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dunia sudah berputar menuju diskusi yang sungguh jauh, tetapi Indonesia masih juga macet di jalan. Ketika dunia sudah pada titik kreativitas membangun negaranya, kita masih juga bolak-balik mempersoalkan apakah eks komunis boleh ikut pemilu atau tidak.

Tragedi 40 tahun silam yang penuh darah itu memang masih melukai banyak orang. Dan tampaknya orang Indonesia bukan orang yang mudah memaafkan, dan gemar menyimpan dendam.

Yang jelas, serangkaian perkelahian itu, termasuk tragedi G30S, menyemaikan bibit perpecahan dan harus diselesaikan. Lantas, apa solusinya? ”Harus ada rekonsiliasi,” kata Deliar Noer. Menurut doktor politik itu, rekonsiliasi akan menciptakan suasana bisa saling menerima keadaan. ”Sebab, meski jalur hukum telah ditempuh, persoalan-persoalan itu masih tetap tak selesai,” dosen FISIP Universitas Indonesia dan Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, itu menjelaskan.

Dan rekonsiliasi itu, Deliar menambahkan, merupakan tugas pemerintah. Pemerintahlah yang harus menciptakan suasana hidup rakyat dari Sabang sampai Merauke damai, tenteram, dan saling percaya. Di rumahnya yang asri, pria 79 tahun itu bercerita seputar rekonsiliasi dan perlakuan terhadap orang-orang eks PKI, kepada wartawan Tempo Nurdin Kalim. Berikut petikannya.

Sebetulnya seperti apa konsep rekonsiliasi yang ideal untuk Indonesia?

Menurut saya, harus diketahui dulu apa saja masalahnya. Sebab, ada masalah Semanggi, Trisakti, Aceh, Priok, Ambon. Setelah itu, bergantung pada komisi rekonsiliasi untuk membahasnya. Yang penting, satu-satu dulu masalahnya harus selesai. Barulah konsep rekonsiliasi itu dibahas.

Lalu, apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk rekonsiliasi itu?

Di dalam mengadakan rekonsiliasi itu, tidak boleh melibatkan hukuman. Artinya, jika orang bersalah, bagaimana bisa memaafkannya. Kalau seseorang harus diadili dan dihukum, itu lewat pengadilan, bukan lewat komisi rekonsiliasi.

Bila melihat situasi bangsa Indonesia sekarang, apakah rekonsiliasi itu memang mendesak?

Buktinya masih banyak orang bermusuhan karena pengalaman masa lalu. Jalur hukum telah ditempuh, tapi masih tidak selesai. Lihat saja kasus Tanjungpriok, misalnya, sudah diselesaikan lewat jalur pengadilan. Setelah keputusan keluar, masih ada yang tak senang. Karena itu, mau tidak mau harus ada suasana agar bisa saling menerima keadaan. Harus ditempuh jalur rekonsiliasi.

Seharusnya sejak kapan rekonsiliasi digelar?

Sesudah Soeharto jatuh pada 1998, seharusnya tim rekonsiliasi segera dibentuk secara khusus. Dan pemerintah sendiri yang seharusnya menegakkan rekonsiliasi itu. Rekonsiliasi adalah tugas pemerintah, bagaimana rakyat dari Sabang sampai Merauke itu hidup dengan damai, tenteram, dan saling percaya.

Berarti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sekarang masih dalam proses itu, sangat terlambat?

Sebenarnya sudah sangat terlambat.

Tapi, menurut Anda, apakah pemerintah Yudhoyono-Kalla memperhatikan rekonsiliasi?

Silakan menilai sendiri. Lambatnya pembentukan komisi itu sendiri menunjukkan pemerintah terkesan kurang perhatian. Malah, menurut berita di media massa, seharusnya komisi itu sudah terbentuk sejak April 2005 lalu.

Tapi itu mungkin bisa terjadi karena terlalu banyak persoalan yang harus ditangani pemerintah sekarang. Yang penting, kurangnya perhatian itu jangan berlanjut terus, harus segera dicarikan langkah untuk memperbaikinya.

Secara pribadi, apa upaya Anda sendiri dalam ikut mewujudkan rekonsiliasi?

Ya, secara resmi tidak ada. Paling-paling, ketika saya berceramah di masjid, saya selalu berusaha mengajak betapa pentingnya kita untuk mewujudkan rekonsiliasi.

Salah satu agenda rekonsiliasi adalah orang-orang eks PKI atau mereka yang dituduh PKI. Sebetulnya bagaimana kita sekarang seharusnya hidup berdampingan dengan mereka?

Itu bergantung pada orang-orang eks PKI, apa pekerjaannya sekarang, apakah mereka menghimpun kekuatan untuk balas dendam. Kemungkinan balas dendam itu bisa saja masih ada. Tapi, untuk menegakkan paham itu kembali di tengah dunia yang tidak lagi memperhatikan komunisme, ya, jelas lebih sulit. Mungkin yang harus diwaspadai—kalau memang ada—dendamnya itu, bukan ajarannya.

Lantas, untuk meredam dendam mereka itu agar tak membuncah, apa yang harus dilakukan?

Bangun saja negeri ini dengan baik. Tidak perlu mengarahkan perhatian kepada mereka yang berdendam. Kalau negeri ini dibangun dengan baik, rakyat pun hidup dengan baik. Tidak ada yang miskin sekali, juga tidak ada yang kaya sekali. Mudah-mudahan dengan cara begitu lebih banyak persaudaraan yang dimunculkan, bukan dendam. Dan kalau orang-orang eks PKI itu termasuk golongan yang miskin sekali, itu kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kehidupan mereka. Jadi, sekali lagi, bangun sajalah negeri ini dengan baik. Sebab, dengan membangun, mungkin orang komunis atau bekas komunis akan turut bersama-sama.

Selama ini PKI dianggap tak beragama….

Menurut saya, yang perlu diperhatikan adalah apa yang dilakukan oleh eks PKI itu. Kalau mereka masih tak peduli dengan agama, itu urusan mereka.

Apakah mereka juga mempropagandakan untuk tidak beragama? Kalau itu yang dilakukan mereka, barulah diambil tindakan. Tapi, kalau mereka tak berpropaganda apa-apa, mereka mencari makan dan hidup damai, itu tidak masalah.

Belakangan ini eks PKI gencar menuntut hak mereka yang dirampas. Apakah sekarang ini memang saat yang tepat bagi mereka menuntut haknya?

Pokoknya, kapan saja kalau haknya dilanggar, ya, tentu saja harus dituntut. Menuntut hak itu tidak bergantung pada keadaan.

Jadi, seharusnya mereka sudah menuntut haknya sejak dulu, ketika mereka diperlakukan semena-mena?

Ketika itu mereka tak akan mampu menghadapi kekuasaan. Setelah banyak sedikitnya kebebasan, baru mereka menuntut. Sejak dipulangkan dari Buru, sekitar tahun 1980-an, mereka juga tak langsung menuntut haknya. Baru belakangan saja mereka menuntut kepada penguasa.

Anda sendiri sempat benci dengan orang-orang PKI? Bukankah dulu, ketika Anda menjadi dosen dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Anda pernah dimusuhi mereka?

Waktu itu saya sangat tidak setuju dengan cara-cara mereka memperlakukan saya. Oleh sebab itu, harus ada tindakan terhadap cara-cara mereka itu, tapi tindakan itu tetap harus disandarkan pada hukum. Jangan asal menindak. Kalau pemerintah tak menegakkan hukum, mengambil keputusan berdasarkan kemauannya saja, itu akan menjadi contoh juga bagi rakyat untuk tidak mempedulikan hukum.

Tapi waktu itu Anda tetap berusaha berteman dengan orang-orang PKI?

Mana bisa berteman dengan mereka. Orang mereka tak suka berteman dengan kami. Mereka menuntut saya untuk berhenti mengajar. Masa, saya harus temani orang yang menuntut itu. Orang yang menuntut kan berarti melihat saya sebagai musuh. Masa, saya harus berteman dengan yang memusuhi saya.

Lalu, kenapa Anda belakangan ini justru berbalik membela mereka dalam menuntut haknya?

Memang ketika saya membela mereka, banyak orang yang heran, kok Deliar yang dulu pernah dihantam orang-orang PKI malah berbalik membela mereka. Bagi saya, yang dibela itu terkait dengan urusan hak mereka. Sebab, pertama mereka tidak pernah diadili, dibuang saja ke Pulau Buru, Maluku. Mereka dirampas haknya dengan semena-mena. Kedua, setelah bebas dari tahanan Buru, mereka masih tetap dipersulit haknya. Itu terjadi sekitar dua tahun lalu, menjelang Pemilihan Umum 2004, mereka dilarang ikut pemilihan umum. Alasannya apa? Tidak ada, kan? Nah, dalam konteks seperti itulah saya membela mereka.

Jadi, dengan kata lain, sebetulnya mereka punya hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya?

Ya, selama mereka tidak melanggar hukum dan sudah dibebaskan, ya, mereka punya hak yang sama.

Sebetulnya, apakah masih relevan menganggap komunisme sekarang itu masih sebagai sebuah ancaman?

Kalau komunisme itu, kapan pun dia merupakan paham yang seharusnya tidak diterima. Keadaan sekarang kan di seluruh dunia komunis praktis tidak mempunyai kekuasaan. Punya kekuatan pun tidak. Jadi, apa gunanya kita terus-menerus memperhatikan itu, sehingga terbengkalai urusan-urusan lain.

Kalau muncul masalah seperti peraturan yang melarang mereka ikut pemilihan umum, misalnya, harus ada pendapat yang dikemukakan. Tapi, tidak semua hal yang berkaitan dengan komunisme terus-menerus harus kita perhatikan. Memangnya kerja kita cuma itu?

Kalau mereka menganggap komunisme masih sebuah ancaman, ya, ancaman dalam hal apa, kekuatan mereka untuk mengancam itu di mana letaknya. Jangan karena mereka bekas komunis, lalu dianggap tetap komunis. Sekarang coba perhatikan, apa yang sekarang mereka lakukan. Apakah mereka mau menegakkan komunisme lagi? Kan tidak ada hal yang seperti itu.

Apa yang akan terjadi dengan perjalanan politik bangsa Indonesia jika rekonsiliasi dengan eks PKI itu tak terwujud, misalnya dalam 10 atau 20 tahun ke depan?

Saya tidak memperhatikan itu. Sebab, masih banyak masalah lain yang membutuhkan perhatian. Saya menganggap komunisme di Indonesia sudah habis. Jadi, buat apa memperhatikan soal komunisme lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus