SEJAK ketahuan ada dua pelacur positif terjangkit HIV, Dolly dan Bangunsari seperti dirundung wabah sampar membahayakan. Dua lokalisasi pelacuran terkenal di Surabaya itu sepi dari pengunjung. Jumlah mereka yang "jajan" seks, sampai pekan ini, merosot drastis: 70% sampai 80%. Sebelumnya, dua pelacur yang positif terjangkit virus HIV itu, keadaan sehari-hari mereka sederhana. Ini menurut penuturan rekan mereka yang sewisma. Nama pelacur di Bangunsari itu sebut saja Melly. Usianya 26 tahun. Wajahnya agak lumayan, dan berkulit putih. Asalnya dari Jember. Setelah perkawinannya berantakan. Melly berkelana ke Kalimantan. Entah apa kerjanya selama delapan bulan di sana. Setelah itu, sejak 1984, Melly mangkal di Bangunsari. Perempuan yang tinggi tubuhnya 1,55 meter ini mengaku jarang sakit-sakitan. Ia terbilang aktif, senang berolahraga, bahkan pernah memenangkan lomba senam di lingkungan Bangunsari. Walau pendidikannya SLTP, Melly kelihatan cerdas dan pintar biara. Karena itu, ia lancar berkomunikasi dengan orang asing. Melly sering menerima tamu para pelaut mengingat juga Bangunsari memang tidak jauh dari pelabuhan. Jadi, ia bukan hanya menjual cintanya kepada si bule. Ia bahkan enam bulan pernah pacaran dengan seseorang yang berasal dari Singapura. Pelacur lain adalah yang mangkal di Gang Dolly, yang namanya disamarkan dengan Sally. Usianya 19 tahun dan wajahnya biasa saja. Tinggi badannya 1,58 meter. Di Dolly, ia penghuni Wisma No. 26. Belakangan, Sally mengaku sering sakit. Bercak-bercak merah bahkan hinggap di tubuhnya. Pembawaannya pendiam dan tak berpengalaman bercinta dengan orang asing. "Malu," katanya. Nilai tambah yang layak diberikan kepada Sally adalah: ia elok berdandan. Dengan rok mini yang dikenakannya, ia memancing rangsangan. Dari perempuan berkulit hitam dan berambut lurus ini sulit digali keterangan dirinya. Agaknya, ia tertutup. Asalnya dari Desa Sonowangi, Malang. Sebelum ke Dolly, ia sudah beberapa kali pindah tempat kerja. Ketika tiga bulan lalu ia meninggalkan Dolly, pulang ke tempat orangtuanya (bukan lari), tidak seorang pun rekannya tahu ke mana Sally pergi. Kasus Sally dan Melly, yang dihebohkan dua pekan silam, tentu mempengaruhi pandangan orang dilingkungan mereka. Masyarakat, agaknya, enggan menerima dan malah mengucilkan penderita AIDS. Tindakan itulah yang dikhawatirkan lelaki yang tinggal di Bali ini. Sebut saja namanya I Wayan Mandi. "Jangan tulis nama saya yang sebenarnya. Saya takut divonis menyebarkan AIDS. Mungkin saya bisa ditembak," katanya. Dunia Wayan, 35 tahun, terasa berhenti berputar ketika dokter, belum lama ini, mengatakan bahwa dirinya dan istrinya mengidap virus HIV. Lelaki tinggi kerempeng ini mengakui virus itu datang lebih dahulu ke tubuhnya, kemudian menular kepada istrinya. "Saya tidak tahu di mana kena AIDS," ujarnya. Delapan tahun lalu, ia membuka toko pakaian di wilayah turis Kabupaten Badung. Sambil berjualan, Wayan mencari tambahan uang dengan memandu wisatawan. "Terus terang, saya masuk kelompok homo," ujarnya. Suatu ketika, muncul seorang turis sesama jenis yang mengajak Wayan ke Amerika Serikat. Mendarat di California, 1980, mulanya ia melayani kehidupan seksual si kawan yang memboyongnya itu. Mereka menetap di daerah wisata. Lama-kelamaan, ia dibolehkan mandiri. Selama melanglang di Amerika, Wayan mengakui acap ganti pasangan di klub-klub khusus lelaki. Setahun setelah pulang dari AS dan kembali dalam kehidupan Bali, lima tahun lalu, ia menikah. Wayan memilih perempuan sekampung. Sebut saja nama jodohnya itu Ni Made Wati, 34 tahun. Tiga tahun lalu, anak lelaki mereka lahir. Bocah ini, tidak disinggahi HIV. Wayan dan istrinya tidak yakin terkena virus itu. "Kenapa orang yang terkena AIDS seperti kami ini bisa punya anak?" tanya Wayan. Semula, ia memang tak mencurigai dirinya mengimpor virus itu. Yang mulai mencium gejala tidak beres pada dirinya justru dokternya. "Pastinya, saya terkena AIDS sejak setahun lalu," katanya. Menurut Wayan, sebelum positif kena AIDS, kendati hanya diserang flu, ia sulit disembuhkan. "Saya dan istri sampai lari ke dukun," katanya. Atas anjuran dokternya, ia memeriksakan darah. Dan baru jelas hasilnya: AIDS. Wayan berjualan dan tinggal bersama keluarganya di rumah sederhana. Kondisi kesehatannya tidak menggembirakan walau belum tampak penyakit lain yang biasa muncul pada penderita AIDS. "Kecuali, bila kumat, tubuh saya lemas dan tak gairah bekerja," katanya. Kondisi kejiwaan Wayan dan keluarganya jauh dari menyenangkan. Ia dan istrinya acap cemas kalau keadaannya diketahui kerabat dan tetangganya. "Kami takut dikucilkan," tuturnya. Masyarakat di lingkungannya, kata Wayan, belum siap menerima penderita AIDS. Kini, ia mengungkapkan apa yang dialaminya hanya kepada dokternya. Padahal, kalau masyarakat bisa menerima penderita AIDS secara wajar, ia bersedia tampil menceritakan pengalamannya. "Di TV pun, saya mau," kata Wayan. Bunga Surawijaya, N. Wedja, Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini