Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Aids merambat dalam hitungan hari

Kompleks pelacuran dolly dan bangunsari, surabaya, mendadak surut pengunjung. dua penghuninya dipastikan terjangkit hiv. dugaan kena aids masih simpangsiur. kini penderita dikarantina.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus dua pelacur yang terjangkit HIV simpang-siur. Berapa lama keduanya beredar dengan HIV di tubuh? Karantina diberi konotasi seperti "penahanan". TERSIAR kabar: dua pelacur di Surabaya menderita AIDS. Keduanya penghuni pelacuran terkenal di kota itu: Dolly dan Bangunsari. Berita itu membuat Surabaya menjadi ramai. Kemudian, pengunjung kedua pelacuran itu segera menyusut drastis. Namun, konfirmasi resmi tidak segera ada. Padahal, hasil tes darah yang menunjukkan bahwa kedua pelacur itu terjangkit HIV (Human Immunodeficiency Virus) sudah dipastikan pada akhir September lalu. Memang tidak ada niat pada aparat kesehatan untuk mengumumkan kedua kasus AIDS itu, sampai pecah berita di media massa. Dan Gubernur Jawa Timur Soelarso lalu merasa perlu mengumumkan. Toh perkara dua pelacur itu tidak tambah jelas. Berbagai sisi malah jadi tertutup. Kapan mereka ketahuan tertular HIV? Di mana mereka berada? Upaya pencegahan apa yang sudah dilakukan? Siapa yang bertanggung jawab menangani masalah ini? Jawabannya, semua tindakan baru direncanakan dan dirapatkan. Sedang dicari, cara penanganan lintas sektoral di antara institusi yang ber- wenang. Kemudian, berita lain muncul. Dua pelacur itu akan dikarantinakan di Jakarta, namun seorang di antaranya menghilang. Berita ini dibantah aparat kesehatan. Kasus keduanya makin ruwet. Justru yang muncul adalah beda pendapat mengenai karantina. Tindakan ini dianggap melanggar ketetapan WHO (World Health Organization), organisasi kesehatan dunia. Tiba-tiba karantina diberi konotasi seperti "penahanan". Ricuh arti karantina ini menenggelamkan pokok persoalan, yaitu kasus dua pelacur tadi. Kendati kasus AIDS bertubi diberitakan, baik pejabat kesehatan di Surabaya maupun di Jakarta mengelak memberi keterangan rinci. Semua pernyataan disebutkan dilimpahkan kepada Wakil Gubernur Jawa Timur Harwin Wasisto, yang ternyata juga pintar menghindar. "Saya harus melaporkan hasil rapat ke Gubernur," katanya. Perkembangan baru terjadi. Pelacur yang disebut menghilang itu tiba-tiba kembali. Siang Jumat pekan lalu, ia datang mengunjungi kawannya ke Dolly, dan bermaksud mengambil pakaiannya. Dari keterangan yang bisa dikumpulkan TEMPO terungkap bahwa pelacur itu -sebut saja namanya Sally -bukannya meng- hilang. Sally sudah tiga bulan meninggalkan Dolly. Ketika akan pergi, ia mengaku menerima surat dari keluarganya di kampung. Dan ketika ribut terjadi, ia memang sudah tak ada di Dolly (lihat: Derita Sally, Melly, Wayan). Bila benar ia sudah tiga bulan meninggalkan Dolly, ini berarti tes darah yang dijalaninya itu berlangsung lebih dari tiga bulan silam. Ketika hasil tes menunjukkan positif HIV, tim pemeriksa sebenarnya telah kehilangan jejak. Dengan kata lain, bukan tidak mau melakukan "penahanan" atau dikarantinakan. Kembalinya Sally menimbulkan sedikit ketegangan di salah satu wisma Dolly. Ketika rekan-rekannya ramai menanyai keadaannya, seorang penjaga wisma berlari memanggil pamong setempat. Pamong ini datang bersama seorang petugas Koramil. Setelah dibujuk, Sally bersedia dibawa. Agaknya, ia juga tidak menyadari persoalan yang terjadi. Menurut penuturan beberapa rekannya, Sally tersenyum sambil melambaikan tangannya ketika meninggalkan wisma. "Kasihan. Tapi apa betul dia sakit?" keluh seorang kawan dekatnya. Sayangnya, kawan ini belum ngobrol dengan Sally hingga tidak tahu apa yang dialaminya. Pamong yang membawa Sally, ketika dihubungi, membenarkan semua yang dikisahkan kawan-kawan Sally tadi. "Saya membawa dia disaksikan banyak orang," katanya. Menurut pamong yang minta namanya dirahasiakan itu, ia mengantar Sally ke Tim Penanggulangan AIDS di Rumah Sakit Dr. Soetomo. Sebelum diajaknya, Sally makan di rumahnya. Sally tiba di rumah sakit itu, Jumat sore. Pak Pamong mengaku tak memberi keterangan apa-apa kepada Sally. Begitu barangkali instruksi yang didapatnya. Justru Sally yang bertanya. "Apa sih, Pak, kesalahan saya? Apa penyakit saya?" Dan keterangan mengejutkan adalah: Sally sudah sakit-sakitan. "Tiap dua hari sekali ia minta dikeroki," ujar kawannya. Ia menerangkan, ada bercak-bercak merah di tubuh Sally. "Seperti biduren," katanya. Kendati sulit dibuktikan, Sally mungkin bukan cuma terjangkit HIV, seperti disebut oleh keterangan resmi itu. Sally, boleh jadi, sudah menderita AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome). Siapa tahu, kondisinya yang sakit-sakitan tadi berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh. Timbul bercak merah di tubuhnya itu, mungkinkah Sarcoma Kaposi, kanker kulit yang senantiasa muncul pada penderita AIDS? Kalau ini benar, kondisinya sudah terkategori penderita AIDS. Sally mestinya sudah lama tertular HIV. Pelacur lain, sebut saja Melly, penghuni pelacuran Bangunsari. Ia lebih dulu dijemput. Seorang pamong setempat -mewakili aparat kesehatan -datang pada Melly. Ia dijemput, Sabtu pagi pekan lalu, pukul 06.30. "Saya ambil secara diamdiam, biar tidak menimbulkan ribut," katanya, ketika dihubungi. Saat itu, Melly dan rekannya sewisma masih tidur. Di Bangunsari, Melly punya sejarah menjual cinta dengan orang asing. Bangunsari yang berdiri sejak 1953 itu diisi sekitar 700 pelacur. Sekitar 150 wisma yang dipakai untuk kencan di sini bercampur aduk dengan rumah penduduk. Tiap hari, 80-150 tamu kemari. Dibandingkan dengan Dolly, pelacuran ini lebih sering dikunjungi para pelaut asing, seperti Korea, Australia, Panama Filipina, Inggris, dan Singapura. Melly, seperti pelacur lainnya, sering melakukan hubungan asmara dengan pelaut asing. Jadi, ia tergolong risiko tinggi untuk terjangkit HIV. Gang Dolly terbilang jarang dikunjungi orang asing. Karenanya, Sally, menurut penuturan temannya, tidak pernah melayani orang asing. Para pelacur di sini hampir tidak memikirkan kemungkinan terjangkit HIV. AIDS tak menjadi bahan pembicaraan mereka. "Apa betul penyakit itu tak bisa disembuhkan?" tanya seorang pelacur di Gang Dolly. Pelacur ini sedang mencari informasi. Ia termasuk dekat dengan Sally. "Jangan-jangan saya terkena juga, ya?" katanya agak gugup. Kepanikan para pelacur itu adalah sebuah gejala baru dalam rangkaian kasus AIDS di Indonesia. Suryadi Gunawan, Ketua Kelompok Kerja Tim Penanggulangan AIDS, Departemen Kesehatan, mengutarakan bahwa terjangkitnya dua pelacur di Surabaya itu adalah kasus pertama HIV menyebar di kalangan bawah. "Kini, AIDS bukan hanya menyerang kalangan atas saja. Terbukti, kan?" katanya kepada Sri Pudyastuti dari TEMPO. Semua penderita AIDS di Indonesia, menurut Suryadi, sebelumnya berasal dari kalangan atas. Sementara itu, menurut Menteri Kesehatan Adhyatma, sampai kini tercatat ada 16 penderita AIDS di Indonesia. Dari 16 penderita tadi, 14 meninggal. Dan ada 35 orang yang sudah tertular HIV. Menteri membenarkan bahwa penularan HIV di pelacuran bisa berakibat luas. "Mereka yang masuk ke situ, dan main di situ, hendaknya memeriksakan diri," katanya kepada wartawati TEMPO Linda Djalil. Penularan HIV di pelacuran merupakan tanda yang tak bisa lagi diremehkan. Kejadian ini adalah bukti turunnya penjangkitan HIV ke kalangan yang tidak memahami AIDS dan risikonya. Di tingkat ini, fasilitas dan pemeliharaan kesehatan relatif miskin. Keadaan ini sudah lama dikhawatirkan WHO karena bisa sebagai pangkal ledakan AIDS di negara berkembang. Dan ini tidak bisa dikontrol (lihat: Menunggu Ledakan Tahun 2000). Pelacuran juga bisa dikatakan sebagai salah satu sumber potensial penularan HIV. Pola penyebaran di negara maju, seperti yang sudah terlihat kini, akibat gonta-ganti mitra seks. Khususnya di kalangan homoseks. Di negara-negara berkembang, terutama di Benua Asia, salah satu pangkal penularan HIV adalah hubungan heteroseks, yaitu dengan pelacur. Kasus penularan HIV di kawasan lampu merah Surabaya adalah juga lampu merah bagi penjalaran HIV dan AIDS di Indonesia. Di lingkungan ini, angka perambatan mesti dihitung dengan hari. Di Dolly dan Bangunsari, seorang pelacur rata-rata menjamu lima sampai enam tamu sehari. Maka, tindakan pencegahan -dengan atau tanpa karantina -harus pula dihitung dengan satuan hari. Jim Supangkat (Jakarta), Kelik M. Nugroho (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus