Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sudah Digusur, Diamuk Bah

Permukiman baru bagi korban gunung merapi di muara sakai yang baru dihuni 5 bulan, mendadak disapu banjir. penduduk menjadi putus asa karena dikejar malapetaka. pemda meminta bantuan ke pusat. (dh)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR besar di Sumatera Barat benar-benar tak mengenal ampun. Sebuah desa yang baru saja dibangun dan dihuni tidak tanggung-tanggung disapu bersih. Itulah Desa Muara Sakai, perkampungan transmigrasi lokal, 180 km di selatan Padang, dalam Kabupaten Pesisir Selatan di tepi Samudra Indonesia. Letaknya juga amat rendah, cuma 5 meter dari permukaan laut. Tak kurang dari 315 rumah yang baru saja dibangun, hanyut arau rubuh. Juga masjid, sekolah dan gedung pertemuan umum. Tanaman padi, jagung dan kacang yang siap panen akhir bulan ini, tak lagi bisa dimanfaatkan. Diawali hujan lebat 5 hari sejak 22 November lalu, sungai Muara Sakai yang luasnya lebih dari 100 meter -- gabungan 3 sungai Sindang, Tapan dan Lunang -- 25-28 November lalu meluap mencapai ketinggian 3« meter. Seluruh desa bak danau laiknya. Sedihnya, desa itu baru 5 bulan dihuni 212 kk (1.174 jiwa) asal Kabupaten Agam dan Tanah Datar bekas korban gunung Merapi. Tujuh bulan silam, lereng timur Merapi telah menggusur rumah dan sawah-ladang mereka. Dompet Perantau Minang Lebih tragis lagi ada 100 kk asal Kabupaten Agam yang baru-baru malam menghuni Muara Sakai, mengalami nasib sama. "Apa dosa kami? Di sini pun masih dikejar malapetaka," kata Bustaman, 35 tahun, asal desa Lasi Kabupaten Agam kepada wartawan TEMPO Muchlis Sulin. Korban jiwa tidak ada, kerugian harta benda ditaksir mencapai Rp 350 juta. Rasa putus-asa tergambar di beberapa rumah penduduk kampung Pasar Sebelah -- 2 km dari pusat pemukiman -- yang menjadi penampungan sementara. Mungkin panik, beberapa kk sudah ada yang pergi tanpa pamit kembali ke desa asal. Di pengungsian itu memang tercatat 75% korban menderita sakit, separuhnya sakit kepala. Kabar tentang banjir itu terlambat sampai di Padang. Barangkali karena 3 jembatan -- jembatan Api-api, Baula dan Air Ongeh yang panjangnya ratarata lebih dari 10 meter -- ambrol hingga hubungan PadangMuara Sakai putus. Selain itu, banjir di Pesisir Selatan itu tidak hanya mengamuk di Muara Sakai tapi juga di tempat-tempat lain. Bisa dimaklum kalau bantuan obat-obatan dan pangan baru tiba 5 hari kemudian. Itu pun mesti lewat laut pula. Sebab sampai 4 Desember lalu -- 10 hari setelah banjir hari pertama --pusat pemukiman itu masih direndam 2 meter. Dapur umum pun didirikan. Setiap hari diperlukan 640 kg beras, 20 kg minyak oreng, 30 kg ikan kering dan 20 kg cabai. "Biaya seluruhnya Rp 500 ribu per hari," kata Karseno, Asisten Sekwilda kantor Gubernur Sum-Bar yang memimpin tim Pemda meninjau ke sana. Besarnya biaya ini bikin pusing, tentu. Selama ini biaya pembangunan pemukiman itu dikumpulkan dengan susah payah, termasuk sumbangan dari perantau Minang dan dompet korban Merapi di koran-koran Padang. Dana yang terkumpul, tadinya untuk cadangan biaya hidup para pemukim selama 9 bulan. Yaitu Rp 12.500 per bulan untuk setiap kk. Sebelumnya juga sudah dikeluarkan biaya membuka tanah Muara Sakai yang memang subur itu berikut pembangunan 315 rumah. Kini semua hancur. Tak bisa lain, seperti kata Karseno, "Pemda Sum-Bar akan mengajukan bantuan ke pusat." Pembangunan pemukiman itu, jadinya harus dimulai lagi dari awal. Tali sebagian warga transmigran lokal sudah enggan menghuninya, khawatir bahaya serupa datang lagi. "Kami mohon dipindah ke tempat lebih tinggi," pinta Muchtar, 50 tahun asal Agam, seperti halnya permintaan Syafrial, 50 tahun, asal Pasir Lawas Tanah Datar. Ternyata banjir besar itu memang di luar dugaan, bukan banjir rutin. "Banjir seperti itu hanya pernah terjadi 43 tahun lewat, "kata Nadran Agus, Ka Subdit Pembangunan Pemda Pesisir Selatan yang memimpin Posko Penanggulangan Banjir. Sebelum Muara Sakai dihuni pernah ada penelitian? "Sudah, baik oleh Pemda Provinsi maupun PU," jawab Karseno: Tapi penduduk asli Muara Sakai membantah. "Kami tak pernah ditanya mengenai situasi tempat itu," kata seorang pemuka desa. Mana yang benar? Sulit memang mempergunjingkan soal itu, apalagi di tengah situasi yang sudah terlanjur menjadi malapetaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus