OPTIMISME Rendra ternyata bukan optimisme kosong. Lysistrata
boleh main di Yogya Alangkah lega dan gembira publik kota gudek
mendengar keputusan itu. Di tengah-tengah segala macam film --
baik asing maupun nasional -- yang akhir-akhir ini seakan
bersekongkol untuk memamerkan mutu mereka yang jelek dan
membosankan, penampilan satu teater Rendra merupakan guyuran air
yang menyegarkan bagi kemarau panjang kota itu. Tidak
mengherankan bila selama tiga hari itu gedung olah-raga di
Kridosono berjubel dengan pengunjung. Karcis catutanpun dijual
secara terang-terangan di halaman gedung.
Konon, cuma Srimulat dan Rendra yang sanggup mengundang
tukang-catut keluyuran di depan loket penjualan. Teater
selebihnya --yang bermutu sekalipun -- masih harus
berpayah-payah menghabiskan karcisnya. Untuk kesekian kali
kharisma sang Rendra masih memancar dengan cukup terang di
kotanya . . .
***
Tetapi alangkah cukup rumit dan mendebarkan hati proses
mendapatkan izin pertunjukan itu. Lazimnya izin satu pertunjukan
atau pameran cukup didapatkan dari pihak kepolisian. Dalam
mempertimbangkan izin itu biasanya pihak kepolisian akan minta
pertimbangan pihak kanwil kesenian. Barulah sesudah itu izin
diturunkan atau ditolak. Tetapi buat Rendra nampaknya ada
prosedur istimewa. Di samping jalan biasa itu, dibutuhkan cek
serta lampu hijau pihak Kodam Diponegoro di Semarang. Tanpa itu,
konon, tak mungkin satu pementasan Rendra dapat dilangsungkan.
Maka orang menunggu dengan harap-harap cemas apakah kali ini
Rendra akan mendapatkan izinnya atau tidak. Betul bahwa sejak
sastrawan-dramawan ini dibebaskan dari "pertapaannya" di Guntur
dia sudah pernah diizinkan tampil baik di dalam maupun di luar
negeri. Tetapi itu pembacaan sajak-sajak. Drama seperti
Lysistrata? Untunglah Dewan Kesenian Yogya sudah lahir kembali.
Dengan dukungan yang kuat dari dewan itu Rendra akhirnya dapat
meyakinkan pihak-pihak yang berwenang bahwa Lysistrata adalah
satu teater yang pantas mendapat izin untuk dipentaskan.
***
Akal sehat, toleransi dan kesabaran mendengarkan pendapat yang
saling berkepentingan jelaslah yang muncul sebagai pahlawan
dalam perjuangan mempersiapkan pementasan itu. Rendra diberi
waktu untuk memaparkan, wakil Dewan Kesenian Yogya diberi
kesempatan untuk meneguhkan, kanwil kesenian diminta
pendapatnya, wakil kepolisian dan kodam mnggut-manggut dan
bertanya . . . Ini satu kemajuan dan pantas dicatat sebagai
"peristiwa kesenian" yang penting. Setidaknya buat Yogya.
Cuma, mestikah satu pementasan menempuh jalan perizinan yang
demikian panjang? Tidak cukupkah pihak kepolisian aja yang
menanganinya? Ini mengingatkan saya pada keluhan seorang perwira
polisi kepada saya tentang kurangnya tenaga yang kompeten untuk
menanggulangi soal "seni-menyeni" ini.
Dulu tugas mempertimbangkan naskah kesenian -- puisi prosa,
drama -- atau pameran lukisan adalah lebih sederhana. Naskahnya
tidak terlalu rumit, konsepnya tidak terlalu gila, senimannya
tidak terlalu nyentrik dan brengsek. Sekarang? Wah, susah.
Naskahnya aneh, bahasanya ruwet dan sering tidak bagus. Sering
cabul dan main-main politik. Dan senimannya makin mau ngotot
saja . . . Herankah anda, demikian perwira itu melanjutkan
dengan semangat, kalau kami hati-hatiii sekali minta pendapat
kiri dan kanan supaya judgment kami itu tepat. Tentang soal
Rendra itu yah . . .
Dalam seminar musim gugur kemarin, di Bellagio, orang sempat
bertanya apakah di negara yang sedang berkembang penguasa
sempat dan perlu sempat membaca novel, membaca atau mendengarkan
puisi dan menonton drama? Semua berpendapat: perlu! Novel, puisi
dan drama akan membuat penguasa besar-kecil, nasional-lokal,
jadi lebih "memanusia". Kesusastraan dan teater memberi tahu
kita tentang keragaman sifat manusia. Fantasinya, motivasinya,
impiannya, kemampuannya.
Maka mengenal itu lebih baik berarti mengenal kemungkinan
manusia yang lebih rumit. Maka sang penguasa juga akan lebih
tidak gegabah dan lebih simpatik dalam memandang masyarakat yang
mesti dikelolanya itu.
Wah, baiklah. Tetapi kapan sempatnya? Penguasa di negara
berkembang adalah penguasa yang jauh lebih sibuk dari penguasa
di negara industri maju. Lho? Lebih sibuk bukan karena secara
harafiyah penguasa di negara berkembang lebih banyak kerja
daripada rekannya di negara industri maju. Ia lebih sibuk
menghayati peranannya sebagai pemimpin atau tepatnya bapak
masyarakat. Maka ia pun akan sibuk dengan dirinya sendiri. Bukan
dengan lainnya. Apalagi dengan kesusastraan dan drama, atau
lukisan . . .
***
Lysistrata Rendra diizinkan tampil bukan (atau belum) karena
penguasa kita sudah senang kesusastraan dan drama. Ia boleh
tampil karena semua pihak telah dibimbing oleh akal-sehat. Ini
baik. Setidaknya ini sudah mencoba melaksanakan apa yang
dikatakan sejarawan Taufik Abdullah di TIM tempo hari. Kewajiban
seniman dan cendekiawan mempertanyakan kewajiban penguasa
menyediakan suasana untuk pertanyaan itu . . .
Akan halnya pemimpin-pemimpin, para pemuka masyarakat sipil dan
militer yang sudah menjadi pembaca novel dan kumpulan cerpen
serta puisi, peminat seni-drama yang getol, pengunjung galeri
lukisan yang setia? Wah, masih merupakan minoritas yang kecil.
Bagi yang mayoritas agaknya Chairil Anwar dan Pramudya Ananta
Tur adalah orangorang asing . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini