Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saling Intai Dua Kalajengking

Persaingan antarjenderal di lingkaran Soeharto memicu huru-hara Malari. Baik di depan, saling sikut di belakang.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JENDERAL Soemitro akhirnya tahu alasan Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani mendadak suka tidur di kantornya, Markas Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Begitu juga Mayor Jenderal Ali Moertopo yang sering datang ke kantor Wakil Panglima ABRI itu.

Pada awal Januari 1974 itu, Soemitro semula menganggap Soedjono dan Ali hendak membantu pekerjaannya. Belakangan, ia menganggap dua asisten pribadi Presiden Soeharto itu mengawasinya. "Bukan membantu atau menemani saya menghadapi krisis," kata Soemitro dalam bukunya, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74 terbitan 1988.

Setelah peristiwa 15 Januari, Jabatan Panglima Kopkamtib yang disandang Soemitro dilucuti. Ia pun mundur dari jabatan Wakil Panglima ABRI dan menolak dijadikan Duta Besar Indonesia di Washington. Huru-hara yang menewaskan belasan orang itu juga membuat Mayor Jenderal Sutopo Juwono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara, dicopot.

Soemitro dan Sutopo berada di kutub yang berbeda dengan Ali dan Soedjono. Persaingan dua faksi ini semakin kuat menjelang Januari 1974. Menurut Kolonel Purnawirawan Aloysius Sugianto, mantan anak buah Ali, perseteruan dua kubu itu menjadi rahasia umum. Sering tampil bersama dalam acara Presiden, kata dia, kedua kubu itu berhadapan di lapangan. Sugianto yakin persaingan mereka di militer ikut memicu peristiwa Malari.

Sejak 1966, ketika naik ke pucuk pimpinan republik, Soeharto menyandarkan diri pada sekelompok kecil perwira Angkatan Darat. Ia membentuk staf pribadi (spri), yang terdiri atas enam perwira tinggi Angkatan Darat serta dua orang sipil spesialis bidang ekonomi. Dipimpin Mayor Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, teman dekat Soeharto sejak di Markas Besar TNI AD 1960, kelompok ini diisi Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, dan Yoga Soegomo. Ketiganya berasal dari Kodam Diponegoro, ketika Soeharto memimpin komando di Jawa Tengah itu.

Pada 1968, staf pribadi itu beranggotakan 12 orang, mayoritas perwira, dibubarkan karena diprotes mahasiswa dan media. Mereka dijuluki "pemerintah bayangan" yang memiliki kekuasaan lebih besar ketimbang kabinet, terutama dalam menyusun kebijakan, misalnya soal keuangan negara, politik, intelijen dalam negeri, hingga pemilu. Tapi Soeharto menggantinya menjadi asisten pribadi (aspri). Posisi ini kian dilembagakan ketika Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden.

Bahkan para perwira itu dipercaya Soeharto untuk sejumlah jabatan khusus dengan pengaruh yang besar. Alamsjah, misalnya, diangkat sebagai Sekretaris Negara. Yoga naik menjadi Kepala Bakin. Adapun Soedjono dan Ali Moertopo tetap menjadi asisten pribadi Soeharto dengan kewenangan khusus. Selain diangkat menjadi Deputi III Bakin Bidang Penggalangan, Ali ditunjuk mengepalai unit intelijen yang diberi nama Operasi Khusus alias Opsus.

Menurut Aloysius Sugianto, pamor Opsus ketika itu sangat tinggi karena kekhususannya yang lebih cepat dan ringkas. Sebagai Komandan Opsus, Ali diberi kebebasan bertindak membentuk tim, dan pergi ke semua pejabat dengan mengatasnamakan Soeharto.

Operasi yang digelar juga lebih karena menyelesaikan dan menjalankan perintah Soeharto. Dari urusan masalah domestik seperti kelahiran mesin politik Golongan Karya, operasi Pepera Irian Barat 1969, sampai masalah Indocina. Juga gerilya menjinakkan kelompok yang dianggap berpotensi menjadi lawan politik Soeharto. Misalnya bermacam protes yang membesar di lingkungan kampus dan warga terdidik.

Melalui Operasi Khusus, Ali giat menjalankan politik wadah tunggal bagi kalangan terdidik. Mereka menyasar kelompok mahasiswa, wartawan, pegawai negeri, hingga istri pegawai negeri dan militer. Dari mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia dengan tujuan bisa mengendalikan angkatan 1966 yang banyak berasal dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) hingga masuk kampus dengan mendorong berdirinya National Union Student (NUS). Organisasi ini diharapkan bisa menyedot dewan mahasiswa dari semua kampus. Hariman Siregar, salah satu mahasiswa yang terseret kasus Malari, digadang-gadang menjadi pemimpin NUS. "Itu mengapa Hariman lengket dengan Ali dan CSIS," kata Sugianto.

Namun operasi pembentukan NUS tak mulus karena ditentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang punya banyak kader di dewan mahasiswa. Ali mengubah taktik dengan sasaran menguasai organisasi mahasiswa berlatar profesi. Sebagai proyek percontohan, Hariman diusung menjadi pemimpin lewat Kongres Ikatan Mahasiswa Kedokteran di Makassar. Pola baru itu sukses, Hariman terpilih sebagai Sekjen Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia.

Pada 1973, Ali mengutus 10 orang binaannya bergerilya mengantar Hariman menjadi Ketua Dewan Mahasiswa, mengalahkan Ismeth Abdullah, calon HMI. Tapi, setelah terpilih, Hariman mulai membangkang dengan menunjuk Judilherry Justam, aktivis HMI yang juga karibnya di Kedokteran Universitas Indonesia, sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UI. Hariman mulai melawan keinginan Ali yang hendak menyingkirkan HMI.

Di bawah Hariman, Dewan Mahasiswa UI kian keras mengusung isu antimodal asing. Hariman juga kian sulit dikendalikan setelah terang-terangan menyerang Ali dan Soedjono, asisten pribadi Presiden, juga Opsus dan CSIS. Apalagi belakangan diketahui Hariman juga merapat ke sejumlah jenderal yang selama ini selalu mempersoalkan posisi Ali dan Soedjono. Di antaranya Jenderal Soemitro, juga sejumlah purnawirawan yang dikenal kritis terhadap Soeharto.

Posisi Ali-Soedjono sebagai asisten pribadi Presiden dengan Operasi Khususnya kerap berbenturan dengan Kopkamtib, lembaga yang dipimpin Jenderal Soemitro. Dibentuk Soeharto pada 10 Oktober 1965 karena peristiwa G-30-S/PKI, Kopkamtib sesungguhnya menjadi nadi lain kekuasaan Soeharto. Selain bertugas menangani pemulihan keamanan, Kopkamtib punya tugas mengkoordinasi semua operasi intelijen, dari Bakin sampai intelijen ABRI.

Meski menjadi bagian dari komunitas intelijen, Ali tak pernah berkoordinasi dengan Sutopo Juwono. Padahal, sebagai salah satu deputi, seharusnya Ali Moertopo melaporkan operasi kepada bosnya di Bakin itu. Salah satu yang disoal adalah tugas Ali menggalang aktivis DI/TII. Sutopo melarang, tapi Ali tetap melakukannya. Akibatnya, Bakin kerap menjadi sorotan ketika Ali diserang lawan politiknya.

Bukan hanya soal koordinasi, juga soal analisis intelijen. Perbedaan analisis tentang sebuah kelompok yang dikirim ke Soeharto kerap menyulut pertentangan. Marsekal Muda Purnawirawan Teddy Rusdy, bekas Asisten Perencanaan Umum Panglima ABRI yang juga perwira intel di Hankam, menyebutkan Presiden seharusnya tak boleh menerima produk intelijen lebih dari satu sumber. Apalagi jika itu dihasilkan dari "dua matahari".

Misalnya, Ali menilai gerakan mahasiswa ketika itu sudah berbahaya. Sedangkan Soemitro menilai gerakan mahasiswa itu belum berbahaya dan menganggapnya konsekuensi logis semakin terdidiknya masyarakat. Dua penilaian ini, menurut Teddy Rusdy, bisa membahayakan pengambil keputusan.

Karena kesemrawutan koordinasi ini, Soemitro meminta Soeharto membubarkan Kopkamtib. Ia juga mempersoalkan Ali dan Soedjono, yang merupakan perwira aktif tapi tak pernah melaporkan tugas mereka ke atasannya. Usul pembubaran Kopkamtib ditolak Soeharto. Situasi kian tak sehat, menurut Soemitro, karena banyak perwira tentara memilih mencari jalur politik agar kariernya naik dengan merapat ke Ali.

Hariman Siregar, bekas Ketua Dewan Mahasiswa UI, mengatakan persaingan dua kubu jenderal bukan hal baru. Setidaknya ada tiga kubu tentara ketika itu. Satu faksi menolak tentara berpolitik, satu kubu berpolitik dan merapat ke kubu Ali, dan kelompok lain merapat ke Kopkamtib pimpinan Soemitro. Ada juga kekuatan lain, yakni barisan tentara sakit hati yang tak mendapat posisi waktu itu.

Persaingan Ali dan Soemitro, menurut Hariman, terlihat memanas pada 1973. Apalagi Soemitro mulai berkeliling ke kampus-kampus, kecuali beberapa kampus yang sedang digarap Opsus. Sejak itu bermunculan desas-desus bahwa Soemitro menggalang dukungan untuk menggusur Soeharto.

Beredar juga "dokumen" yang menyebutkan Soemitro menggarap mahasiswa untuk merancang kerusuhan. Dikenal sebagai "Dokumen Ramadi", dokumen itu disebut-sebut dibuat Opsus untuk menggasak Soemitro. Ramadi adalah penasihat Gerakan Usaha Pembaharuaan Pendidikan Islam, organisasi bentukan Ali untuk kepentingan Golongan Karya pada Pemilihan Umum 1971. "Mereka mengelabui saya," kata Soemitro.

Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menggambarkan persaingan dua kelompok itu "seperti dua kalajengking yang berseteru". "Sesama kalajengking tidak sungkan untuk saling menyerang," ujarnya.


Razia Gondrong Vs Razia Gendut

TAWA Remy Sylado berderai melihat fotonya pada 1970-an. Rambut lelaki bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong itu terlihat gondrong menjuntai hingga bokong. Celananya model cutbrai dan kacamata bulat hitam bertengger di hidung. "Saat itu saya lagi gandrung sama vokalis The Beatles, John Lennon," kata Remy dalam percakapan dengan Tempo, akhir tahun lalu.

Pada awal 1970-an, demam hippies melanda dunia. Rambut lelaki dan perempuan dibiarkan menjuntai hingga bokong. Personel The Beatles, John Lennon, dan istrinya, Yoko Ono, jadi salah satu pentolan fenomena ini. Gaya mereka serta-merta mewabah hingga ke Indonesia dan menjadi tren anak muda serta para seniman. "Gaya ini dikritik pemerintah sebagai kebarat-baratan," ujar Remy mengenang.

Pemerintah Orde Baru bahkan melarang warga berambut gondrong. Pada 1971, TVRI mencekal para seniman berambut gondrong. Mereka dilarang tampil di stasiun televisi milik pemerintah itu.

Lama-kelamaan gerakan antirambut gondrong kian dipukul rata. Selain Remy, yang pernah kena getah adalah Sophan Sophiaan, Broery Marantika, Trio Bimbo, W.S. Rendra, Umar Kayam, juga Ireng Maulana dan Taufiq Ismail.

Belakangan, muncul poster "tidak melayani rambut gondrong" di mana-mana. Remy masih ingat, poster itu menampilkan foto dirinya dan disebarkan di gedung pemerintah, sekolah, kampus, gedung bioskop, pasar, dan jalan-jalan. "Foto saya dengan rambut gondrong yang dijadikan contoh," kata lelaki 68 tahun ini kembali tergelak.

Cekal rambut gondrong menghebat ketika, pada 15 Januari 1972, Jenderal Soemitro memberlakukan larangan gondrong secara tertulis. Seperti ditulis Tempo saat itu, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Soemitro menulis kepada bawahannya "agar menyelamatkan pertumbuhan dan kehidupan pemuda-pemudi kita".

Diperkuat instruksi presiden, Soemitro memerintahkan semua institusi di bawahnya juga membubarkan perkumpulan anak muda di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tujuannya: mencegah timbulnya pengaruh yang merugikan ABRI di mata masyarakat. Saat itu muncul pula berita penangkapan anggota geng motor berambut gondrong. Pesan yang berulang disampaikan: agar anak-anak muda tak terlibat dalam kegiatan yang menjurus kriminal.

Larangan rambut gondrong kian menjadi ketika Presiden Soeharto mengirimkan radiogram agar anggota ABRI serta karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer dan keluarganya tak berambut gondrong. Pada Oktober 1973, dalam sebuah acara di TVRI, Jenderal Soemitro mengungkapkan alasan merazia pemuda berambut gondrong. "Anak muda gondrong," ujarnya, "cenderung bersikap onverschillig atau acuh tak acuh."

Tentara dan polisi dikerahkan merazia setiap lelaki berambut gondrong di luar rumah dan mencukurnya di tempat hingga plontos. Kampus dan sekolah tak luput dari razia. Para rektor mengeluarkan ultimatum bagi mahasiswa yang tetap memilih gondrong agar keluar atau mengundurkan diri.

Di Yogyakarta, mayoritas sekolah tak mengizinkan siswa gondrong ikut ujian. Di Wonosobo, penonton berambut gondrong tak boleh menonton film di bioskop meski telah membeli karcis. Di Medan, Gubernur Sumatera Utara Marah Halim bahkan membentuk Badan Pemberantasan Rambut Gondrong. Tugasnya merazia dan mencukur gundul anak muda berambut gondrong.

Belakangan, kata Remy, razia tak hanya soal panjang-pendek rambut, tapi juga merambah soal ketat-tidaknya celana jins yang dipakai anak muda. Cara operasinya mudah, dengan memasukkan botol ke pipa celana. Kalau pipa celana itu tak muat, tentara atau polisi yang merazia akan memotong celana tersebut hingga selutut atau merobek bagian bawahnya.

Para mahasiswa jelas menolak razia semacam ini. Seperti dilansir majalah Tempo tahun itu, di Bandung, razia antigondrong dibalas para mahasiswa dengan merazia orang gendut. Menurut Hariman Siregar, aktivis mahasiswa Universitas Indonesia, balasan razia itu dilakukan untuk menyindir Jenderal Soemitro, yang bertubuh tambun. "Reaksi mahasiswa Bandung paling keras," ujar Hariman.

Meski begitu, tak semua petugas negara antirambut gondrong. Di Surakarta, polisi enggan mencukuri warganya setelah bertemu dengan seniman setempat. Mereka bahkan mencopoti poster larangan: "Tidak Melayani Tamu Berambut Gondrong".

Melihat perlawanan mahasiswa, Soemitro belakangan mengendurkan razianya. Ia kemudian masuk kampus dan berdialog. "Sadar tak bisa lagi menggunakan cara kekerasan menangani mahasiswa," kata Hariman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus