Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Statistik pelipur lara

Hasil sensus penduduk 1991, ada kemajuan yang dicapai dalam pembangunan. pertumbuhan penduduk dapat ditekan. kemampuan baca tulis meningkat, demi- kian juga partisipasi angkatan kerja.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUNDAH? Gelisah? Tidak perlu. Karena keadaan belum tentu seburuk perkiraan yang mengganggu pikiran sementara orang itu. Uang seret? Modal buntet? Kredit disumpet? Pembangunan macet? Belum tentu. Buktinya, rakyat tenang tanpa keluhan apa-apa. Yang berteriak kan cuma segelintir pengusaha. Bagi mereka, biar uang susah, tabungan masih bisa dipecah. Yang mapan bisnisnya, biar bank pelit, ada saja jalan untuk menembusnya. Namanya saja usaha. Tentu tidak bisa disiasati seraya ongkang-ongkang saja. Kalau tidak percaya, lihatlah statistik. Sekurang-kurangnya angka yang dikeluarkan BPS, hasil pencacahan penduduk Indonesia bulan Oktober tahun 1990. Atau statistik turunan, yang mengungkap berapa orang miskin yang masih tersisa di Indonesia. Mungkin saja beberapa keluhan orang tadi ada dasarnya. Bisa saja umpatan kritikus itu sahih landasannya. Tetapi belum tentu, keterangan yang ada pada mereka itu tidak ada info pembandingnya. Belum tentu keluhan itu tidak terbantah, oleh sudut pandang yang sama sahihnya. Memang. Baik atau buruknya situasi itu lebih tepat kalau dilihat tidak dalam ukuran sesaat. Kalau kita bilang maju, tentu harus dijajarkan dalam sebuah rentang waktu. Kalau sekadar mau berbantah dari platform anjak berbeda, akan banyak sekali model acuannya, sehingga keinginan membanding secara adil dan berbudaya akan sia-sia. Kalau kita bilang keadaan lebih baik, perlu kita jajarkan angka-angka dalam deretan pembanding yang setara dan laik. Jangan lalu mengada-ada. Lepas dari segala klaim dinamika dan kemandekan, data atau statistik bisa lebih keras berbicara. Karena itu, saya akan pelan-pelan saja menyampaikannya. Sebab, angka itu diam tetapi suka sangat musykil meredam dampaknya, baik dampak yang menambah rasa duka maupun dampak sebagai pelipur lara. Yang netral, yang saya punya adalah angka hasil sensus penduduk 1991. Berdasarkan statistik itu, saya hendak bercerita. Misalnya tentang jumlah dan pertumbuhan penduduk, serta komposisinya. Penduduk Indonesia bulan Oktober 1990 ada sebanyak 179,4 juta, itu berarti selama kurun 1980-1990, ia bertambah ratarata 1,97% per tahunnya. Ini jelas prestasi. Pertumbuhan dekade sebelumnya, 1971-1980, masih 2,32% rata-rata per tahunnya. Biarpun dengan Korea, Muangthai, Sri Langka, Cina, dan Singapura, prestasi kita menekan pertumbuhan penduduk tergolong sedang-sedang saja. Jangan membandingkan Malaysia yang memang sengaja mau menaikkan jumlah penduduknya. Atau dengan Filipina yang gereja Katoliknya kurang berkenan dengan urusan kontrasepsi. Bagaimana dengan penyebarannya? Kebijaksanaan kependudukan kita antara lain berusaha agar penduduk Pulau Jawa yang sudah padat itu tidak makin bertambah rapat saja, sedangkan penduduk luar Jawa yang jarang sebaiknya ditambah melalui transmigrasi. Ternyata, angka hasil sensus penduduk mendukung skenario itu. Biarpun lamban, jelas arahnya. Sepuluh tahun yang lalu, penduduk Pulau Jawa ada 62% dari penduduk Indonesia, sekarang tinggal 60%. Tetapi jumlah absolutnya masih bukan main banyaknya. Ada 107,6 juta penduduk Indonesia yang tinggal di Jawa. Kepadatannya pun mendekati pulau-kota, yaitu 814 orang tiap kuadrat kilometernya. Mengendalikan kelahiran, dampaknya juga pada struktur umur dan kelamin penduduk. Sekarang penduduk yang berusia muda di bawah 15 tahun sebanyak 36,5% saja. Dibanding keadaan sepuluh tahun yang lalu, jumlah itu masih setinggi hampir 41,0%. Dua dekade sebelumnya, anak-anak remaja di bawah 15 tahun hampir 44,0%. "Kan jelas menurun trend ketergantungan atau dependency ratio itu? Kenapa kita tidak bersyukur dan turut bersukacita? Kenapa masih ada yang selalu bersungut-sungut saja?" komentar Pak Parjo. Bagaimana dengan mutu penduduknya? Data bersaksi, kondisi pendidikan penduduk Indonesia bukan main pesat perkembangannya. Coba lihat. Kemampuan baca tulis penduduk Indonesia sekarang sudah dimiliki oleh 84,1% dari penduduknya. Dibanding dengan keadaan sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya, angka itu benar-benar lumayan kenaikannya, dari 60,9% menjadi 71,1% tahun 1980. Begitu juga angka anak-anak usia 7-12 tahun yang masih bersekolah. Selama kurun waktu dua puluh tahun, school enrolment rate meningkat dari sekitar 58% (1971), kemudian 83% (1980), menjadi 92% (1990). Sepanjang menyangkut tingkat pendidikan dasar, antara daerah-daerah di luar Jawa dan di Jawa, dan antara laki-laki dan wanita, praktis sama tingkatnya. Begitu juga dengan angkatan kerjanya. Partisipasi angkatan kerja, terutama wanitanya, meningkat pesat, walaupun disparitas partisipasi angkatan kerja pria dan wanita masih lebar menganga. Kalau diambil ngelmu bejo-nya, ini berarti masih terbuka peluang lebar untuk membuka partisipasi angkatan kerja wanita dalam perekonomian kita. Tampak juga adanya pergeseran sektoral angkatan kerja kita. Mereka yang bekerja di sektor pertanian turun dari 64,2% tahun 1971, kemudian 55,9% tahun 1980, dan menjadi 49,3% tahun 1990. Sektor manufaktur dan perdagangan meningkat. Selama kurun itu, sektor perdagangan naik dari 10,3%, 13,0%, kemudian 14,7% tahun 1990. Industri manufaktur dari 6,5%, 9,1%, menjadi 11,4%. Lamban tetapi lumayan. Sensus ini juga mengumpulkan data tentang keadaan perumahan. Boleh jadi, angka itu amat peka untuk mengukur keadaan sosial ekonomi penduduk kita. Tahun 1971, hanya 6% rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik untuk penerangan rumahnya. Tahun 1990 angka itu melejit menjadi 47%. Hebat, bukan? Sebaliknya penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk penerangan, turun dari 93% di tahun 1971 tinggal 45% tahun 1990. Sambungan ledeng juga demikian. Dulu, tahun 1971, baru 6,3% penduduk minum air ledeng. Tahun 1990, angka itu meningkat menjadi 13,0%. Hanya dalam pemakaian kayu bakar yang masih memprihatinkan. Tahun 1971, yang menggunakan kayu bakar untuk masak ada sebanyak 87% di antara rumah tangga di Indonesia, tahun 1990 turun, tetapi masih pada angka yang bisa mengkhawatirkan banyak orang. Yaitu 71%. Memang, mungkin orang masih ingin tahu misteri di balik angka ini. Tetapi statistik itu sungguh bisa melipur lara kita. Siapa pun yang jujur akan mengakui. Ada kemajuan yang dicapai pembangunan kita, sebagaimana dicerminkan oleh hasil sensus 1990. "Perubahan itu tidak turun dari langit begitu saja," nasihat Bapak Presiden kepada pembantunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus