Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dalang Dicari, Teori Dikembangkan

Ada banyak teori tentang Gerakan 30 September 1965. Menurut versi resmi, PKI pelakunya. Tapi ada pula yang menuding Soekarno, CIA, MI-6, dan bahkan Soeharto sebagai sang dalang.

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat puluh tahun sejak peristiwa kelam itu terjadi, kabut misteri masih menggumpal di sekitar lakon Gerakan 30 September 1965. Hanya soal pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama TNI dan reaksi balasannya—berupa pemberangusan Partai Komunis Indonesia dan para pendukungnya—yang telah jelas. Namun, soal dalang di balik tragedi itu masih tetap bersilang teori.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurai peristiwa pada dini hari 1 Oktober 1965 itu. Puluhan buku telah diterbitkan, berbagai seminar juga telah digelar di dalam dan luar negeri. Semua menelisik teka-teki dan mencoba menemukan sang dalang. Dengan berbagai latar belakang dan motivasi, mereka telah merajut mozaik misteri terbesar dalam sejarah republik ini.

Penjelasan pemerintah tentang peristiwa Gerakan 30 September (G30S) ini dipaparkan dalam beberapa judul buku. Nugroho Notosusanto menyusun Buku Putih G-30-S/PKI. Bekas Kepala Pusat Sejarah ABRI itu telah menyusunnya hanya empat puluh hari setelah peristiwa itu terjadi, namun baru pada 1978 ia meluncurkannya bersama bekas Oditur Mahkamah Militer Luar Biasa Durmawel Achmad dan Sunardi D.M.

Pada 1968, Nugroho dan Ismail Saleh telah menerbitkan buku berbahasa Inggris berjudul The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia. Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban serta Dinas Sejarah Angkatan Darat juga menyusun buku serupa. Lalu, pada 1994, Kantor Menteri Sekretaris Negara mengeluarkan buku berjudul Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya.

Menurut versi resmi ini, PKI adalah dalang G30S. Karena itu, Orde Baru menamai peristiwa itu dengan istilah G30S/PKI. Percobaan kudeta ini, menurut pemerintah Orde Baru, digerakkan oleh Biro Khusus PKI yang diketuai Sjam alias Kamaruzzaman. Ia bertanggung jawab langsung kepada Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit. Biro rahasia inilah yang membina ratusan perwira ”berpikiran maju” yang kemudian menjadi tulang punggung G30S.

Rencana kudeta disiapkan saat Presiden Soekarno mulai sakit. Puncaknya terjadi pada 4 Agustus 1965, saat ia muntah-muntah dan pingsan. Aidit, yang tengah melawat ke luar negeri, segera pulang untuk menyiapkan langkah sebelum didahului TNI-AD. Saat itu rival utama PKI memang tinggal TNI-AD, karena Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia telah diberangus setelah beberapa tokohnya terlibat pemberontakan PRRI.

Pengakuan pemimpin G30S, Letkol Untung Syamsuri, tentang pembicaraannya dengan Presiden Soekarno pada 6 Agustus 1965 pun dijadikan bukti. Saat itu Presiden sempat menanyakan apakah dirinya sanggup menangkap jenderal-jenderal yang berani menilai kebijaksanaannya. ”Sanggup, apabila diperintah,” kata Untung sebagaimana dikutip dalam Buku Putih.

Isu Dewan Jenderal memang marak saat itu. Dengan bantuan CIA, dewan ini dipercaya akan mendahului PKI mengambil alih kekuasaan jika Presiden meninggal. Isu ini sempat ditanyakan Soekarno kepada Panglima AD, Letnan Jenderal Achmad Yani, namun dibantah. Tapi, karena sakit Soekarno makin parah, Aidit menggerakkan simpul bawah tanahnya untuk mendahului menculik dan membunuh para jenderal antikomunis itu.

Menurut versi Buku Putih, keterlibatan PKI dalam upaya kudeta terlihat pada 1 Oktober pagi, ketika G30S mengumumkan keberhasilannya menangkap beberapa jenderal dalam upaya mengamankan Pemimpin Besar Revolusi. Mereka mengumumkan susunan Dewan Revolusi yang beranggota para tokoh pro-PKI dan pro-Soekarno, sementara Harian Rakyat mendukung terbentuknya dewan itu. Karena itu, Arnold C. Brackman dalam bukunya The Communist Collapse in Indonesia (1969) juga mengambil kesimpulan bahwa PKI terlibat dalam kudeta itu.

Penulis lain yang menyimpulkan PKI sebagai dalang G30S adalah Guy J. Pauker. Ia menulis dua artikel panjang. Pertama berjudul ”The Gestapu Affair of 1965”, yang dimuat di majalah Southeast Asia, 1971. Kedua berupa monograf bertajuk ”The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia” (1969). Staf ahli Rand Corporation ini—sebuah lembaga tangki pemikir Angkatan Udara Amerika Serikat—menyimpulkan G30S adalah puncak gerakan ofensif revolusioner PKI. Gerakan ini sudah dipersiapkan sebelum isu Dewan Jenderal meruyak.

Sebenarnya tudingan PKI di belakang upaya kudeta ini agak janggal. Sebab, setelah bergandengan tangan dengan Soekarno, PKI hampir mencapai puncak kekuasaan. Pimpinan PKI sedang memperlihatkan wajah moderat, namun jalan damai ini tak segera mengantar ke kursi kekuasaan. Ketika sakit Soekarno semakin parah dan isu Dewan Jenderal makin gencar, ”akhirnya PKI kembali mengambil jalan berdarah,” kata Pauker.

Keterlibatan PKI juga terindikasi dari pengakuan Sudisman, orang keempat di CC PKI. Dalam otokritiknya, ia menguraikan kelemahan PKI, seperti munculnya subyektivisme pimpinan, terjebaknya partai dalam garis bersatu dan berjuang, serta keengganan pimpinan PKI menerima kritik. Ia bahkan menuduh Aidit dan Biro Khususnya menjalankan avonturisme politik dengan memanfaatkan para perwira berpikiran maju.

Sudisman berkisah, dalam beberapa sidang Politbiro, Aidit menjelaskan tentang kesiapan para perwira berpikiran maju untuk mendahului kudeta Dewan Jenderal. ”Aidit menugaskan pengiriman beberapa tenaga ke daerah pada hari-hari menjelang mencetusnya G30S dengan garis, ’dengarkan pengumuman RRI dan sokong Dewan Revolusi’,” ujarnya dalam pleidoi berjudul Uraian Tanggung Jawab itu.

Dalam bukunya The Communist Party of Indonesia: Its History, Program and Politics, Justus M. Van der Kroef juga berpendapat bahwa G30S adalah akselerasi akhir langkah PKI untuk merebut kekuasaan. Sejak dua tahun sebelumnya, mereka telah mematok target itu. Menurut dia, dalang G30S adalah beberapa oknum pimpinan PKI dan pengikutnya, bekerja sama dengan beberapa perwira progresif.

Harold Crouch dalam artikelnya ”Another Look at the Indonesian Coup”, yang dimuat dalam jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell, juga mendukung teori keterlibatan PKI. Langkah itu dimulai ketika Aidit yakin bahwa keseimbangan politik Jakarta akan sangat terganggu jika Soekarno meninggal, sementara Dewan Jenderal akan segera bergerak. ”Jadi, G30S lebih merupakan pre-emptive strike,” ujarnya.

Adapun penulis Rusia, A. Belenykii dan B. Ilichov, menulis artikel berjudul ”Beberapa Pelajaran dari Peristiwa-peristiwa di Indonesia”. Dalam artikel yang dimuat di majalah Kommunist, Oktober 1968, ini mereka berpendapat bahwa G30S digerakkan ”perwira-perwira kiri AD” yang didukung pimpinan AU. Dengan perhitungan bahwa Soekarno akan berpihak kepada kekuatan kiri, sekelompok pimpinan PKI memutuskan untuk mendukung G30S.

Karena diduga mengetahui rencana penculikan para jenderal, sebagian penulis akhirnya justru menunjuk Presiden Soekarno sebagai dalang G30S. Kesimpulan ini ditulis Anthonie C.A. Dake dalam buku berjudul In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communist between Moskow and Peking 1959-1965 (1973). Karena gusar melihat penentangan perwira tinggi AD terhadap program-program revolusinya, Soekarno memerintahkan Letkol Untung agar menjemput mereka. PKI terlibat ketika Aidit mengetahui rencana itu dan ingin mengambil keuntungan.

Selang setahun setelah The Red Banteng terbit, Dake merilis bukunya, The Devious Dalang Soekarno and the socalled Untung Putsch. Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko. Buku ini adalah kumpulan 14 berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib terhadap Kolonel KKO Bambang S. Widjanarko, bekas ajudan Presiden Soekarno. Menurut laporan itu, Soekarno telah memutuskan pengamanan beberapa jenderal pada Juni 1965 di Bali.

Beberapa kesaksian lain ditafsirkan sebagai bukti keterlibatan Soekarno dalam G30S. Misalnya saat dia menerima surat dari Untung sehari menjelang G30S. Ini ditafsirkan sebagai ”laporan” bahwa G30S siap bergerak. Beberapa nama jenderal yang tewas di Lubang Buaya sama dengan jenderal-jenderal yang dianggap tidak setia kepada Soekarno.

Pendapat Dake didukung beberapa peneliti. Misalnya David Lowenthal dari Jerman, serta John Hughes dalam bukunya, The End of Sukarno, yang diterbitkan pada 1968 di London. Sedangkan dari dalam negeri, Soegiarso Soerojo menerbitkan buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Soerojo juga menyimpulkan bahwa dalang G30S selain PKI sebenarnya Soekarno sendiri.

Bekas perwira intel ini memuat pengakuan Brigjen R.H. Sugandhi saat berbincang dengan Soekarno. Saat itu ia melaporkan bahwa tiga hari sebelumnya ia bertemu Aidit dan Sudisman. ”PKI akan melancarkan kudeta. Apakah Bapak sudah tahu hal ini?” tanya Sugandhi. Namun Soekarno memarahi Sugandhi. Menurut Presiden, dalam suatu revolusi, seorang bapak bisa makan anaknya sendiri.

Namun, bekas komandan detasemen pasukan kawal pribadi Presiden Soekarno, Letkol Mangil Martowidjojo, membantah adanya pembicaraan Soekarno dengan Sugandhi itu. Sementara itu, mantan diplomat Manai Sophiaan membantah keterlibatan Soekarno dalam G30S di bukunya, Kehormatan bagi yang Berhak. Dalam buku itu disebutkan bahwa penangkapan para jenderal itu sebenarnya direncanakan tidak berakhir dengan pembunuhan.

Tapi tak semua peneliti sepakat dengan teori PKI maupun Soekarno sebagai dalang. Benedict R. O’G. Anderson dan Ruth McVey, dua ahli Indonesia asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa PKI tidak terlibat. Di makalah berjudul ”A Preliminary Analysis of the September Movement”, mereka menyimpulkan bahwa G30S adalah persoalan internal di kalangan TNI-AD. Namun, pada saat-saat terakhir ada yang memancing supaya PKI terseret.

Monograf itu terbit hanya setahun setelah peristiwa G30S. Konon, para analisnya sebenarnya belum ingin mempublikasikan sebagai hasil paripurna. Namun, begitu terbit, analisis itu bikin heboh karena hampir sama dengan versi PKI dan agak sejalan dengan kelompok-kelompok kiri di Eropa.

Motor kelompok kiri Eropa adalah W.F. Wertheim. Dalam tulisannya yang berjudul ”Suharto and the Untung Coup The Missing Link” (1970), profesor ini berkesimpulan bahwa Angkatan Daratlah yang melakukan kudeta. Ia meragukan keterlibatan PKI karena PKI sudah di ambang kekuasaan. Bahkan, menurut dia, Soeharto melakukan kudeta merangkak dengan memanfaatkan Sjam Kamaruzzaman yang diduga agen rangkap.

Memang aneh jika menilik Soeharto adalah perwira paling senior TNI-AD setelah Ahmad Yani, tapi ia tidak masuk daftar jenderal target G30S. Karena itu, banyak pengamat asing menduga Soeharto terkait dengan kudeta. Apalagi beberapa tokoh sentralnya pernah menjadi anak buah Soeharto. Sjam, misalnya, bekas anak buah dan kawan Soeharto di kelompok Pathok, Yogyakarta, di masa perang dulu.

Soeharto juga punya titik simpul lain. Komandan Brigif I/Jayasakti Kolonel Latief maupun Komandan Tjakrabirawa, Letkol Untung, adalah bekas anak buah Soeharto di masa perang kemerdekaan. Hubungan mereka cukup dekat. Soeharto, misalnya, hadir di pernikahan Untung, sementara dua hari sebelum G30S Latief dan istrinya berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim.

Menurut Latief dalam pleidoinya, maksud kunjungan itu adalah untuk menanyakan info tentang Dewan Jenderal kepada bekas atasannya. ”Beliau memberi tahu bahwa, sehari sebelum saya datang, ada bekas anak buahnya dari Yogyakarta bernama Soebagiyo memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal AD yang akan mengadakan coup d’etat,” ujar Latief.

Lalu, pada 30 September 1965 malam, Latief berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Soeharto yang sedang menunggui Tommy, anak bungsunya yang dirawat karena tersiram sup panas. Saat itu ia melaporkan bahwa dini hari l Oktober 1965 G30S akan melancarkan operasi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal. Namun, dalam buku Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto menyatakan bahwa dirinya hanya melihat Latief berjalan di depan zaal anaknya.

Lain lagi pendapat Peter Dale Scott dari California University, Berkeley, Amerika Serikat. Ia membuat analisis yang lebih mencengangkan. Dalam monogramnya, The United States and the Overthrow of Soekarno, 1965-1967, ia justru menguraikan peran penting Central Intelligence Agency dalam menggerakkan TNI-AD. Dalam artikel yang dimuat di Pacific Affairs 58, musim panas 1985 itu ia menyimpulkan bahwa G30S/PKI adalah kudeta yang dilakukan Soeharto.

Teori keterlibatan CIA makin meriah dengan munculnya dokumen-dokumen CIA yang dikumpulkan wartawati kantor berita State News Services, Amerika Serikat, Kathy Kadane. Dengan berbekal setumpuk laporan yang telah declassified, ia menuding CIA ikut bertanggung jawab atas tewasnya ribuan anggota PKI. Sebab, pada 1965, CIA telah memberikan daftar nama tokoh PKI kepada aparat keamanan Indonesia.

Kontroversi keterlibatan badan intelijen asing tidak hanya sampai di situ. Tahun 1993, Greg Poulgrain, dosen di Universitas New England, Australia, merilis buku berjudul The Genesis of Malaysia Konfrontasi: Brunei and Indonesia, 1945-1965. Dalam buku itu ia menjabarkan keterlibatan dinas rahasia Inggris MI-6. Inggris berkepentingan dengan jatuhnya Soekarno, yang membahayakan kebijakannya di Malaysia.

Dugaan tentang keterlibatan MI-6 dibenarkan almarhum bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri SH pada 9 November 1998. Bahkan Soeharto terlibat dalam konspirasi itu. ”Dia berperan sebagai operator MI-6 dan CIA,” ujarnya dalam diskusi ”Peran Soeharto dalam Sejarah Indonesia” di Jakarta. Soeharto mengambil peran itu lewat jalur Dokter Budiyono Kertapati, anggota intelijen Belanda.

Atas semua teori yang bersilang pendapat itu, mantan Kepala Staf Teritorial TNI, Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo, berpendapat bahwa pengungkapan berbagai versi tentang dalang G30S itu sah-sah saja. ”Biarkan masing-masing pihak menyampaikan persepsinya selengkap mungkin,” kata putra pahlawan revolusi Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomihardjo itu. Menurut dia, masyarakatlah yang akan menentukan. Kuncinya tinggal bagaimana mereka yang berkepentingan dapat melepaskan ikatan-ikatan emosinya dan memahami silang sengkarut berbagai teori itu sebagai persoalan perbedaan titik pandang.

Hanibal W.Y. Wijayanta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus