Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Manusia Biasa Dengan Gaji Kecil

Profesi dosen di indonesia dikenal kering. gaji kecil, kecuali ditambah kegiatan diluar kampus. mereka cinta pada profesinya & bebas berpikir, berbicara, berkreasi. mahasiswa dinilai kurang tekun. (sd)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOSEN kini bukan lagi manusia angker yang menakutkan. Ia adalah manusia biasa. Pembimbing dan juga kawan bagi para mahasiswa. Hidup sebagaimana layaknya orang hidup. Jadi tidak hanya berkubur dengan ilmu. Ia juga punya perasaan dan kesulitan rumah tangga seperti orang lain. Yang jelas, jarang bisa ditemui dosen yang kaya karena profesinya. Drs. Hasanuddin (40 tahun) asal Kuningan (Ja-Bar) adalah dosen UNTAG (Universitas 17 Agustus) di Jakarta. Ia mengajar mata kuliah koperasi, marketing dan ekonomi perusahaan. Meskipun pakai mobil Fiat 65, ia bukan orang kaya. Kacamata plus yang dipakainya sudah seminggu pecah, tapi ia belum bisa mengganti. Padahal harganya hanya Rp 20 ribu. "Habis, belum ada uang. Di sini hanya cukup untuk makan saja," ujarnya sambil tertawa. Rokok Dihisap Bersama Dosen ini lulusan UNTAG tahun 1965. Jadi dosen sejak tahun 1967. Kini ia salah satu dari 200 dosen UNTAG yang memiliki 2000 orang mahasiswa. Berbeda dengan di UI misalnya, di UNTAG Hasanuddin menghadapi "mahasiswa pekerja". Artinya orang-orang yang sudah bekerja sambil menyempatkan diri ikut kuliah. Menghadapi mahasiswa demikian, yang selalu menghubungkan mata kuliah dengan praktek sehari-hari dalam pekerjaan mereka, memang membutuhkan sesuatu yang khusus. "Kalau dosen tak menguasai mata kuliah, mundur," kata Hasanuddin yang mengaku sendiri juga sering tersudut. Barangkali itu pula sebabnya, dosen ini tidak terlalu banyak menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut soal-soal politik. "Para mahasiswa tak punya waktu berbincang-bincang. Yang penting isi perut. Mereka lebih mementingkan anak dan istri," ujarnya. Tetapi tidak berarti mereka orang-orang pasif. Tahun lalu misalnya, di UNTAG ada corat-coret. Isinya kecaman dan tuduhan buat mereka yang sedang mengadakan pembersihan ijazah aspal (asli tapi palsu). Menghadapi hal tersebut Hasanuddin menyilahkan kepada yang mau ikut protes untuk terjun. "Jadi sebelum mereka bereaksi lebih keras, baik saya membuat aksi dulu," katanya. Hasanuddin selalu berusaha menjaga hubungannya dengan para mahasiswa dekat, akan tetapi masih memiliki batasan resmi pada saat-saat yang memang formil. "Tetap terbuka tapi ada batas," ujarnya. Di ruang kuliah ia mengharapkan mahasiswa berdisiplin, termasuk dia sendiri. Sedangkan di luar, hubungan tersebut menjadi hubungan kawan. "Rokok diisap bersama, minum kopi bersama," ujarnya. Ia selalu memberi nasihat para mahasiswanya agar tidak membuang-buang waktu percuma. Honor dosen di UNTAG, yang kampusnya nangkring di bilangan Ancol itu, hanya Rp 2.000 setiap datang mengajar. Tapi karena Hasanuddin menjadi karyawan, gajinya termasuk cukup untuk menghidupi istri, 4 anak dan pembantu. Total jenderal ia harus menyuapi 11 mulut. "Cukup," kata Hasanuddin kerika ditanya soal dapur. Maklumlah, isrrinya juga ikur bekerja, bantu cari makan. Selama 12 tahun jadi dosen, Hasanuddin banyak mengajar dan lebih banyak lagi belajar. Bahwa adakalanya pelajarannya tidak diacuhkan, atau para mahasiswa lebih suka ketawa-ketawa dengan temannya daripada mendengarkan kuliah, memang membuat kesal juga. Tapi Hasanuddin tak pernah marah. Ia selalu berusaha mengajak mahasiswa untuk membuat ruang kuliah sebagai tempat untuk tukar pikiran. Yang sangat menolong adalah pengalamannya sebagai guru SMP pada tahun 60-an. Kalau membandingkan dunia mahasiswa sekarang dengan dulu, ketika ia masih kuliah, Hasanuddin melihat adanya perbedaan. Dulu ia merasa mahasiswa belajar begitu menggebu-gebu. Sekarang kelihatannya kurang semangat. "Kecenderungan untuk tidak serius selalu ada pada mahasiswa," ujarnya. Nyatanya sekarang dosen yang menunggu mahasiswa. Dulu dosenlah yang suka dijemI,ut supaya bisa tepat ada di tempat kuliah. Mahasiswa Dulu Lebih Berbobot? Drs. Santosa Murwani (44 tahun), dosen IKIP Jakarta jurusan matematika, juga menganggap mahasiswa dulu tekun. Dalam arti, bukannya tidak mengerjakan hal lain, tapi tidak meninggalkan tugas pokok belajar. "Jadi mahasiswa dulu jauh lebih berbobot," ujarnya. Tapi diakuinya keadaan tersebut kemudian menyebabkan para mahasiswa kurang peka terhadap lingkungan. Ia menganggap mahasiswa kini belajar kendor tapi terhadap lingkungan terlalu peka. Dosen ini dulu juga pernah jadi guru di tahun 1955 -- mengajar di sekolah teknik. Kemudian ia mulai menjadi dosen tahun 1961 --ketika masih bujangan. Ia sadar sekali bahwa materi tidak banyak bisa diharapkan dari mengajar. Tapi dasar sudah jatuh cinta kepada pekerjaan mengajar sejak masih di SMP, Santosa akhirnya menetapkan karirnya. "Dan saya tak pernah punya pikiran untuk pindah profesi, " ujarnya. Seperti Santosa sendiri, isi rumahnya juga sederhana. Ada radio, tapi kuno. Dua perangkat kursi sederhana dan sebuah pesawat televisi. Teman-temannya banyak menganggap, sarjana yang sedang menyiapkan diri untuk mengambil gelar doktor ini, keadaannya masih kere. Tak apa. Santosa sendiri merasa hidupnya "cukup". Ia punya colt yang dikredit untuk dua tahun. Tapi kalau meninggal, apa yang bisa diwariskan kepada anak istri? Itulah satu-satunya kekhawatiran, kalau toh mau menggali kekhawatiran, dari orang yang sederhana ini. Sebagai pendidik, dosen ini merasa serba salah. Kadangkala ia mengharuskan anak didiknya untuk diam, patuh dan taat. Tapi mengharapkan di kemudian hari mereka menjadi manusia yang miliran. Atau kalau ia mengajarkan konsep ideal, tapi kemudian konsep itu tabrakan dengan kondisi yang ada. Akibatnya idealisme jadi kendor. Lalu ia bertanya "Apakah menjadikan mahasiswa dengan konsep baik sebagai bagian dari masyarakat yang sudah ada -- tapi tak baik -- atau memasukkan mereka dalam kelompok masyarakat supaya yang lain menjadi baik?" Santosa kadangkala bertanya kepada para mahasiswa "Kapan jadi pelopor?" Pertanyaan tersebut timbul karena IKIP sering dilihatnya sebagai pengekor saja. Kadangkala konsep tindakan tak jelas. Misalnya waktu orang ramai menuntut turunkan tarif bis. "Saat itu saya setuju saja. Karena saya nilai wajar. Tapi kemudian menjadi tak jelas setelah menyerang person," katanya. Contoh lain yang tidak hanya terjadi di IKIP adalah soal penolakan NKK, lapi menerima KKN. Padahal Kuliah Kerja Nyata adalah bagian dari Normalisasi Kehidupan Kampus. Mahasiswa Indonesia Punya Potensi "Di mana-mana seorang dosen akan selalu merasa dikecewakan mahasiswanya. Tapi itu bukan hal yang luar biasa. Memang sudah begitu kebiasaannya," kata Duncan Holaday, dosen dari Amerika yang diperbantukan di Departemen Ilmu Komunikasi Massa FIS UI. Lelaki usia 34 tahun, yang mengajar sejak Juli 1978 ini, mengaku tidak pernah mendapat kesulitan dengan mahasiswa Indonesia. Ia malah banyak mendapat kenang-kenangan. "Umumnya mereka baik terhadap saya," ujarnya. Basa-basi? "Tidak, itu benar-benar saya alami," kata dosen iru menegaskan. Ia memang pernah ditertawakan oleh mahasiswa, ketika mula-mula datang, karena aksen Amerikanya. Tapi kemudian ia merasa iri dengan hubungan dosen dan mahasiswa sini. "Begitu akrab dan bersahabar. Di sini saya bisa bergaul akrab dengan mahasiswa. Saya mengenal mereka satu per satu dan banyak pengalaman manis bersama mereka," ujarnva. Ia bandingkan dengan Amerika di mana hubungan sangat formal. Ciri mahasiswa Indonesia menurut Duncan sifat ingin tahunya lebih besar dari mahasiswa Amerika. Tapi ciri tersebut tidak diimbangi dengan kerja keras. "Barangkali mahasiswa Amerika lebih bekerja keras dalam mencapai kehendaknya, tapi mereka hanya bekerja sendiri dan untuk diri sendiri pula," ujarnya dengan hati-hati. Walaupun demikian, mahasiswa Indonesia suka tolong-menolong dan bergaul akrab satu sama lain. Bagi Duncan hal tersebut menambah semangatnya dalam mengajar. Duncan sering pergi ke daerah-daerah bersama mahasiswa. "Kami bekerja bersama, tidur ramai-ramai, bergembira bersama tanpa suatu ikatan formal antara dosen dengan mahasiswa," tuturnya, mencerirakan kesannya ketika mengadakan penelitian di desa Ci Enggang -- Sukabumi. "Di Amerika jangankan satu kelompok, dua orang mahasiswa saja sulit untuk bisa kerja sama dalam satu proyek tanpa muncul pertentangan," ujar kandidat Doktor Komunikasi Massa itu. "Mahasiswa Indonesia punya potensi besar, tapi karena sifat keterikatannya pada kelompok, potensi itu kurang dikembangkan," katanya lebih lanjut. Setiap mengajar Duncan hanya pakai jeans dengan kaos putih atau bahan katun. Mahasiswa menilainya urakan. Apalagi kalau pergi ke daerah penelitian -- ia juga suka menenteng gitar. Seluruh waktunya dipakai untuk mengajar dan mengadakan penelitian. Sudah 9 tahun kawin tapi masih belum kepingin punya anak. Ia sering mengembara. Di Amerika, menurut Duncan, dosen tidak perlu mencari penghasilan di luar, karena gajinya cukup. "Jaminan kita semuanya dipenuhi Universitas," katanya. Dosen Kerja Sambilan Untuk mendapatkan tambahan penghasilan drs. Arbi Sanit dosen utama FIS UI, giat dalam proyek-proyek penelitian sosial. Di FIS proyek-proyek tersebut tidak sedikit. Kadang-kadang instansi di luar perguruan tinggi memintanya juga. Selain itu, Arbi juga bisa menambah tebal kantongnya dengan memberi kuliah di tempat lain. Sering ia juga diminta mengajar di SESKOAD. "Sebenarnya kalau gaji cukup, saya tidak menginginkan pekerjaan-pekerjaan itu, " ujarnya. Ia sadar pekerjaan tambahan bisa merugikan mahasiswa, karena perhatian akan berkurang. Arbi, yang sudah 12 tahun mengajar, mulanya ingin jadi -- minimal -- bupati. Maklum ayahnya Wedana di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. "Ternyata pekerjaan sekarang lebih sesuai dengan jiwa saya," ujarnya. Kenapa? "Sebagai dosen kita lebih menikmati kebebasan berpikir, berkreasi, berbicara, daripada bekerja di tempat lain," ujarnya. Apalagi hubungannya dengan atasannya di kampus lebih bersifat hubungan rekan yang memungkinkan adanya perbedaan paham dan adu argumentasi. Demikian juga hubungannya yang baik dengan mahasiswa. Tapi Arbi juga sering kesal kalau menghadapi mahasiswa yang suka berbohong. Jenis mahasiswa ini suka mengemukakan berbagai alasan -- kadangkala tidak masuk akal -- kalau tidak dapat menunaikan tugas-tugasnya. Ia juga dongkol kalau menghadapi mahasiswa yang sedang dibimbingnya menyusun skripsi, tidak maju-maju meskipun sudah berulang kali diberikan kesempatan. "Karena dongkolnya, kadang-kadang saya mencoret-coret skripsi mereka, " ujarnya. Tapi ada hal positip yang dilihatnya pada mahasiswa sekarang. "Mereka jauh lebih berani, lebih kritis dan maju cara berpikirnya," kara Arbi. Ia mengaku pada masanya sendiri dulu mahasiswa jarang mengajukan pertanyaan kepada dosen, apalagi membantah. Kini kadang-kadang waktu kuliah habis untuk diskusi. Namun ia mengakui juga mahasiswa sekarang kurang senang membaca buku dan kerja keras. Kurang menguasai bahasa asing. "Mungkin karena situasinya sudah berbeda," kata Arbi mencoba memaklumi. Sebagai dosen Arbi sudah merasa pas. Walaupun dapat tawaran gaji lebih besar, ia tidak ada niat tukar haluan. "Saya tidak akan tahan bekerja di lembaga birokratis," ujarnya. Drs. IGK Artawan (43 tahun), dosen di Fakultas Farmasi UNAIR Surabaya, juga banyak melakukan kegiatan di luar dinas dosen. Kegiatan mana memberikan hasil dua kali lipat dari gaji resminya. Hal tersebut mungkin terjadi karena memang waktunya memungkinkan. Persiapan kuliah tidak pernah mengganggunya lagi, karena ia sudah berpengalaman sejak 1967. Ia mulai mengajar di luar sejak 1969. Dengan adanya NKK ada kemungkinan waktunya akan banyak disita kampus lagi. "Kalau nanti saya diberi beban yang lebih banyak, tentu saja tugas di luar boleh ditinggalkan," ujarnya. Rekannya, drs. Ida Bagus Pasa (42 tahun) di fakultas yang sama, setelah adanya NKK memang jadi sulit mengurus waktu. Karena ia juga banyak aktif di luar. "Saya sudah berpikir untuk meninggalkan sebagian tuas di luar," kata Pasa. Malu Dari hasil pengamatan, Artawan melihat dalam mengejar ilmu, mahasiswa swasta yang tergolong mampu lebih bersemangat. Tak jarang mereka mendatanginya di luar jam kuliah. Sebaliknya mahasiswa universitas negeri hampir tak ada berkonsultasi ke rumahnya. "Mereka mungkin malu disangka mencari nilai," ujar Artawan. Tugas dosen memang pada akhirnya membimbing. Demikian dialami juga dosen Bakdi Soemanto (37 tahun) di Fakultas Sastra UGM dan IKIP Sanata Dharma. Dua-duanya di Yogya. Karena hubungan yang intim serta usaha mendekati mahasiswa tidak sebagai sejumlah orang -- tapi individu -- Bakdi, yang juga dikenal sebagai penulis cerpen ini, pernah menyembuhkan mahasiswanya yang nyandu ganja. Sampai mahasiswa tersebut kemudian jadi sarjana. "Memerlukan waktu dua tahun menyembuhkannya,' kata Bakdi. Sedang tugas dosen sebagai rekan mahasiswa, agaknya sudah dilakukan juga oleh penulis novel Ashadi Siregar yang menjadi dosen Fakultas Sospol UGM-Yogya. Ashadi, seperti juga Duncan, selalu datang mengajar memakai jeans tanpa ikat pinggang -- termasuk pegawai negeri yang berdisiplin tinggi. Sebelum jam 1 siang, ia tidak mau meninggalkan kampus."Sesuai dengan ajaran Korpri," ujarnya. Dosen bujangan ini seringkali melewatkan waktu senggangnya dengan ngobrol akrab bersama para mahasiswanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus