Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kompak Menampik Saudara Tua
Berawal dari kritik atas strategi pembangunan, protes mahasiswa bergeser pada sentimen antimodal Jepang. Sentimen perkubuan melanda para penasihat ekonomi Soeharto.
Poster beragam ukuran itu menyembul di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat di Bandung. Bunyinya macam-macam, tapi intinya satu: memprotes ketimpangan pembangunan dan ketergantungan negeri kita pada modal asing-khususnya Jepang.
"Modal Asing untuk Rakyat, atau Rakyat untuk Modal Asing" tertulis dalam sebuah poster. Juga "GNP Naik, Celana Rakyat Melorot". Poster lain berbunyi "Seribu Yen Ditanam, Seribu Majalaya Gulung Tikar". Mahasiswa Institut Teknologi Bandung memasang aneka poster itu-setelah membikinnya beramai-ramai. Pulang berdemo di Jakarta pada pekan pertama Oktober 1973, perwakilan mahasiswa berbelok arah ke kantor DPRD. Di halaman gedung wakil rakyat, mereka memajang hasil karya protes tersebut. Sejak itu, gelombang demo menjalar ke kota-kota besar lain.
Jepang langsung tampil sebagai pemodal utama ketika perekonomian Indonesia baru siuman, setelah terpuruk selama Orde Lama. Di forum Inter-Governmental Group on Indonesia pada Mei 1973, Jepang berkomitmen mengucurkan pinjaman US$ 180 juta. Kontan saja Amerika tergusur ke peringkat kedua, dengan komitmen US$ 150 juta.
Investasi Jepang merambah semua sektor industri selain pertambangan, yang didominasi Amerika. Pengusaha Negeri Matahari Terbit jorjoran di sektor manufaktur. Bahan mentah yang melimpah dan tenaga buruh murah ibarat magnet bagi pengusaha Jepang. Memasuki semester kedua 1973, total investasi Jepang di Indonesia mencapai US$ 467,7 juta untuk 119 proyek.
Merek barang dari negeri itu bertaburan, dari alat transportasi hingga perlengkapan rumah tangga. Walhasil, kehadiran modal Jepang di Indonesia lebih menonjol ketimbang modal Amerika dan Eropa.
Masalahnya, kepiawaian Jepang merebut peluang investasi tak sebanding dengan kemampuan merangkul hati orang Indonesia. Penelitian Japan External Trade Organization di sejumlah negara Asia Tenggara-termasuk Indonesia-mengungkapkan ada gambaran tak ramah sang "Saudara Tua" di mata penduduk setempat waktu itu.
Dibandingkan dengan pengusaha Eropa dan Amerika, menurut penelitian itu, para juragan Jepang lebih dipandang sebagai "orang asing". Mereka lebih suka bergerombol dengan sesama kaumnya ketimbang berbaur dengan warga setempat. Untuk meraih laba secepatnya, mereka cenderung menempuh jalan pintas. Misalnya lebih suka berkongsi dengan jaringan bisnis Tionghoa ketimbang dengan pengusaha pribumi.
Ketidakpuasan atas dominasi Jepang pun mencuat di hampir semua negara Asia Tenggara. Di Bangkok, Thailand, contohnya, gerakan aksi boikot barang Jepang meledak pada akhir 1972. Gerakan mahasiswa yang menjatuhkan Perdana Menteri Thanom Kittikachorn pada Oktober 1973 tak lupa meminta pemodal Jepang hengkang. Di Indonesia, ledakan serupa tinggal menunggu waktu.
Dominan sejak awal Orde Baru, sentimen Jepang di kalangan mahasiswa Indonesia baru muncul belakangan. Semula mahasiswa lebih gandrung menggugat strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ketimbang pemerataan. Mereka tak percaya terhadap janji bahwa kemakmuran bakal menetes ke bawah (trickle-down effect). "Petisi 24 Oktober" yang dicetuskan Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia pada 1973, misalnya, meminta strategi pembangunan ditinjau kembali.
Petisi mahasiswa itu lebih menohok para ekonom yang bermarkas di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ketimbang investor Jepang. Kaum teknokrat-kebanyakan lulusan University of California, Berkeley, Amerika Serikat-itulah yang merancang liberalisasi ekonomi di awal Orde Baru. Di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro, para teknokrat inilah yang menyarankan pemerintah Orde Baru membuka pintu selebar-lebarnya bagi modal asing.
Kritik keras juga mengalir dari kolega mereka di perguruan tinggi, antara lain Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, pengajar dan peneliti di Universitas Indonesia. Belajar ekonomi politik di University of California, Dorodjatun melihat model pembangunan awal Orde Baru cenderung mengikuti jejak negara-negara Amerika Latin.
Meski sekilas tampak sehat, menurut Dorodjatun, perekonomian awal Orde Baru amat rapuh karena hanya ditopang kedekatan pejabat pemerintah dengan segelintir konglomerat. Pembangunan bergantung pada modal asing dan dukungan militer yang konfrontatif terhadap warga sipil. Ketika birokrasi makin jauh dari kontrol publik, korupsi mulai mewabah. "Sekali terjadi kemelut, perlu waktu amat lama untuk melucutinya," ujar Dorodjatun kepada Tempo dua pekan lalu.
Sewaktu Hariman Siregar dan kawan-kawan mengkampanyekan perlunya revisi strategi pembangunan, dukungan mengalir dari dewan mahasiswa kampus-kampus lain. Mereka pun membuat "petisi" dengan tuntutan kurang-lebih sama. Meski begitu, suara mahasiswa tak bulat. Sebagian tak setuju dengan langkah Hariman, yang mereka anggap menelanjangi teknokrat Bappenas. "Mereka menolak Bappenas diserang," kata Rahman Tolleng, aktivis mahasiswa 1960-an yang kerap menjadi tempat bertanya mahasiswa angkatan Hariman.
Mahasiswa pro-Bappenas mengalihkan sasaran tembak. Alasan mereka, kebijakan ekonomi dan politik Soeharto dalam prakteknya lebih dipengaruhi "kabinet bayangan" yang berkumpul dalam wadah asisten pribadi Presiden. Walhasil, Mayor Jenderal Ali Moertopo dan Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani yang mereka serang.
Ali adalah asisten pribadi Soeharto untuk urusan politik. Adapun Soedjono membantu Presiden untuk urusan ekonomi. Lembaga pemikir yang didirikan kedua tokoh itu, Centre for Strategic and International Studies, turut jadi bulan-bulanan protes. "Sejak itu, penolakan atas modal Jepang makin nyaring," ujar Rahman.
Kedekatan Soedjono dengan pengusaha dan pemerintah Jepang rupanya menjadi titik bidik protes. Michael Sean Malley dari Cornell University, yang menulis biografi Soedjono, merekam jejak lobi sang Jenderal di Negeri Sakura. Pada September 1966, misalnya, Soeharto mengutus Soedjono menemui anggota "Indonesia Lobby" yang berpengaruh di Jepang. Di sana, Soedjono bertemu pula dengan Menteri Keuangan Jepang Takeo Fukuda.
Pada pertengahan 1972, Soeharto kembali mengutus Soedjono selama sebulan ke Jepang. Hasilnya? Akhir tahun itu, lima perusahaan Jepang bersedia menggarap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Asahan, Sumatera Utara. Meski terbukti efektif, pengiriman Soedjono ke Jepang kian mempertajam perkubuan tim Bappenas dengan tim asisten pribadi. Malley menganggap itu sebagai akibat "kekacauan birokrasi dan struktur politik" di awal Orde Baru.
Soeharto pun bergerak cepat ketika kritik meluas. Presiden mengundang kubu Bappenas dan kubu asisten pribadi ke pertemuan khusus di kompleks peternakan Tapos, Bogor, Jawa Barat. Bincang-bincang itu berlangsung beberapa hari menjelang Natal 1973. Soeharto mengingatkan teknokrat Bappenas dan para asisten pribadi bahwa perkubuan di antara mereka sudah diketahui orang ramai. Soeharto meminta mereka kompak untuk menghadapi tantangan Orde Baru yang lebih besar.
Persamuhan Tapos tak bisa meredakan ketegangan. Kabar rencana kunjungan Perdana Menteri Tanaka ke Jakarta seperti mengipasi bara di tangan mahasiswa. "Kami tak mau kalah dengan mahasiswa di Bangkok," Hariman menegaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo