DOSEN kini bukan lagi manusia angker yang menakutkan. Ia adalah
manusia biasa. Pembimbing dan juga kawan bagi para mahasiswa.
Hidup sebagaimana layaknya orang hidup. Jadi tidak hanya
berkubur dengan ilmu. Ia juga punya perasaan dan kesulitan rumah
tangga seperti orang lain. Yang jelas, jarang bisa ditemui dosen
yang kaya karena profesinya.
Drs. Hasanuddin (40 tahun) asal Kuningan (Ja-Bar) adalah dosen
UNTAG (Universitas 17 Agustus) di Jakarta. Ia mengajar mata
kuliah koperasi, marketing dan ekonomi perusahaan. Meskipun
pakai mobil Fiat 65, ia bukan orang kaya. Kacamata plus yang
dipakainya sudah seminggu pecah, tapi ia belum bisa mengganti.
Padahal harganya hanya Rp 20 ribu. "Habis, belum ada uang. Di
sini hanya cukup untuk makan saja," ujarnya sambil tertawa.
Rokok Dihisap Bersama
Dosen ini lulusan UNTAG tahun 1965. Jadi dosen sejak tahun 1967.
Kini ia salah satu dari 200 dosen UNTAG yang memiliki 2000 orang
mahasiswa. Berbeda dengan di UI misalnya, di UNTAG Hasanuddin
menghadapi "mahasiswa pekerja". Artinya orang-orang yang sudah
bekerja sambil menyempatkan diri ikut kuliah. Menghadapi
mahasiswa demikian, yang selalu menghubungkan mata kuliah dengan
praktek sehari-hari dalam pekerjaan mereka, memang membutuhkan
sesuatu yang khusus. "Kalau dosen tak menguasai mata kuliah,
mundur," kata Hasanuddin yang mengaku sendiri juga sering
tersudut.
Barangkali itu pula sebabnya, dosen ini tidak terlalu banyak
menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut soal-soal
politik. "Para mahasiswa tak punya waktu berbincang-bincang.
Yang penting isi perut. Mereka lebih mementingkan anak dan
istri," ujarnya. Tetapi tidak berarti mereka orang-orang pasif.
Tahun lalu misalnya, di UNTAG ada corat-coret. Isinya kecaman
dan tuduhan buat mereka yang sedang mengadakan pembersihan
ijazah aspal (asli tapi palsu). Menghadapi hal tersebut
Hasanuddin menyilahkan kepada yang mau ikut protes untuk terjun.
"Jadi sebelum mereka bereaksi lebih keras, baik saya membuat
aksi dulu," katanya.
Hasanuddin selalu berusaha menjaga hubungannya dengan para
mahasiswa dekat, akan tetapi masih memiliki batasan resmi pada
saat-saat yang memang formil. "Tetap terbuka tapi ada batas,"
ujarnya. Di ruang kuliah ia mengharapkan mahasiswa berdisiplin,
termasuk dia sendiri. Sedangkan di luar, hubungan tersebut
menjadi hubungan kawan. "Rokok diisap bersama, minum kopi
bersama," ujarnya. Ia selalu memberi nasihat para mahasiswanya
agar tidak membuang-buang waktu percuma.
Honor dosen di UNTAG, yang kampusnya nangkring di bilangan Ancol
itu, hanya Rp 2.000 setiap datang mengajar. Tapi karena
Hasanuddin menjadi karyawan, gajinya termasuk cukup untuk
menghidupi istri, 4 anak dan pembantu. Total jenderal ia harus
menyuapi 11 mulut. "Cukup," kata Hasanuddin kerika ditanya soal
dapur. Maklumlah, isrrinya juga ikur bekerja, bantu cari makan.
Selama 12 tahun jadi dosen, Hasanuddin banyak mengajar dan lebih
banyak lagi belajar. Bahwa adakalanya pelajarannya tidak
diacuhkan, atau para mahasiswa lebih suka ketawa-ketawa dengan
temannya daripada mendengarkan kuliah, memang membuat kesal
juga. Tapi Hasanuddin tak pernah marah. Ia selalu berusaha
mengajak mahasiswa untuk membuat ruang kuliah sebagai tempat
untuk tukar pikiran. Yang sangat menolong adalah pengalamannya
sebagai guru SMP pada tahun 60-an.
Kalau membandingkan dunia mahasiswa sekarang dengan dulu, ketika
ia masih kuliah, Hasanuddin melihat adanya perbedaan. Dulu ia
merasa mahasiswa belajar begitu menggebu-gebu. Sekarang
kelihatannya kurang semangat. "Kecenderungan untuk tidak serius
selalu ada pada mahasiswa," ujarnya. Nyatanya sekarang dosen
yang menunggu mahasiswa. Dulu dosenlah yang suka dijemI,ut
supaya bisa tepat ada di tempat kuliah.
Mahasiswa Dulu Lebih Berbobot?
Drs. Santosa Murwani (44 tahun), dosen IKIP Jakarta jurusan
matematika, juga menganggap mahasiswa dulu tekun. Dalam arti,
bukannya tidak mengerjakan hal lain, tapi tidak meninggalkan
tugas pokok belajar. "Jadi mahasiswa dulu jauh lebih berbobot,"
ujarnya. Tapi diakuinya keadaan tersebut kemudian menyebabkan
para mahasiswa kurang peka terhadap lingkungan. Ia menganggap
mahasiswa kini belajar kendor tapi terhadap lingkungan terlalu
peka.
Dosen ini dulu juga pernah jadi guru di tahun 1955 -- mengajar
di sekolah teknik. Kemudian ia mulai menjadi dosen tahun 1961
--ketika masih bujangan. Ia sadar sekali bahwa materi tidak
banyak bisa diharapkan dari mengajar. Tapi dasar sudah jatuh
cinta kepada pekerjaan mengajar sejak masih di SMP, Santosa
akhirnya menetapkan karirnya. "Dan saya tak pernah punya pikiran
untuk pindah profesi, " ujarnya.
Seperti Santosa sendiri, isi rumahnya juga sederhana. Ada radio,
tapi kuno. Dua perangkat kursi sederhana dan sebuah pesawat
televisi. Teman-temannya banyak menganggap, sarjana yang sedang
menyiapkan diri untuk mengambil gelar doktor ini, keadaannya
masih kere. Tak apa. Santosa sendiri merasa hidupnya "cukup". Ia
punya colt yang dikredit untuk dua tahun. Tapi kalau meninggal,
apa yang bisa diwariskan kepada anak istri? Itulah satu-satunya
kekhawatiran, kalau toh mau menggali kekhawatiran, dari orang
yang sederhana ini.
Sebagai pendidik, dosen ini merasa serba salah. Kadangkala ia
mengharuskan anak didiknya untuk diam, patuh dan taat. Tapi
mengharapkan di kemudian hari mereka menjadi manusia yang
miliran. Atau kalau ia mengajarkan konsep ideal, tapi kemudian
konsep itu tabrakan dengan kondisi yang ada. Akibatnya idealisme
jadi kendor. Lalu ia bertanya "Apakah menjadikan mahasiswa
dengan konsep baik sebagai bagian dari masyarakat yang sudah ada
-- tapi tak baik -- atau memasukkan mereka dalam kelompok
masyarakat supaya yang lain menjadi baik?"
Santosa kadangkala bertanya kepada para mahasiswa "Kapan jadi
pelopor?" Pertanyaan tersebut timbul karena IKIP sering
dilihatnya sebagai pengekor saja. Kadangkala konsep tindakan tak
jelas. Misalnya waktu orang ramai menuntut turunkan tarif bis.
"Saat itu saya setuju saja. Karena saya nilai wajar. Tapi
kemudian menjadi tak jelas setelah menyerang person," katanya.
Contoh lain yang tidak hanya terjadi di IKIP adalah soal
penolakan NKK, lapi menerima KKN. Padahal Kuliah Kerja Nyata
adalah bagian dari Normalisasi Kehidupan Kampus.
Mahasiswa Indonesia Punya Potensi
"Di mana-mana seorang dosen akan selalu merasa dikecewakan
mahasiswanya. Tapi itu bukan hal yang luar biasa. Memang sudah
begitu kebiasaannya," kata Duncan Holaday, dosen dari Amerika
yang diperbantukan di Departemen Ilmu Komunikasi Massa FIS UI.
Lelaki usia 34 tahun, yang mengajar sejak Juli 1978 ini, mengaku
tidak pernah mendapat kesulitan dengan mahasiswa Indonesia. Ia
malah banyak mendapat kenang-kenangan. "Umumnya mereka baik
terhadap saya," ujarnya. Basa-basi? "Tidak, itu benar-benar saya
alami," kata dosen iru menegaskan.
Ia memang pernah ditertawakan oleh mahasiswa, ketika mula-mula
datang, karena aksen Amerikanya. Tapi kemudian ia merasa iri
dengan hubungan dosen dan mahasiswa sini. "Begitu akrab dan
bersahabar. Di sini saya bisa bergaul akrab dengan mahasiswa.
Saya mengenal mereka satu per satu dan banyak pengalaman manis
bersama mereka," ujarnva. Ia bandingkan dengan Amerika di mana
hubungan sangat formal.
Ciri mahasiswa Indonesia menurut Duncan sifat ingin tahunya
lebih besar dari mahasiswa Amerika. Tapi ciri tersebut tidak
diimbangi dengan kerja keras. "Barangkali mahasiswa Amerika
lebih bekerja keras dalam mencapai kehendaknya, tapi mereka
hanya bekerja sendiri dan untuk diri sendiri pula," ujarnya
dengan hati-hati. Walaupun demikian, mahasiswa Indonesia suka
tolong-menolong dan bergaul akrab satu sama lain. Bagi Duncan
hal tersebut menambah semangatnya dalam mengajar.
Duncan sering pergi ke daerah-daerah bersama mahasiswa. "Kami
bekerja bersama, tidur ramai-ramai, bergembira bersama tanpa
suatu ikatan formal antara dosen dengan mahasiswa," tuturnya,
mencerirakan kesannya ketika mengadakan penelitian di desa Ci
Enggang -- Sukabumi. "Di Amerika jangankan satu kelompok, dua
orang mahasiswa saja sulit untuk bisa kerja sama dalam satu
proyek tanpa muncul pertentangan," ujar kandidat Doktor
Komunikasi Massa itu. "Mahasiswa Indonesia punya potensi besar,
tapi karena sifat keterikatannya pada kelompok, potensi itu
kurang dikembangkan," katanya lebih lanjut.
Setiap mengajar Duncan hanya pakai jeans dengan kaos putih atau
bahan katun. Mahasiswa menilainya urakan. Apalagi kalau pergi ke
daerah penelitian -- ia juga suka menenteng gitar. Seluruh
waktunya dipakai untuk mengajar dan mengadakan penelitian. Sudah
9 tahun kawin tapi masih belum kepingin punya anak. Ia sering
mengembara. Di Amerika, menurut Duncan, dosen tidak perlu
mencari penghasilan di luar, karena gajinya cukup. "Jaminan kita
semuanya dipenuhi Universitas," katanya.
Dosen Kerja Sambilan
Untuk mendapatkan tambahan penghasilan drs. Arbi Sanit dosen
utama FIS UI, giat dalam proyek-proyek penelitian sosial. Di FIS
proyek-proyek tersebut tidak sedikit. Kadang-kadang instansi di
luar perguruan tinggi memintanya juga. Selain itu, Arbi juga
bisa menambah tebal kantongnya dengan memberi kuliah di tempat
lain. Sering ia juga diminta mengajar di SESKOAD. "Sebenarnya
kalau gaji cukup, saya tidak menginginkan pekerjaan-pekerjaan
itu, " ujarnya. Ia sadar pekerjaan tambahan bisa merugikan
mahasiswa, karena perhatian akan berkurang.
Arbi, yang sudah 12 tahun mengajar, mulanya ingin jadi --
minimal -- bupati. Maklum ayahnya Wedana di Kabupaten Pesisir
Selatan, Sumatera Barat. "Ternyata pekerjaan sekarang lebih
sesuai dengan jiwa saya," ujarnya. Kenapa? "Sebagai dosen kita
lebih menikmati kebebasan berpikir, berkreasi, berbicara,
daripada bekerja di tempat lain," ujarnya. Apalagi hubungannya
dengan atasannya di kampus lebih bersifat hubungan rekan yang
memungkinkan adanya perbedaan paham dan adu argumentasi.
Demikian juga hubungannya yang baik dengan mahasiswa.
Tapi Arbi juga sering kesal kalau menghadapi mahasiswa yang suka
berbohong. Jenis mahasiswa ini suka mengemukakan berbagai alasan
-- kadangkala tidak masuk akal -- kalau tidak dapat menunaikan
tugas-tugasnya. Ia juga dongkol kalau menghadapi mahasiswa yang
sedang dibimbingnya menyusun skripsi, tidak maju-maju meskipun
sudah berulang kali diberikan kesempatan. "Karena dongkolnya,
kadang-kadang saya mencoret-coret skripsi mereka, " ujarnya.
Tapi ada hal positip yang dilihatnya pada mahasiswa sekarang.
"Mereka jauh lebih berani, lebih kritis dan maju cara
berpikirnya," kara Arbi. Ia mengaku pada masanya sendiri dulu
mahasiswa jarang mengajukan pertanyaan kepada dosen, apalagi
membantah. Kini kadang-kadang waktu kuliah habis untuk diskusi.
Namun ia mengakui juga mahasiswa sekarang kurang senang membaca
buku dan kerja keras. Kurang menguasai bahasa asing. "Mungkin
karena situasinya sudah berbeda," kata Arbi mencoba memaklumi.
Sebagai dosen Arbi sudah merasa pas. Walaupun dapat tawaran gaji
lebih besar, ia tidak ada niat tukar haluan. "Saya tidak akan
tahan bekerja di lembaga birokratis," ujarnya.
Drs. IGK Artawan (43 tahun), dosen di Fakultas Farmasi UNAIR
Surabaya, juga banyak melakukan kegiatan di luar dinas dosen.
Kegiatan mana memberikan hasil dua kali lipat dari gaji
resminya. Hal tersebut mungkin terjadi karena memang waktunya
memungkinkan. Persiapan kuliah tidak pernah mengganggunya lagi,
karena ia sudah berpengalaman sejak 1967. Ia mulai mengajar di
luar sejak 1969. Dengan adanya NKK ada kemungkinan waktunya akan
banyak disita kampus lagi. "Kalau nanti saya diberi beban yang
lebih banyak, tentu saja tugas di luar boleh ditinggalkan,"
ujarnya. Rekannya, drs. Ida Bagus Pasa (42 tahun) di fakultas
yang sama, setelah adanya NKK memang jadi sulit mengurus waktu.
Karena ia juga banyak aktif di luar. "Saya sudah berpikir untuk
meninggalkan sebagian tuas di luar," kata Pasa.
Malu
Dari hasil pengamatan, Artawan melihat dalam mengejar ilmu,
mahasiswa swasta yang tergolong mampu lebih bersemangat. Tak
jarang mereka mendatanginya di luar jam kuliah. Sebaliknya
mahasiswa universitas negeri hampir tak ada berkonsultasi ke
rumahnya. "Mereka mungkin malu disangka mencari nilai," ujar
Artawan.
Tugas dosen memang pada akhirnya membimbing. Demikian dialami
juga dosen Bakdi Soemanto (37 tahun) di Fakultas Sastra UGM dan
IKIP Sanata Dharma. Dua-duanya di Yogya. Karena hubungan yang
intim serta usaha mendekati mahasiswa tidak sebagai sejumlah
orang -- tapi individu -- Bakdi, yang juga dikenal sebagai
penulis cerpen ini, pernah menyembuhkan mahasiswanya yang nyandu
ganja. Sampai mahasiswa tersebut kemudian jadi sarjana.
"Memerlukan waktu dua tahun menyembuhkannya,' kata Bakdi.
Sedang tugas dosen sebagai rekan mahasiswa, agaknya sudah
dilakukan juga oleh penulis novel Ashadi Siregar yang menjadi
dosen Fakultas Sospol UGM-Yogya. Ashadi, seperti juga Duncan,
selalu datang mengajar memakai jeans tanpa ikat pinggang --
termasuk pegawai negeri yang berdisiplin tinggi. Sebelum jam 1
siang, ia tidak mau meninggalkan kampus."Sesuai dengan ajaran
Korpri," ujarnya. Dosen bujangan ini seringkali melewatkan waktu
senggangnya dengan ngobrol akrab bersama para mahasiswanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini