Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hawa Panas Bisikan Ibu Tien

Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah dan pembahasan RUU Perkawinan meningkatkan suhu politik nasional menjelang Malari. Dalangnya Ibu Negara.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari pada pertengahan 1972, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro datang ke Istana Negara. Dia ingin bertanya langsung kepada Presiden Soeharto tentang pembangunan proyek mercusuar Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Ketika itu santer beredar kabar bahwa proyek tersebut didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara senilai Rp 10,5 miliar. Jumlah yang fantastis untuk ukuran saat itu. Tak mengherankan bila informasi itu memicu keresahan banyak orang. Dalam kondisi perekonomian yang sulit-inflasi membubung, defisit anggaran melebar-mengalokasikan dana negara sebanyak itu untuk sebuah proyek taman hiburan dinilai tak masuk akal.

Mahasiswa di berbagai kampus pun bergerak. Mereka mendeklarasikan berbagai kelompok aksi-ada Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat, sampai Gerakan Penyelamat Uang Rakyat-untuk berdemonstrasi dan mengganggu penyelesaian Taman Mini.

Sebagai Panglima Kopkamtib yang bertanggung jawab atas keamanan nasional, Soemitro merasa penolakan publik ini bisa jadi ancaman. Karena itu, dia merasa perlu menangani masalah ini dari sumbernya. Di hadapan Presiden Soeharto, dia bertanya tanpa tedeng aling-aling, "Apakah Taman Mini ini proyek pemerintah?"

Seperti dikisahkan Soemitro kepada Heru Cahyono, penulis buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, waktu itu Soeharto menjawab pendek, "Bukan. Ini bukan bukan proyek pemerintah."

Soemitro tak puas, lalu meminta penegasan, "Jadi proyek swasta, dong." Soeharto mengangguk. Presiden yang baru berkuasa enam tahun itu kemudian melanjutkan, "Swasta tetap dipersilakan membantu Taman Mini, dan nama mereka nanti akan diukir di papan sebagai penghargaan, sebagai rasa terima kasih."

Mengantongi penjelasan dari Soeharto mengenai sumber dana pembangunan TMII membuat Soemitro lega. Dia yakin penjelasan Presiden itu akan mengurangi tekanan publik dan menurunkan tensi politik di Jakarta.

Sebelum meninggalkan Istana, Soemitro tak sengaja melewati ruangan istri Soeharto, Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien. Di sana ada Haryasudirja (konsultan pembangunan Taman Mini) dan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Juga tampak dua asisten pribadi (aspri) Presiden: Mayor Jenderal Ali Moertopo dan Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani.

Bukan rahasia bahwa para aspri mendukung proyek Ibu Tien ini. Ali Moertopo bahkan aktif menggalang dukungan untuk Taman Mini. Guna menghadapi unjuk rasa penolakan mahasiswa, Ali Moertopo membentuk kelompok tandingan dari para preman. "Kalau ada yang menyerang Cendana, pasti Ali yang maju," kata Soemitro, seperti dikutip dalam bukunya.

Melihat Soemitro, tanpa basa-basi, Tien menghadang. "Pak Mitro, kok belum apa-apa sudah tidak setuju Taman Mini?" ujarnya. Ditanya langsung seperti itu, Soemitro berkilah dia tak pernah menyatakan tak setuju dengan gagasan pembangunan tersebut. Jenderal bertubuh tambun itu hanya khawatir akan detail pelaksanaannya.

Namun, Soemitro melanjutkan, kekhawatiran itu pun sekarang sudah pupus. Pasalnya, Presiden Soeharto baru saja memastikan bahwa dana pembangunan TMII tak akan memakai anggaran negara. Mendengar penjelasan Soemitro itu, Tien langsung terdiam.

1 1 1

ADA satu masalah lagi yang memicu kenaikan suhu politik pada hari-hari menjelang kerusuhan 15 Januari 1974: Rancangan Undang-Undang Perkawinan. Diusulkan pemerintah, rancangan peraturan itu mulai dibahas Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir Juli 1973.

Isinya cukup progresif untuk ukuran nilai-nilai masyarakat ketika itu. Misalnya laki-laki dan perempuan bisa menikah tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan. Artinya, pernikahan sudah sah secara hukum meski hanya dihadiri petugas kantor catatan sipil. Bukan hanya itu, poligami juga dipersulit. Suami yang mau menikahi perempuan kedua, ketiga, dan seterusnya harus mendapat persetujuan istri pertama.

Barisan ulama langsung berteriak nyaring. Mereka menuding RUU Perkawinan ini merupakan strategi pemerintah untuk menggerus peran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Demonstrasi dan aksi protes lain digelar untuk memaksa pemerintah menarik kembali rancangan peraturan itu dari DPR.

Puncaknya, pada akhir September 1973, lebih dari 300 mahasiswa menyerbu ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Ketika itu Menteri Agama Mukti Ali sedang memberikan penjelasan tentang RUU Perkawinan kepada anggota DPR. Ruang sidang diduduki dan para pemuda berkoar-koar menolak pembahasan RUU Perkawinan.

Seorang wartawan, Marzuki Arifin, menulis, "Suasana sidang pleno DPR, yang biasanya selalu sejuk dan tenang, tanpa diduga berubah menjadi kancah demonstrasi selama dua jam."

Tak sedikit yang menduga ada pengaruh Ali Moertopo dan Siti Hartinah dalam perumusan RUU Perkawinan yang kontroversial itu. Soemitro termasuk yang percaya begitu. Pasalnya, naskah awal RUU Perkawinan ternyata dikaji di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga riset itu memang dekat dengan Ali Moertopo.

Selain itu, Ibu Tien sendiri dikenal luas sebagai seorang wanita yang tak mau dimadu. Mantan ajudan Presiden Soeharto, Brigjen TNI Purnawirawan Eddie Marjuki Nalapraya, bersaksi bagaimana Hartinah pernah menegur Soeharto soal godaan wanita idaman lain. Eddie menuliskan kisah ini dalam buku Soeharto: The Untold Stories.

Ketika itu Eddie bertugas menemani Pak Harto memancing di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Sebelum rombongan Soeharto berangkat, Tien membisikkan pesan pendek tapi penuh makna kepada suaminya, "Jangan memancing ikan yang rambutnya panjang, ya!"

1 1 1

SAMA seperti ketika meredakan protes publik soal pembangunan Taman Mini, Soemitro menggunakan pendekatan persuasif untuk mendinginkan suasana setelah penolakan RUU Perkawinan.

Dia meminta bantuan koleganya untuk mendekati para pentolan massa. Sutopo Juwono dan Daryatmo bertanggung jawab menemui golongan Islam. Sementara itu, tangan kanannya di Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, Laksamana Soedomo, diminta mendekati golongan Kristen.

Strategi ini lumayan sukses. Jenderal Soemitro bisa membujuk para penentang RUU Perkawinan untuk duduk bersama dan membahas kekecewaan mereka. Para kiai, pendeta, dan pastor diundang untuk menyampaikan apa saja keberatan mereka atas rancangan naskah peraturan tersebut. Sayangnya, sebelum mufakat tercapai, kerusuhan Malari meletus.

1 1 1

TAK bisa dimungkiri, dua isu ini-protes atas pembangunan TMII dan penolakan atas RUU Perkawinan-membuat stabilitas Indonesia pada masa itu terguncang.

Apalagi, akibat munculnya dua masalah kontroversial ini, kelompok yang biasanya tak sudi bekerja sama jadi bersatu dalam satu garis oposisi. Kelompok intelektual kampus yang kritis dan kaum ulama, misalnya, jadi berada dalam satu biduk: bersama-sama mengkritik kinerja pemerintah.

Meski Jenderal Soemitro relatif berhasil mengendalikan situasi dengan membujuk mereka yang marah agar tenang kembali, hawa politik nasional sudah kadung genting. Terlebih banyak orang menilai dalang di balik isu TMII dan RUU Perkawinan sebenarnya itu-itu saja: Ibu Tien dan para asisten pribadi Presiden Soeharto. Pada titik inilah orang-orang di lingkaran dalam kekuasaan Soeharto mulai melihat Soemitro sebagai ancaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus