BALAI Kota Tebing Tinggi, dikejutkan. Sabtu siang 1 Desember
lalu, mendadak muncul iring-iringan bis penuh penumpang
--sebagian besar pelajar dan pedagang -- menyelonong ke halaman
Balai Kota di Jalan Sutomo itu.
Kejadiannya begitu cepat. Ratusan penumpang berloncatan turun,
tapi berhasil dicegah masuk. "Kami orang miskhl, kami lapar,
pak. Izinkan kembali bis kami masuk kota," teriak mereka.
Mereka berdesakan mendekati pintu masuk, sementara di luar pagar
sejumlah orang berbondong-bondong. Meskipun satuan petugas dari
Kodim dan Kores sempat mencegah kekerasan, tapi teriakan
masihberkumandang keras.
Dua jam kemudian massa berhasil dibujuk beberapa sopir dan
kondektur bis, kembali memasuki bis dan berangsur-angsur
meninggalkan halaman. Insiden memang tidak terjadi. Tapi
beberapa tumpuk batu tampak di beberapa sudut. Para pejabat
segera menyelenggarakan rapar kilat. Beberapa sopir dan
kondektur bis POVRI, Kurnia, Domas Jaya, Pantai Bedagai, Indra
Sakti, Abadi Adil diikut-sertakan. Mereka dianggap bertanggung
jawab. Soalnya mudah dengan bis-bis inilah massa 'menyerbu'
Balai Kota.
Beberapa jam sebelumnya Polri menahan 4 bis karena dianggap
melanggar aturan mereka masuk ke kota. Seorang sopir yang
ditahan bercerita mendapat perlakuan kasar dalam pemeriksaan,
keningnya digores dengan pensil tajam. Inilah tampaknya yang
membakar sopir lain mereka beramai-ramai berputar-putar keliling
kota, sementara polisi tak bisa berbuat banyak. Dan setelah itu
menuju Balai Kota sambil bergendang-gendang.
Sejak akhir November lalu suasana malam kota memang terasa
tegang. Ini lantaran turunnya SK Walikota No. 788 yang melarang
bis jarak pendek dari beberapa kota kecil sekitar Tebing Tinggi
masuk kota. Mereka hanya dibenarkan berhenti di terminal Rantau
Laban, 2 km dari pusat kota. Terminal yang selama ini mereka
gunakan di Jalan Gurami di pusat kota hanya khusus buat pikap
mini Daihatsu.
Pelarangan itu mulai berlaku 27 November lalu tapi SKnya sudah
turun 2 minggu sebelumnya, setelah Tebing Tinggi dilanda banjir
hingga merusakkan jalan. Dengan alasan agar jalan dalam kota
tidak lebih rusak inilah SK itu turun.
Larangan itu selain merugikan pengusaha bis, juga penumpang.
Bagi pengusaha bis berarti pengurangan jumlah penumpang dan
mengurangi pendapatan.
Penumpang pun repot. Turun di terminal Rantau Laban, untuk masuk
kota harus naik becak sekitar Rp 200 sampai Rp 300. Anak sekolah
yang selama ini naik bis jarak pendek lebih dirugikan lagi,
terutama yang bersekolah tak jauh dari terminal jalan Gurami.
Mereka harus menempuh jarak dari Rantau Laban ke sekolah sejauh
4 km. "Dengan becak dan bis pulang-pergi, sehari bisa
menghabiskan Rp 800," ujar seorang pelajar dari Dolok Masihul,
Deli Serdang, yang ikut berdemonstrasi.
Rapat kilat Muspida Sabtu siang 1 Desember itu tak berani
mengambil keputusan mencabut SK. "Itu wewenang walikota," ujar
Syarifuddin, ketua DPRD di sana. Ketika itu Walikota Amiruddin
Lubis memang tidak ikut rapat karena sedang berada di Jakarta.
Keempat Kali
Masalah lalulintas di Tebing Tinggi memang tak habis-habis.
Terutama setelah ditutupnya terminal jarak pendek di Jalan
Sudirman 1972 lalu, terminal bis jenis itu mulai tidak
beraturan. Mereka semaunya mangkal di beberapa jalan dalam kota,
sementara Pemda juga belum menyediakan terminal gantinya. Baru 6
tahun kemudian, 1978 lalu, dibangun terminal di Jalan Gurami,
pusat kota, seharga Rp 7 juta bantuan provinsi Sum-Ut. Dan
kini, baru setahun dipergunakan, SK walikota turun: bis jarak
pendek dilarang masuk kota.
Ini penertiban keempat kali setelah terminal Jalan Sudirman
berubah menjadi pusat pertokoan. Anehnya peraturan terakhir itu
tidak seluruhnya diterapkan pikap mini Daihatsu yang juga
mengangkut penumpang dari luar kota masih diizinkan masuk kota.
segitu pula sebuah bis bermerk PMPS. "Itu kan tidak adil," kata
M. Yunan, kondektur bis "Indera Sakti". Apalagi setelah tersebar
desas-desus sebagian besar Daihatsu yang kini panen penumpang
itu dimiliki sementara pejabat.
Ada pula yang menduga-duga, SK tersebut secara tak langsung
dimaksud meramaikan pasar Inpres yang berdampingan dengan
terminal Rantau Laban. Pasar seharga Rp 50 juta ini
disebut-sebut kurang cocok lokasinya hingga banyak pedagang
enggan masuk padahal sudah 4 bulan diresmikan. Gulo, Kepala
Penertiban Umum Kantor Kotamadya menolak dugaan itu. "SK itu
semata-mata untuk menertibkan semrawutnya lalu lintas dalam
kota," katanya.
Yang barangkali dilupakan SK itu secara tak langsung telah
mengguyur rezeki rakyat kecil lain yang menarik becak. Memang
belum sempat dihitung berapa pendapatan si abang becak setiap
hari, kalau Walikota Amiruddin Lubis tetap mempertahankan SKnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini