BETULKAH perguruan tinggi kita memang bermutu? Di tengah ramainya mahasiswa memprotes NKK/BKK, soal mutu pengajaran perguruan tinggi seperti mengendap di belakang. Mahasiswa kita diketahui berperhatian -- dan berkeprihatinan -- terhadap masalah di luar kampus. Bagaimana dengan soal prestasi akademis? Dr. Djunaedi Hadisumarto, Dekan Fakultas Ekonomi UI, mengemukakan hal yang sudah diketahui bahwa kualitas lulusan perguruan tinggi tergantung pada "hubungan timbal balik antara dosen, mahasiswa dan sarana pendidikan". Itulah mengapa FE UI sangat memperhatikan pengembangan perpustakaannya. Sebuah gedung bertingkat enam, dengan lebih 36 ribu buku terdiri dari sekitar 10 ribu judul, sejak 5 bulan lalu menjadi kebanggan FE UI. Tapi secara tidak langsung dia mengakui bahwa minat baca mahasiswanya sebenarnya kecil saja. Padahal "kini tak ada alasan bagi mahasiswa tidak belajar karena tidak ada buku," katanya. Semenrara itu di Fakultas Sastra (FS) UI, menurut penilaian Sapardi Djoko Damono, Pudek (Pembantu Dekan) III "terus terang saja perpustakaan ditinjau dari ilmu sastra agak ketinggalan zaman." Dengan hati-hati, Sapardi pun mengakui minat baca mahasiswanya yang juga kecil. "Kadang ada kesan banyak mahasiswa hanya ingin sekedar lulus," katanya. Banyak sarjana (sastra) pengetahuannya hanya terbatas pada apa yang diberikan dosen dan bacaan yang diharuskan. Bahkan di Undip (Universitas Diponegoro), Semarang, menurut Goenardo, wakil direktur perpustakaannya, "dari 8 ribu mahasiswa, yang menjadi anggora perpustakaan hanya 3 ribu." Inipun sudah merupakan kemajuan ketika Undip masih hanya mempunyai 4.500 mahasiswa, yang tercatat menjadi anggota perpustakaan hanya 300. Tanpa Dukungan Dengan demikian sinyalemen Juwono Sudarsono, Pudek I Fakultas Ilmu-ilmu Sosial (FIS) UI, tak berlebihan. Katanya kepada TEMPO akhir pekan lalu. "Perguruan tinggi kita parah sekali keadaannya dibanding perguruan tinggi di negara Asia lainnya." Itu menyangkut semangat belajar mahasiswa, prasarana pendidikannya, mutu pendidikannya, juga struktur gaji staf pengajarnya. Dan yang tak disebut Juwono juga mutu rata-rata dosennya, meski tentu banyak perkecualian. Dalam soal skripsi saja, menurur Juwono (lulus FIS UI 1966), 85% mahasiswa tak tahu akan mengambil topik apa. "Padahal, seharusnya sejak tingkat III mahasiswa sudah harus tahu kira-kira tenang apa skripsinya nanti." Meski diakumya juga mutu skripsi di FIS UI "lumayan." Juga di FS UI -- mutu skripsi mahasiswa 'rata-rata baik," kata Sapardi, meski "tidak 100% mutu skripsi ditentukan mahasiswa. Dosen pembimbingnya ikut juga andil. Tapi dalam penulisan skripsi, mahasiswa diberi kesempatan besar menuangkan segala kemampuannya. " Masih ada contoh yang lebih pahit. Djoko Soemadiyo SH, Pudek I Fakultas Hukum Universitas Airlangga, menyebut persentase sehubungan dengan mutu skripsi itu. "Hanya sekitar 10% yang boleh disebut baik." Bahkan Ny. S.S. Harrono, Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Pertamian Unhas, mengeluh'. Sering pembimbing harus mengajarkan bagaimana mengatur alinea. Dan bahasanya sangat jelek -- tak bisa ditangkap apa maksudnya,' dan sang mahasiswa toh akhirnya lulus juga, bukan? -- lalu mengajar di salah satu universitas di negeri yang luas ini ...... Juga prestasi mahasiswa tak terlalu menggembirakan. Bukan dalam hal melontarkan sikap alias keinginan. Bahkan, menurut Juwono, "mahasiswa lebih peka terhadap soal sosial-polirik." Tapi dalam hal penguasaan masalah yang mendukung pernyataan sikap itu. Ini dibenarkan oleh Rektor Universitas Atma Jaya, Jakarta, Dr. KS Gani. "Mahasiswa memang cukup kritis. Tetapi tidak mendalami analisa yang logis," katanya. "Mereka protes tanpa dukungan argumentasi yang kuat." Menurut Sapardi, yang bersuara agak lunak, mahasiswa -- seperti tampak dalam diskusi maupun karya tulis -- terlalu cepat mengambil kesimpulan. "Tak ada yang mendukung konsep atau kesimpulan itu," kata dosen yang kabarnya tengah menyiapkan tesis doktornya ini. Tapi cepat pula ditambahkannya kekurangan itu "merupakan kekurangan umum, tak hanya pada mahasiswa. " Tulisan di surat kabar menurutnya juga banyak yang seperti itu -- termasuk bila penulisnya sarjana. Minat baca, pemanfaatan fasilitas perpustakaan -- yang mestinya sangat bisa menolong mahasiswa -- agaknya terhambat oleh kemampuan mahasiswa menguasai bahasa asing. Dan buku teks untuk semua bidang, dalam bahasa Indonesia, boleh dikata minim. Wajar kalau seorang mahasiswa dari Unair mengeluh "Bukan hanya saya. Juga 90% teman-teman di sini kesuliran membaca buku dalam bahasa Inggris. " Yang mengherankan, mengapa mahasiswa tidak protes, misalnya, menuntut semua buku teks "diindonesiakan saja"? Mengapa? Ada satu contoh dari IAIN SunanAmpel, Surabaya. Beberapa bulan lalu mahasiswa di sana "mencegat" Menteri Agama, mengiringi satu keresahan di sekitar tuntutan mereka agar, antara lain, mutu pengajaran bahasa-bahasa Arab dan Inggris -- yang sangat memprihatinkan -- diambil perhatian. Menteri menjawab, kira-kira soal kekurangan dalam pengajaran bahasa asing, yang harus di tanggulangi itu, sebenarnya " ada di mana-mana". Dengan kata lain mahasiswa ternyata juga ambil perhatian dalam hal mutu pengajaran. Bahkan di Fakultas Farmasi UGM, menurut drs Sardjoko, Dekan, mahasiswa tingkat Apoteker setiap minggu diharuskan mengajukan kertas kerja dengan literatur yang ditunjukkan dosen -- dan hasilnya tak mengecewakan. Malahan dalam diskusi ilmiah yang diadakan dua kali seminggu, "saya sering kewalahan menjawab pertanyaan mahasiswa," ruturnya. Mungkin memang belum sampai ke tingkat kritis kepada dosen maupun kepada buku -- seperti yang dikeluhkan Juwono Sudarsono, dengan mengingat beberapa kekecualian. Rata-rata mahasiswa kita memang baru hanya menerima apa kata dosen atau buku -- sedang kreativitas keilmuan dan pengembangannya seolah bukan urusan mereka. Dan akibatnya, seperti dikatakan Rektor Arma Jaya, mahasiswa gampang lulus karena bimbingan. "Dulu kita harus belajar sendiri," katanya, "bahkan tak peduli dosen datang atau tidak." Seorang mahasiswa Kimia ITB, Sapto Kuntoro, dalam saru karangan yang dikirimkan kepada TEMPO menulis mengenai suasana kampus dewasa ini: "Sebagai masyarakat akademis, kegiatan yang menunjang lahirnya seorang ahli yang betul-betul rangguh dalam bidang profesi seolah tidak nampak. Yang ada, kegiatan kontrol sosial." Mengapa, kalau semua itu benar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini