BANJIR besar di Sumatera Barat benar-benar tak mengenal ampun.
Sebuah desa yang baru saja dibangun dan dihuni tidak
tanggung-tanggung disapu bersih. Itulah Desa Muara Sakai,
perkampungan transmigrasi lokal, 180 km di selatan Padang, dalam
Kabupaten Pesisir Selatan di tepi Samudra Indonesia. Letaknya
juga amat rendah, cuma 5 meter dari permukaan laut. Tak kurang
dari 315 rumah yang baru saja dibangun, hanyut arau rubuh. Juga
masjid, sekolah dan gedung pertemuan umum. Tanaman padi, jagung
dan kacang yang siap panen akhir bulan ini, tak lagi bisa
dimanfaatkan.
Diawali hujan lebat 5 hari sejak 22 November lalu, sungai Muara
Sakai yang luasnya lebih dari 100 meter -- gabungan 3 sungai
Sindang, Tapan dan Lunang -- 25-28 November lalu meluap mencapai
ketinggian 3« meter. Seluruh desa bak danau laiknya. Sedihnya,
desa itu baru 5 bulan dihuni 212 kk (1.174 jiwa) asal Kabupaten
Agam dan Tanah Datar bekas korban gunung Merapi. Tujuh bulan
silam, lereng timur Merapi telah menggusur rumah dan
sawah-ladang mereka.
Dompet Perantau Minang
Lebih tragis lagi ada 100 kk asal Kabupaten Agam yang baru-baru
malam menghuni Muara Sakai, mengalami nasib sama. "Apa dosa
kami? Di sini pun masih dikejar malapetaka," kata Bustaman, 35
tahun, asal desa Lasi Kabupaten Agam kepada wartawan TEMPO
Muchlis Sulin. Korban jiwa tidak ada, kerugian harta benda
ditaksir mencapai Rp 350 juta. Rasa putus-asa tergambar di
beberapa rumah penduduk kampung Pasar Sebelah -- 2 km dari pusat
pemukiman -- yang menjadi penampungan sementara. Mungkin panik,
beberapa kk sudah ada yang pergi tanpa pamit kembali ke desa
asal. Di pengungsian itu memang tercatat 75% korban menderita
sakit, separuhnya sakit kepala.
Kabar tentang banjir itu terlambat sampai di Padang. Barangkali
karena 3 jembatan -- jembatan Api-api, Baula dan Air Ongeh yang
panjangnya ratarata lebih dari 10 meter -- ambrol hingga
hubungan PadangMuara Sakai putus. Selain itu, banjir di Pesisir
Selatan itu tidak hanya mengamuk di Muara Sakai tapi juga di
tempat-tempat lain. Bisa dimaklum kalau bantuan obat-obatan dan
pangan baru tiba 5 hari kemudian. Itu pun mesti lewat laut pula.
Sebab sampai 4 Desember lalu -- 10 hari setelah banjir hari
pertama --pusat pemukiman itu masih direndam 2 meter.
Dapur umum pun didirikan. Setiap hari diperlukan 640 kg beras,
20 kg minyak oreng, 30 kg ikan kering dan 20 kg cabai. "Biaya
seluruhnya Rp 500 ribu per hari," kata Karseno, Asisten Sekwilda
kantor Gubernur Sum-Bar yang memimpin tim Pemda meninjau ke
sana. Besarnya biaya ini bikin pusing, tentu. Selama ini biaya
pembangunan pemukiman itu dikumpulkan dengan susah payah,
termasuk sumbangan dari perantau Minang dan dompet korban Merapi
di koran-koran Padang.
Dana yang terkumpul, tadinya untuk cadangan biaya hidup para
pemukim selama 9 bulan. Yaitu Rp 12.500 per bulan untuk setiap
kk. Sebelumnya juga sudah dikeluarkan biaya membuka tanah Muara
Sakai yang memang subur itu berikut pembangunan 315 rumah. Kini
semua hancur. Tak bisa lain, seperti kata Karseno, "Pemda
Sum-Bar akan mengajukan bantuan ke pusat."
Pembangunan pemukiman itu, jadinya harus dimulai lagi dari awal.
Tali sebagian warga transmigran lokal sudah enggan menghuninya,
khawatir bahaya serupa datang lagi. "Kami mohon dipindah ke
tempat lebih tinggi," pinta Muchtar, 50 tahun asal Agam,
seperti halnya permintaan Syafrial, 50 tahun, asal Pasir Lawas
Tanah Datar.
Ternyata banjir besar itu memang di luar dugaan, bukan banjir
rutin. "Banjir seperti itu hanya pernah terjadi 43 tahun lewat,
"kata Nadran Agus, Ka Subdit Pembangunan Pemda Pesisir Selatan
yang memimpin Posko Penanggulangan Banjir. Sebelum Muara Sakai
dihuni pernah ada penelitian? "Sudah, baik oleh Pemda Provinsi
maupun PU," jawab Karseno: Tapi penduduk asli Muara Sakai
membantah. "Kami tak pernah ditanya mengenai situasi tempat
itu," kata seorang pemuka desa.
Mana yang benar? Sulit memang mempergunjingkan soal itu, apalagi
di tengah situasi yang sudah terlanjur menjadi malapetaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini