Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rekonsiliasi: Memaafkan tanpa Melupakan

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anhar Gonggong
  • Pengajar sejarah di Pascasarjana UI

    SAYA tiba-tiba teringat pada Dr Nani Nurrachman Soetoyo, putri Jenderal Soetoyo, salah satu yang di Lubang Buayakan Gerakan 30 September 1965. Adalah Nani yang awalnya menganjurkan cara memaafkan tanpa melupakan itu, yakni membuka ruang bagi orang yang saling berkonflik pada masa dulu, untuk menjalin hubungan kemanusiaan yang bersahabat, didasari kejujuran kemanusiaan, termasuk membuang kaitan-kaitan politis-ideologis, penyebab konflik di antara mereka.

    Rekonsiliasi amat sering menjadi buah bibir setelah pemerintah Orde Baru digantikan periode Reformasi. Kata itu mengandung makna agar orang-orang yang pada masa lalu saling berkelahi dapat ”bersatu”, bersahabat, menciptakan hubungan kemanusiaan, demi terwujudnya lingkungan hidup bersama yang damai.

    Menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera tentu merupakan impian utama para pemimpin Pergerakan Nasional, 1908-1945, ketika merumuskan Indonesia sebagai bangsa, dan selanjutnya berjuang untuk merdeka dan menegakkan sebuah negara. Tapi, jika kita mau jujur, harus diakui impian itu belum sepenuhnya terwujud.

    Selama 60 tahun kemerdekaan, dan 40 tahun sejak G30S, ternyata yang terjadi ialah—sebagai bangsa di dalam republik yang merdeka—kita masih berkelahi dan saling menumpahkan darah, saling bunuh.

    Kita ambil sekadar contoh, peristiwa G30S, yang kemudian dikaitkan dengan PKI. Tragedi itu tidak mungkin dipahami tanpa melihat pelbagai peristiwa periode 1960-1964 dan rangkaian kejadian yang memedihkan setelah itu, 1965-1998.

    Ketika G30S meletus, ia telah mengakibatkan kepedihan amat dalam karena Jenderal Ahmad Yani (Panglima Angkatan Darat) dan lima jenderal lainnya serta seorang perwira pertama telah di-Lubang Buayakan dan dibunuh secara brutal.

    Periode 1960-1964, setelah Presiden Soekarno tampil tidak hanya sebagai presiden tetapi juga perdana menteri, kepala pemerintahan, plussebutan yang tidak konstitusional—Pemimpin Besar Revolusi, terjadilah pertentangan, bahkan ”perkelahian”, di antara kekuatan-kekuatan politik saat itu.

    Terangkatlah berbagai slogan dan isu yang saling mendiskreditkan di antara mereka. Angkatan Darat berkonflik dengan PKI, Islam dengan PKI, golongan nasionalis dengan PKI atau dengan Islam, dan Murba dengan PKI, dan lain-lain. Hal ini juga terjadi di kalangan budayawan/sastrawan/seniman.

    Mereka saling menyakiti, bahkan membunuh. Itu terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan daerah-daerah lain. Dalam situasi yang ”serba revolusi” itu, lahirlah slogan-slogan ”revolusioner” seperti manipolis sejati, jorjoran manipolis, juga nasakomis sejati, mendukung Pemimpin Besar Revolusi; kemudian ada isu angkatan kelima, mempersenjatai kaum buruh.

    Pada periode 1960-1964, situasi berkembang cepat, yang juga dipengaruhi tangan-tangan tersembunyi kekuatan dua kutub yang sedang terlibat Perang Dingin, yaitu blok pimpinan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ada juga pengaruh RRC, sebagai kekuatan komunis. Kedua kutub kekuatan menjadikan Indonesia ajang rebutan kekuasaan ideologi mereka.

    Setelah G30S, 1965-1998, kita kembali menyaksikan pelbagai tindakan memedihkan yang dilakukan pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto, yaitu pembunuhan dan pengisolasian sistematis berencana terhadap warga negara yang dituduh sebagai anggota PKI atau berkaitan keluarga atau ”berbau” PKI. Kepedihan panjang pun terjadi. Sistem isolasi kolonialis pun dilakukan, yaitu tokoh-tokoh PKI di-Pulau Buru-kan.

    Ketika Reformasi, situasi pun lebih demokratis. Tuntutan membuka tabir peristiwa G30S dilakukan pelbagai pihak, termasuk mantan presiden Abdurrahman Wahid. Tentu saja tuntutan itu tidak segera terwujud. Artinya, masih butuh waktu membuka tabir penutup.

    Namun, di tengah periode reformasi yang telah memberi ruang melakukan kegiatan bersama, sebagai warga yang sederajat, mungkin langkah membangun kehidupan lebih damai, lebih bersahabat, dapat dilakukan terutama di antara warga yang di waktu lampau pernah berkelahi.

    Tentu hal ini bukan pekerjaan mudah, meskipun tidak mustahil dilakukan. Dalam kaitan inilah, mungkin, anjuran Dr Nani Nurrachman Soetoyo bahwa makna G30S, dan peristiwa yang melatarbelakanginya, dapat menjadi renungan agar keindonesiaan dan kemerdekaan kita semakin bermakna damai. Dengan cara memaafkan tanpa melupakan, kita bersama bisa menjadikan Indonesia sebagai tempat hidup bersama.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus