Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena polisi salah tangkap menjadi pembicaraan hari-hari ini. Terutama setelah salah satu terdakwa kasus pembunuhan Vina Cirebon pada 2016 lalu, Saka Tatal, buka suara. Pemuda yang baru bebas setelah dibui delapan tahun penjara itu mengaku tak terlibat dalam pembunuhan Vina. Karena itu, ia mengklaim dirinya sebagai korban salah tangkap kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya sedang ada di rumah bersama kakak dan paman saya," katanya kepada awak media di Cirebon, Sabtu petang, 18 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kasus salah tangkap yang menjadi catatan kelam dalam sejarah kepolisian di Tanah Air adalah peristiwa yang menimpa Sengkon dan Karta. Keduanya adalah petani dari Bekasi, Jawa Barat. Mereka ditangkap atas tuduhan perampokan dan pembunuhan pasangan suami-istri, Sulaiman-Siti Haya, warga Desa Bojongsari.
Dua orang desa di wilayah Bekasi itu sebelumnya dituduh menggarong dan membunuh suami istri itu pada 1974. Betapa pun mereka membantah, polisi tetap memaksa dengan kekerasan, sehingga akhirnya peradilan mempidana 12 tahun penjara terhadap Sengkon dan 7 tahun bagi Karta. Adalah Gunel, 35 tahun, narapidana LPK Cipinang, yang tiba-tiba mengaku sendiri melakukan kejahatan terhadap keluarga Sulaiman.
Pengakuan itu digarap sebaik-baiknya oleh seorang keluarga Karta yang kebetulan ahli hukum. Pengadilan di Bekasi menghukum Gunel 12 tahun penjara atas pengakuan terdakwa sendiri menggarong dan membunuh suami istri Sulaiman. Bebaskah Sengkon dan Karta karenanya? Nyatanya tak begitu mudah. Kala itu lembaga peninjauan kembali tengah dibekukan. Hukuman keduanya tak bisa diutak-atik.
Pembela hukum Sengkon dan Karta, Albert Hasibuan teguh ke sana ke mari demi mencari upaya hukum. Walau terbentur pada urusan resmi: tak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh untuk memperoleh peninjauan kembali sesuatu keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan pasti seperti dalam kasus Sengkon dan Karta tersebut. Tapi jalan pintas akhirnya ditemukan.
Mahkamah Agung, setelah berkonsultasi dengan departemen Kehakiman dan Kejaksaan Agung, 4 November lalu menyetujui "penghentian sementara" hukuman bagi Karta dan Sengkon. Hal itu ditempuh, menurut Mahkamah Agung atau MA, "sambil menunggu upaya hukum formal yang akan ditempuh" kemudian. Keduanya akhirnya dibebaskan. Majalah Tempo edisi Sabtu, 15 November 1980 menyajikan bagaimana kisah Sengkon dan Karta akhirnya keluar dari penjara.
Kala itu urusan hukum keduanya memang belum jernih. Tapi bagi Sengkon dan Karta, hal itu tak penting benar. Keluar dari bui saja, sore 4 November, sudah merupakan sesuatu yang patut disyukuri mereka. Adakah yang lebih penting dari kebebasan, setelah meringkuk selama 6 tahun dalam tahanan dan tanpa dapat membantah sesuatu tuduhan yang tak pernah mereka perbuat?
Sengkon, 50 tahun saat keluar dari penjara, tergeletak di rumah sakit di Bekasi. Batuk tuberculosis atau TBC-nya menyiksa tubuhnya yang kurus kering. la, katanya, tak tahu siapa yang mengusahakan pembebasan baginya. Sengkon bercerita, kabar senang itu didapat saat dirinya tengah dipijat oleh rekan-rekannya di penjara. Petugas datang dan mengatakan dirinya bebas hari itu juga. Sengkon pun meninggalkan sel dengan diusung tandu.
"Saya lagi dipijat teman-teman di penjara, ketika petugas datang memberitahu saya boleh bebas hari itu juga. Padahal, waktu itu, saya tidak berharap lagi akan melihat dunia ini. Kepada siapa saya harus mengadu, dari dulu sudah saya katakan, saya tidak bersalah, tapi tak ada yang mau percaya?" kata Sengkon kepada Majalah Tempo.
Meski dinyatakan bebas, keluar penjara tak mengembalikan kehidupan Karta yang dulu. Karta keluar dari bui saat usia 45 tahun, setelah salat Jumat. Ia lalu pulang ke rumah tumpangannya di Cakung, Jakarta. la memandang sebidang tanah, sekitar 5.000 meter, yang terletak di sebelahnya. Tanah itu dulu miliknya, yang digadaikan kemudian dijual oleh istrinya untuk makan keluarga dan mengurus perkaranya. Sekeluarnya dari penjara, ia benar-benar melarat.
"Sekarang saya bingung, tidak punya apa-apa lagi. Yang berat lagi, anak-anak saya jadi putus sekolah," keluhnya kala itu.
Peradilan punya dosa besar kepada Sengkon dan Karta. Walau akhirnya dua petani ini bebas, kasus salah tangkap telah menghancurkan kehidupan mereka. Pada 1982, Karta akhirnya tutup usai setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Sengkon menyusul pada 1988 setelah bertahun-tahun menderita tuberkulosis sekeluarnya dari penjara.
Berdekade seterusnya, kasus salah tangkap dan salah sasaran menjatuhkan hukuman terus terjadi. Kepolisian dan pengadilan tak pernah belajar dari kasus Sengkon dan Karta.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MAJALAH TEMPO