Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM penjelajah Belanda menginjakkan kaki di tanah Buton, putri-putri kerajaannya biasa meluangkan waktu untuk menenun katun beragam corak. Bonto Ogena, seorang Menteri Besar Kerajaan, yang menentukan corak apa yang akan tertera dan berapa jumlah kain yang harus ditenun. Kain kemudian dipotong-potong sepanjang ujung jari hingga tulang pergelangan tangan sang Bonto Ogena dengan lebar empat jari tangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Potongan kain istimewa ini menjadi alat tukar sah di Kerajaan Buton sejak abad ke-14 pada masa ratu kedua, Ratu Bulawambana. Uang kampua atau bida namanya. Selembar uang kampua dapat digunakan untuk membeli satu butir telur. “Konon, awal mulanya adalah putri raja yang sangat menyayangi rakyatnya dan mau memberikan secarik kain dari pakaian yang dikenakannya saat bertemu dengan jelata,” kata Winarni, Kepala Koleksi Museum Bank Indonesia, Kamis, 22 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Museum Bank Indonesia menyimpan satu lembar uang kampua yang sudah tak beraturan potongan tepinya. Mungkin kain itu berwarna asli putih dengan motif garis-garis hitam tipis memanjang, tapi kini sudah kusam dan kecokelatan. Uang kampua merupakan uang tertua yang ditemukan di Pulau Sulawesi dan masih digunakan di desa-desa tertentu Kepulauan Buton hingga 1940. Keberadaannya terhapus kemunculan koin-koin tembaga yang dikenalkan Belanda. Empat lembar kampua dihargai senilai satu sen duit tembaga.
Selama ratusan tahun kemudian, alat tukar di Nusantara berevolusi. Koin logam adalah bentuk yang paling umum ditemukan, tapi pernah juga ada alat tukar dari bambu dan kerang. Bukti tertua penggunaan uang logam di Jawa kini menjadi koleksi Museum Nasional berupa koin perak cembung dengan sisi depan bergambar pot berisi dua tangkai bunga dan sisi belakang bergambar teratai mekar. Koin itu berasal dari sekitar tahun 569 Saka atau 647 Masehi.
Istilah rupiah sendiri diduga baru muncul pada masa penjajahan Jepang. Menurut Winarni, uang kertas yang beredar pada masa itu mencantumkan keterangan denominasi dalam empat bahasa. Salah satunya tulisan rupiah dalam huruf Arab pegon.
Jepang sempat beberapa kali menerbitkan uang kertas sekaligus menarik uang cetakan lama dari peredaran. Desainnya ada yang sederhana, tapi ada juga yang telah menampilkan macam-macam kekhasan Nusantara. Uang 10 sen seri De Japansche Regeering, misalnya, hanya berhiaskan angka 10 dan hiasan guilloches pada tepi-tepinya. Adapun pecahan 10 rupiah seri Dai Nippon Teikoku Seihu yang terbit pada 15 Oktober 1944 menampilkan gambar penari wayang mirip Gatotkaca di satu sisi dan stupa Borobudur beserta arca Buddha di sisi sebaliknya.
Sesaat setelah kemerdekaan, beberapa ragam uang beredar di Indonesia. Selain uang Jepang, uang keluaran De Javasche Bank pada 1925-1941 dan uang Belanda terbitan 1940-1941 masih menjadi alat tukar sah. Baru pada 1 Oktober 1946 Oeang Republik Indonesia (ORI) resmi digunakan. “Namun pemerintah belum bisa mengedarkannya ke semua daerah karena ada perjanjian wilayah,” ujar sejarawan Museum Bank Indonesia, Syefri Luwis. “Juga ada ancaman keamanan dari tentara NICA jika ketahuan membawa ORI.”
Uang Kampua/Bida (kain tenun) yang beredar pada abad 14 di Kerejaan Buton, di ruang pameran di Museum Bank Indonesia, Jakarta./Tempo/Tony Hartawan
Menurut Syefri, ORI dicetak dengan mesin cetak dari Kanisius. Mesin cetak seberat hampir 2 ton itu diangkut dengan kereta secara sembunyi-sembunyi agar uang dapat diedarkan di daerah lain, seperti Malang dan Yogyakarta. Bahan yang digunakan masih sangat terbatas. Ada yang catnya menggunakan cat tembok. Penggunaan kertas pun tergantung pabrik mana yang bersedia menyumbangkan. Sebagian besar desain seri ORI menampakkan wajah Sukarno dan kekhasan tradisi serta flora-fauna Indonesia.
Wajah Sukarno yang muncul tak selalu tampak serupa. Pada uang Rp 100 cetakan 1946, wajah Bung Karno tampak lebih persegi dengan pipi yang penuh. Di belakangnya ada gambar keris dan tanduk. Adapun pada uang Rp 25 terbitan tahun berikutnya, muka Sukarno lebih tirus dengan hidung memanjang. Seri ini dihiasi gambar banteng mengamuk dan teks undang-undang di bagian belakang. Menurut Syefri, perbedaan wajah Sukarno itu terjadi karena memang kualitas penggambar ataupun percetakan yang belum memadai. “Meski kualitas ORI jelek dan seadanya, masyarakat bangga memilikinya karena ada gambar Sukarno,” ucapnya.
Pada saat bersamaan dengan beredarnya ORI, muncul macam-macam uang lokal atau ORI daerah (Orida). Akibat agresi militer Belanda, saluran komunikasi dan distribusi pusat dengan daerah terputus. Untuk mengatasi kelangkaan uang, pemerintah pusat memberikan mandat kepada daerah untuk menerbitkan uang masing-masing. Orida pun terbit antara lain di Banten, Pematang Siantar, Tapanuli, dan Banda Aceh.
Seperti ORI, kualitas Orida tak memadai. Ada yang hanya dicetak di atas kertas seperti sampul buku atau kertas bergaris. Kualitas warna dan desain pun seadanya. Misalnya seri Orida Banten Rp 5 terbitan 1948 yang menampilkan gambar gapura keraton lama Banten dengan hiasan dedaunan yang sederhana. Terdapat tulisan “Uang Kertas Darurat untuk Daerah Banten” dalam garis melengkung. “Orida mudah sekali rusak, juga gampang dipalsukan. Hampir tidak layak disebut uang,” tutur Syefri.
Situasi tak menentu itu baru membaik setelah kesatuan moneter terwujud lewat Undang-Undang Mata Uang 1951 yang menggantikan Indische Muntwet 1912. Perundangan ini mengatur standar pecahan rupiah dan menyerahkan tanggung jawab desain dan pembuatan uang kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Keuangan. Pada tahun yang sama, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia, yang diresmikan pada 1 Juli 1953. Selama 15 tahun berikutnya, pemerintah menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp 5 dan Bank Indonesia bertanggung jawab atas penerbitan uang pecahan Rp 5 ke atas. Pada 1968, fungsi itu dilebur dan Bank Indonesia menjadi instansi tunggal yang menerbitkan uang rupiah.
Selama Orde Lama, wajah Sukarno masih menjadi obyek paling umum dalam seri uang rupiah. Ada juga seri yang menampilkan macam-macam profesi di Indonesia, seperti seri penenun, pemintal, nelayan, dan pemahat kayu yang terbit selama 1960-an. Seri bunga dan burung yang terbit pada akhir 1950-an hingga kini menjadi incaran kolektor karena kelangkaannya. Wajah tokoh nasional lain mulai muncul pada zaman Orde Baru, seperti set rupiah Sudirman pada 1968 dan Pangeran Diponegoro pada 1975.
Saat ini, penerbitan dan desain uang diatur lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Aturan itu menetapkan ciri umum rupiah yang harus memuat antara lain gambar Garuda Pancasila, frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dan tanda tangan pemerintah serta Bank Indonesia. Pasal 7 wet itu juga mengatur gambar pahlawan nasional menjadi gambar utama pada bagian depan rupiah. Gambar itu harus berasal dari instansi resmi dan disetujui oleh ahli waris. Namun rupiah tak boleh memuat gambar orang yang masih hidup. “Tampak muka wajah pahlawan nasional, di belakangnya ornamen kekayaan budaya. Ini inti konsep dan pakem kita,” kata Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Marlison Hakim.
Desain uang masa kini disusun bersama-sama oleh Bank Indonesia dan Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Untuk urusan desain dan percetakan uang, teknologi yang digunakan saat ini tentu sudah jauh melebihi masa-masa ORI dan Orida, ketika Republik masih muda. Selembar uang telah dilengkapi tiga level keamanan untuk memastikan keasliannya. Level pertama gampang terlihat mata seperti efek raba atau color shifting atau warna yang dapat berubah jika digerakkan. Level kedua bersifat semi-tertutup, yakni tanda yang hanya muncul jika menggunakan teknologi ultraviolet. “Level ketiga hanya Bank Indonesia yang tahu dan hanya mesin sortasi BI pula yang bisa mengidentifikasi,” ujar Direktur Operasi Peruri Saiful Bahri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo