Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Sejak aku sadar akan hal itu, entah sejak kapan, tidak segera, dan secara samasekali tak disengaja, aku pun tak pernah lagi merayakan hari ulang tahunku. Di hari-hari seperti itu kuteringat ayah. Ingatkah, ayah, bahwa esok hari setelah ayah ditangkap, hari itu adalah kelahiran putri sulungmu?”
KUTIPAN di atas adalah bagian dari cerita Ibarruri Putri Alam, putri sulung Ketua CC Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Monolog itu ia tuangkan dalam manuskrip berjudul Anak Sulung DN Aidit. Autobiografi sepanjang 242 halaman kuarto itu kabarnya akan segera diterbitkan dalam bentuk buku oleh Hasta Mitra, Jakarta.
Iba, demikian ia disapa, lahir pada 23 November 1949 dari pasangan Aidit dan Sutanti. Sejak usia delapan tahun, Aidit mengirimnya ke Moskow, Rusia, untuk bersekolah. Beberapa tahun kemudian adiknya, Ilya, menyusul. Tetapi segalanya berubah setelah peristiwa G30S.
Untuk waktu yang lama, Iba tak tahu kabar ayah-ibunya. Berita di koran membingungkan, berbagai-bagai versi. Ada yang mengatakan Aidit lari dengan kapal selam ke Hong Kong. Ada yang mengabarkan Aidit sudah mati.
Hingga suatu hari, seorang utusan Partai Komunis Uni Soviet memastikan kepadanya: D.N. Aidit sudah dibunuh. Menurut koran-koran, itu terjadi pada 25 November 1965, tiga hari setelah Aidit tertangkap. Ibunya, Dokter Sutanti, masuk penjara. Ketidakpastian nasib akhirnya membawa Iba berkelana ke berbagai negeri, hingga akhirnya menetap di Paris, Prancis.
Kisah itu dituangkan Iba dalam manuskripnya dengan lancar dan memikat. Bentuk ”aku” yang ia pakai membuat ceritanya menjadi akrab. Dalam naskahnya, Iba juga sempat menyelipkan kekagumannya pada Abdurrahman Wahid, yang semasa menjadi presiden pernah menemuinya di Paris.
Manuskrip ini tentu kian menambah panjang katalog kesaksian tertulis versi non-penguasa tentang peristiwa 30 September 1965. Sebetulnya, selama Soeharto berkuasa, analisis kritis tentang peristiwa kelam itu acap dilakukan, meski kebanyakan oleh orang luar.
Ben Anderson, misalnya, bersama teman-temannya di Universitas Cornell, Ithaca, New York, menulis makalah yang kemudian dikenal sebagai ”Cornell Paper”, 1971. Menurut paper ini, tak ada bukti PKI terlibat langsung dalam tragedi berdarah itu. Ben justru meragukan ”kebersihan” Soeharto.
Baru setelah Soeharto lengser pada 1998, upaya-upaya yang lebih ”berani” di dalam negeri mulai dilakukan. Niat Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Komunisme/Marxisme/Leninisme kian menggelorakan semangat penulisan peristiwa itu. Maka, bertebaranlah cerita-cerita baru, fakta baru, dan berbagai spekulasi yang tak pernah ada sebelumnya.
Eep Saefulloh Fatah membenarkan, angin segar reformasi telah memupuk semangat merekonstruksi sejarah 1965. Umumnya itu dilakukan dengan tiga cara: membuat tulisan di media, kebanyakan oleh ahli sejarah; menerjemahkan berbagai versi penceritaan dari terbitan asing; dan penerbitan kisah-kisah para pelaku sejarah.
Modus terakhir, menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia itu, paling diminati. Alasannya, sejarah dilihat bukan hanya sebagai potret yang terpaku pada peran segelintir orang pada waktu itu, melainkan sebagai adegan dengan rentang waktu panjang dalam konteks sosial-politik yang luas.
”Buku-buku seperti itu menampilkan aspek-aspek kemanusiaan yang hilang dalam analisis sejarah yang kering,” ujar Eep pada peluncuran buku Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, Antologi Puisi–Cerpen–Esai–Curhat, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Buku yang terbit pada era reformasi ini, antara lain, karya Ribka Tjiptaning Proletariyati, Soebandrio, dan Ilham Aidit. Buku-buku itu mendatangi pembaca, menawarkan sisi lain dari sebuah kisah yang sudah telanjur mendekam dalam ingatan masyarakat dengan corak suram.
RIBKA Tjiptaning boleh dikatakan cukup gencar menuliskan kesaksiannya. Dari tangannya telah lahir dua buku, Aku Bangga Jadi Anak PKI dan Anak PKI Masuk Parlemen. Manuskrip buku pertama sebenarnya sudah siap sejak 1997, namun tak ada penerbit yang berani mencetaknya.
Baru lima tahun kemudian, ”Setelah muncul angin segar dari Presiden Abdurrahman Wahid, ada percetakan kecil yang mau menerbitkan,” ujarnya. Yang dimaksud Ribka adalah percetakan Cipta Lestari. Cetakan pertamanya, 5.000 eksemplar, habis terjual pada Oktober 2003. Kini sudah keluar cetakan keduanya, 5.000 eksemplar juga.
Aku Bangga Jadi Anak PKI boleh dibilang autobiografi Ribka. Dia anak Raden Mas Soeripto Tjondro Saputra, pengusaha kaya sekaligus aktivis PKI di Solo, Jawa Tengah. Pergolakan 1965 membikin ayahnya dikejar-kejar hingga akhirnya dijebloskan ke penjara. Nasib Ribka pun berubah.
Dari anak seorang hartawan dengan dua mobil mewah di garasi, dia menjadi ”gelandangan” di Jakarta. Zaman bergerak, dan roda sejarah berputar. Kini Ribka anggota DPR RI. Adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang membawanya ke Senayan.
Ribka pun menulis buku berjudul Anak PKI Masuk Parlemen. Buku terbitan Percetakan Proletariat itu merekam sepak terjangnya sebagai anggota parlemen yang mewakili daerah pemilihan Sukabumi dan Cianjur. ”Saya ingin bilang, kini ada lho anak anggota PKI di parlemen,” ujar Ketua Komisi IX DPR RI itu.
Penerbitan manuskrip yang terganjal juga dialami almarhum Soebandrio. Pernah ada sebuah penerbitan besar berniat mencetak tulisan mantan Wakil Perdana Menteri I era Soekarno itu. Manuskrip itu berjudul Kesaksianku tentang G-30-S. Rencana itu gagal akibat maraknya demonstrasi menolak buku-buku berbau komunis pada Mei 2001. Kabarnya, beberapa ribu eksemplar yang sudah dicetak pun akhirnya dibakar.
Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Tinggi pada 1966. Namun, atas permintaan Ratu Elizabeth dari Inggris dan Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson, hukumannya diringankan menjadi penjara seumur hidup. Pada 1995 dia dibebaskan, dan meninggal tahun lalu pada usia 90 tahun.
Salah satu versi penting dari tulisan Soebandrio adalah bantahannya terhadap kisah sekitar penyakit yang diderita Soekarno. Menurut sejarah yang sudah baku, Soekarno saat itu sakit keras. Seorang dokter dari Cina memeriksanya dan mengambil kesimpulan: kalau tidak mati, Soekarno bakal lumpuh seumur hidup.
Situasi inilah, menurut sejarah mainstream itu, yang membuat PKI nekat melakukan coup d’etat agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan TNI Angkatan Darat. Menurut Soebandrio, yang memeriksa Presiden bukan dokter dari Cina, melainkan seorang dokter keturunan Tionghoa dari Kebayoran Baru yang dibawa Aidit. Dan Soekarno ketika itu cuma masuk angin. Soebandrio—yang juga dokter—berada di dekat Soekarno ketika dokter Tionghoa itu menjelaskan perihal masuk anginnya sang Presiden. Aidit juga tahu.
”Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin,” demikian ditulis Soebandrio dalam cuplikan manuskrip bukunya yang ditayangkan situs TokohIndonesia.com.
Buku yang paling gres adalah sebuah antologi: Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, terbitan Lembaga Sastra Pembebasan dan Penerbitan Malka. Antologi dengan editor Heri Latief dan kawan-kawan itu menghimpun berbagai tulisan karya keluarga anggota PKI maupun bukan. Tulisan Ilham Aidit (anak keempat Aidit), Iramani.id (nama samaran anak kelima Njoto), termasuk di dalamnya. Beberapa orang ”di luar lingkaran” itu, antara lain, Eep Saefulloh Fatah dan sebagainya.
Ilham ingin buku itu menjadi sebuah kesaksian jujur dari keluarga PKI yang menjadi korban stigma buruk pemerintah Orde Baru. Putra keempat Aidit itu menulis saat-saat terakhirnya dengan sang ayah. ”Selama ini yang selalu diingat cuma kejadian Lubang Buaya. Orang lupa bahwa peristiwa berdarah itu punya dampak yang sangat dahsyat kepada banyak orang hingga berpuluh-puluh tahun kemudian,” ujar Ilham.
Menggunakan nama samaran Iramani, anak kelima Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, menyumbang tulisan berjudul Kodim, 1966. Iramani—juga nama pena Njoto semasa hidupnya—mengenang masa ketika dia, ibunya, dan saudara-saudarinya ditahan di kodim. Setiap kali mereka bertanya soal ayah, ibu selalu menjawab: ”Bapak sedang pergi jauh, jauuuh sekali! Ke luar negeri,” Dan mereka gembira, berharap ayah pulang membawa banyak cokelat.
Upaya menyuguhkan versi alternatif dari sejarah yang berderak pada 1965 itu adalah tulisan Murad Aidit. Paman Ilham Aidit itu menulis buku berjudul Aidit Sang Legenda. Bukunya diluncurkan di Teater Utan Kayu, Jakarta, Sabtu pekan lalu. ”Orang terus-menerus menuduh dia sebagai dalang peristiwa 30 September. Saya tahu dia tak terlibat. Sebagai adik, saya punya kewajiban meluruskan ini,” ujar Murad tentang buku yang ditulisnya sejak dua tahun lalu itu.
Bagi Murad, Aidit adalah pahlawan. ”Dan dia adalah legenda. Karena, kalau tidak, bagaimana dia bisa menjadi pimpinan sebuah partai besar dalam usia yang sangat muda, 24 tahun?” ujarnya.
JAUH di Paris, Ibarruri menjelaskan tujuannya menulis autobiografi. ”Aku hanya ingin menumplekkan jeritan hatiku, darah dan tangisku, menyampaikan renungan-renungan serta senyumku padamu, pembaca. Aku ingin berbicara lirih, lirih sekali, membuka hatiku serta mengetuk hatimu untuk berbicara dari hati ke hati, sebagai manusia dengan manusia,” demikian ia menulis di akhir manuskrip.
Berbicara lirih. Ya, cuma itu yang ingin ia lakukan setelah menempuh setengah bumi dalam pelarian: dari Soviet ke Cina, Birma, lalu ke Makao, hingga berakhir di Orly, sebuah daerah di bagian selatan Paris. Bersama almarhum suaminya, Budiman Sudarsono (mantan Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), yang juga ”terusir” setelah peristiwa 30 September, dia menetap di Paris sejak 1981.
Pemerintah Prancis sejatinya membolehkan mereka mengajukan permohonan kewarganegaraan. Namun, Budiman menolak: mereka tak pernah merasa menjadi anak bangsa lain.
Majalah ini beberapa kali menghubungi nomor telepon Iba di Paris, namun cuma direspons mesin penjawab. Kabarnya, dia tengah berlibur ke Jerman. Menurut Ilham, kakaknya itu menulis autobiografi sejak empat tahun lalu. ”Ada banyak permenungan dalam bukunya. Dia bertambah matang setelah mulai mendalami Buddha,” ujarnya.
Iba dan Budiman pernah mengajukan permohonan normalisasi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Paris agar bisa mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Karena tak ada tanggapan, kerinduan untuk kembali ke pangkuan Pertiwi kini ia kubur dalam-dalam.
Mei lalu, Iba akhirnya ”bisa” pulang, menginjakkan kakinya di Jakarta. Itulah kunjungan pertamanya setelah 40 tahun. Terakhir dia pulang saat liburan sekolah pada Mei 1965. Bedanya, kali ini janda tanpa anak itu cuma datang sebagai tamu: orang asing yang mengantongi paspor Prancis.
Philipus Parera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo