SEBUAH kota tua, bagai bintik dalam sejarah. Tidak seorang
agaknya, di zaman ini, yang mengingat Najaf--atau bahkan sekedar
tahu di mana terletak. Sampai ketika nama Ayatullah Rohullah
Khomeini menyeruak ke permukaan untuk pertama kali, dan menyeret
nama Najaf sebagai kota tempat ia tinggal selama masa
pembuangan, sebelum pindah ke Prancis tempo hari.
Padahal Najaf adalah "pusat" Syi'ah di luar Iran Bahkan rasanya
tidak ada sebuah kota di Iran sendiri yang lebih mengesankan
dalam sejarah Syi'ah dibanding di luar negeri itu--di Irak.
Memang, Iran punya Qom (Qumm), "pusat kendali spiritual" Syi'ah
di sana dan kedudukan beberapa pesantren para ayatullah besar.
Atau Masyhad (Meshed), tempat berkuburnya salah satu dari 12
imam Syi'ah, 'Ali Ar-Ridho (Ali Reza), dan sekaligus khalifah
Abbasiah yang legendaris, Sultan Harun Ar-Rasyid.
Tapi Irak punya Karbala. Ini adalah "pusat derita dan dendam
kesejarahan" Syi'ah. Di sini Husain bin 'Ali, cucu Nabi,
diperdayakan musuhnya, Yazid bin Mu'awiah, dan dibantai dengan
biadab. Maka sebagai lambang kesucian dan tumpuan rasa
kasih-sayang, Husain misalnya dipuja dengarr berbagai masjid
indah yang didirikan dengan namanya-- di Karbala, Kairo, Tunis,
di banyak negeri.
Kota kedua adalah Kufah. Di sini Ali sendiri, saudara sepupu dan
menantu Nabi, serta ayah Hasan dan Husain, dibunuh seorang bekas
pengikutnya. Dan ketiga, tak berapa jauh dari situ, Najaf.
Najaf adalah kota yang bagai tak pernah tidur Di siang dan malam
selalu bergema kalam Tuhan Wanita-wanita berkerudung hitam, dan
wanita dengan rok Barat, membaur dalam pusat keramaian
Masjid-masjid lama, kini, sudah diimbangi gedung-gedung megah
milik pemerintah dan swasta Tapi bau agama sangat terasa.
Mengenang Najaf juga tak akan lepas dari kebanggaan kota itu
dalam hal perguruan tingginya yang telah berusia 1.000 tahun,
dan perpustakaannya yang penuh buku tua.
Tapi yang paling menjadikannya terkenal hingga saat ini tentunya
karena kota yang luasnya 1.336 km2 ini menyimpan jenasah Ali bin
Abi Thalib - meskipun di kalangan Syi'ah sendiri berkembang
legenda yang menyatakan Ali tak dikuburkan di bumi. Kepercayaan
seperti itu ada-juga masuk ke Indonesia. Berasal dari, konon,
pertengkaran antara bumi dan Ali, dalam satu peristiwa kecil,
yang kemudian berkembang menjadi sengketa saling kutuk Ali
akhirnya bersumpah tidak mau dikuburkan di bumi.
Nah. Ketika Ali mangkat dibunuh sang teroris (di bulan puasa
tahun 40 H, pada usianya yang ke-63, ketika ia keluar rumah
untuk salat subuh), jenasahnya diangkut dengan unta dan diiringi
Hasan dan Husain, beberapa kerabat dan pengikut. Jenasah itu
dimakamkan di arah barat Kufah--di Najaf sekarang. Dalam legenda
disebutkan, Ali kemulian dinaikkan ke kuda, dan "lenyap ke
angkasa". Syi'ah memang penuh legenda.
Itulah sebabnya makam Ali sebenarnya tak diketahui orang. Konon
atas wasiatnyalah tetap dirahasiakan. Hanya ada ancer-ancer
"antara tiga rmbunan", yang kini banyak dikunjungi Maka Kota
Najaf bagai dilahirkan oleh para peziarah.
Sampai kemudian datang Sultan Harun Ar-Rasyid, yang mulai
membangunnya dengan pesat di tahun 170 H, 120 tahun setelah
wafat Ali. Harun Ar-Rasyid dari Dinasti Abbasiah, yang
menisbatkan diri pada Abbas bin Abdil Muththalib, paman Nabi.
Jadi termasuk keluarga Muhammad s.a.w., meski bukan anak-turun.
Dan meski Dinasti Abbasiah dahulu ditegakkan dengan
memperalat--dan mengorbankan--banyak tokoh Syi'ah dalam melawan
Dinasti Umaiyah Ar-Rasyid tergolong dekat dengan Syi ah.
Ar-Rasyid pula yang mengambil menantu Imam Syi'ah 'Ali Ar-Ridh.
Maka Najaf pun berkembang pesat - mcnjadi kota nomor empat di
Irak sekarang, setelah Baghdad, Maushul (Mosul) dan Bashrah.
"Dan tumbuhlah pasar budaya. Anda bagai tak mampu lepas dari
padanya. Tak ada waktu yang akan tersisa dari membicarakan
ilmu." Demikian ditulis wartawan Hasan Ad-Dujaili dalam majalah
Al-Falshal, Riyadh, Oktober 1982. Ia sedang mengutip laporan
seorang sejarawan kuno yang melukiskan satu masa pertumbuhan
keilmuan di sana.
ADA tiga periode dalam sejarah Najaf: perkembangan, keruntuhan,
kebangkitan. Periode pertama sempat disaksikan Ibnu Bathuthal)
(1304-1368 M) dalam pengelanaannya yang terkenal itu. Katanya:
"Kemudian saya lanjutkan perjalanan dan menuju makam Ali bin Abi
Thalib di Najaf. Ini sebuah kota yang elok. Tanahnya yang luas
menjadikannya salah satu kota Irak terbaik. Bangunannya megah,
dan banyak penduduknya. Memiliki sebuah pasar yang bagus dan
bersih. Saya memasukinya dari pintu depan, berhadapan dengan
kios penjual makanan, roti dan buah-buahan. Lalu masuk kios
sayur-mayur, kios para penjahit dan pakaian jadi, lalu pusat
kios minyak wangi. Kemudian saya kembali ke pintu depan."
Waktu itu Najaf memiliki penduduk 6.000 orang, 1.700 di
antaranya para Alawi--keturunan Muhammad s.a.w. Iewat Ali bin
Abi Thalib. Pada abad VII dan VIII Hijri (XIII dan XIV Masehi),
penduduk makin meningkat. Tempat-tempat pencarian ilmu makin
banyak. Perkembangan periode awal ini dimulai oleh Buwaihi pada
tahun 338 H, terus hingga abad IX Hijri. Dan maju pesat berkat
bantuan penguasa Turki saat itu.
Keruntuhan Najaf dimulai pada abad IX itu pula. Demikian ditulis
Ja'far Ali Mahbubah, dalam bukunya Madlin Najaf wa Hadiriha
(masa lalu Najaf & masa depannya). Lalu makin menukik hingga
pertengahan abad XIII H alias abad XIX-XX M. Najaf sudah
kehilangan kegairahan ilmiah. Pembangunan macet akibat perang
antara Dinasti Safawi (Safavid) yang berkuasa di Iran (dan
inilah dinasti yang men-Syi'ah-kan seluruh Iran) dan Usmaniyah,
musuhnya bebuyutan. Ditandai dengan terbunuhnya banyak penduduk,
serta menciutnya, jumlah peziarah ke Najaf. Bahkan peristiwa ini
juga sempat mengganggu perjalanan haji lewat darat.
Seorang turis asing, tidak disebut namanya oleh Ad-Dujaili,
menulis dentang kunjungannya ke Najaf pada 18 September 1604
atau 23 Rabiul Akhir 1013: "Saya memasuki Najaf yang penduduknya
sekitar enam sampai sembilan ribu orang. Di antara bangunan yang
megah-megah itu, terdapat sekitar 500 rumah. Mereka miskin, dan
mengakui keruntuhannya akibat wafatnya Thoh masib Ahmad tahun
984 H bertepatan dengan 1576 M. Seorang raja Iran yang sangat
banyak berjasa dengan bantuan-bantuannya. Pasar-pasarnya tak
beda dengan pasar yang lain. Tampak masa lalunya yang megah . .
. "
Seratus lima puluh tahun kemudian, 1765 M atau 1179 H, datang
seorang pengelana Jerman, Neybour namanya. Ia menulis: "Tidak
mudah menjumpai air di sini.Air untuk masak dan mencuci
didapatkan dari selokan. Hanya untuk minum mereka menunggu
penjual yang menjajakan dengan keledai, atau mengambilnya
sendiri, dan itu bisa menelan waktu tiga jam perjalanan. Kotanya
dilingkari sebuah benteng dengan bangunan yang menyerupai
bangunan di Jerussalem Baru."
Najaf juga terjerembab ke dalam nasib buruk yang menimpa Irak
keseluruhan ketika Raja Mongol menyerang Irak. Terjadi kemudian
masa hitam, setelah pembakaran, pembantaian penduduk dan
pemusnahan isi perpustakaan Baghdad yang waktu itu paling maju
di dunia, yang bahkan harus dikatakan tak pernah bisa
dikembalikan setelah berkuasanya kembali raja-raja Islam di
situ. Hanya, Najaf memang lebih banyak berhubungan dengan
orang-orang Syi'ah dan penguasa negeri mayoritas Syi'ah seperti
Iran, dan malah India.
PERIODE kebangunan berawal dari abad XIII Hijri. Akibat
hubungan baik antara Daulah Usmaniyah (Imperium Ottoman
yangberpusat di Turki) dan Iran, Najaf berkembang lagi sebelum
Perang Dunia I. Dan tahun 1924 berdiri pemerintahan kerajaan di
Irak. Najaf pun bernaung di bawahnya.
Hanya saja, kedudukan Najaf yang terletak di gurun pasir dan 35
meter dari permukaan air Efrat itu, menjadikannya sebuah kota
yang sebenarnya tidak terlalu baik dalam hal air. Karena itulah
situasi air minum yang mencukupi di sini dilakukan dengan
menggali sumber-sumber air--yang selain olelt para penguasa
sendiri juga oleh raja-raja Iran dan India. Iran terhitung pula
sebagai yang paling banyak menyumbang untuk kepentingan agama di
sana, dan ini bisa dimengerti.
Malah juga dalam pembuatan benteng yang melingkari kota itu
untuk menghindari serangan luar pada tahun 1039, saat Raja Nadir
Syah berkuasa di Teheran. Tahun 1232 seorang raja dari Dinasti
Qajar menyempurnakan benteng itu dengan bilik pengintai di
menara tinggi. Parit pun digali. Sampai kemudian penjajah
Inggris menaklukkannya pada 1920.
Pada 1930, penguasa Irak mencoba memperluas Najaf. Dan ini tentu
dengan mengorbankan benteng kukuh yang hanya punya empat pintu
itu. Benteng dihancurkan di tahun 1939, dan penghuni lama dan
baru, yang selama itu bagai terpisah, berbaur. Penduduk pun
makin mencuat naik. Tahun 1935 sudah mencapai 46.000 orang.
Sebagai pusat ilmu pengetahuan agama, dipenuhinya kota ini
dengan masjid di segala gang maupun jalan besar merupakan hal
lumrah. Ada 80 masjid besar kecil di pusat kota saja. Di antara
yang terbesar adalah Masjid Ali bin Abi Thalib, di balik
makamnya yang misterius. Sebuah kubah besar dan dua menara yang
tingginya 35 meter, berdiri tegak menyaksikan kota dalam
gelombang pasang surutnya sejak dulu. Masjid itu panjangnya 77
meter, lebar 72 meter, tinggi dindingnya 17 meter. Dihiasi
mosaik lingkup kaligrafi ayat suci Al Quran yang memadati
seluruh dua lantainya. Ada 100 ruangan untuk belajar. Ada lima
pintu, dan sebuah jam terpancang menghadap ke empat penjuru
dengan lonceng yang terdengar sampai sudut kota.
Di masjid ini bermula pusat pengembangan keilmuan Syi'ah. Ulama
bersurban hitam dan putih memadati acara pengajian rutin yang
diselenggarakan para ulama yang lebih besar. Juga orang-orang
muda.
Jasa para dermawan, terutama dari kalangan Syi'ah, juga
membuahkan puluhan sekolah. Penjualan kitab-kitab besar sejak
dulu merupakan ciri khas kota ini, bagai Baghdad dan Kairo pada
masa jayanya. Kamis dan Jumat merupakan hari-hari pasaran kitab
yang paling kentara, ketika sekolah-sekolah libur dan peziarah
berdatangan sambil memanfaatkan waktu untuk belajar.
Ada seorang raja Syi'ah dari Dinasti Buwaihi, yang dituturkan
pada 371 H atau 981 M tak puas-puas membagibagikan uan,, yang
melimpah kepada penduduk yang hampir seperlimanya orang Alawi.
Tak lain karena ia menghormati kota itu. Lalu dari kota ini
muncul Abu Jarfar Muhammad bin Hasan Atthusi di tahun 449 H
(1059 M), seorang sarjana besar agama yang hingga kini tak
tertara di Najaf.
SUDAH tentu ada pendidikan non-agama di sini, juga yang memakai
sistem Barat. Tapi dalam hal ilmu agama ada lembaga yang
disebut Hauzah 'Ilmiyah (Lingkungan Keilmuan). Ini merupakan
badan pengembang ilmu yang besar dalam jajaran Syi'ah. Hauah
memilih seorang Marja'A'la (Referensi utama) dari kalangan
ulama terkemuka, dan para anggota lingkaran itu sendiri dihidupi
oleh ketentuan Syi'ah: khumus, yakni seperlima dari penghasilan
para umat yang harus mereka serhkan kepada agama.
Para imam atau mujtahid (pemikir hukum) yang biasanya dianggap
marju' memiliki wakil-wakil pula di berbagai daerah seantero
Irak, untuk menjadi penghubung dalam kehidupan taqlid mereka.
Taqlid adalah prinsip utama kehidupan keagamaan umat Syi'ah:
mengikut, tanpa bertanya. Fatwa-fatwa baru hanya disampaikan
oleh para wakil ini, kepada umat sebagai muqallid (pengikut).
Memang, struktur hiral-kis keagamlan Syi'ah mirip-mirip Gereja
Katolik. Keputusan Marja' A'la tak bisa diganggu-gugat. Apa
yang diupayakan para marja' yang piawai dan salih itu tak boleh
diurut lagi apa alasannya.
Dan pengaruh ajaran ulama sebagai para maraji'ut taqlid itu
membuahkan bekas mendalam di kalangan pengikut,'pengaruh
keagamaan dan politik," tulis Ad-Dujaili. Dan dengan dcmikian
Najaf akan tetap menjadi empat yang harus diikuti--muqirran
littaqlid--kecuali para ulama di sana meninggalkan kota bertuah
itu.
Seorang marja'ut laqlid menempati kehormatan khusus. Jika ia
melewati sebuah gang atau jalan untuk ke masjid atau mengajar,
serta merta beberapa orang tua muda berhenti menunggu beliau
lewat. Dan mereka akan beranjak pergi hanya setelah puas mencium
tangan sang ulama. "Mereka sokoguru kota ini, dan menjadi
pelarian semua persoalan umat," tulis Al-Faishal. Suasana yang
mirip dengan ini kita jumpai di lingkungan besar muslimin
Indonesia yang berada dalam pengaruh pesantren.
Sejarah pemukiman di Najaf diawali oleh kalangan Alawi sendiri.
Tempat ini menjadi tempat peribadatan, tempat i'tikaf (merenung,
dalam rangka ibadat), hingga tempat pelarian semasa meruncingnya
permusuhan antara keturunan Ali dan Mu'awiyyah, penegak dinasti
sekular Umaiyah itu.
Masa itu Najaf sebenarnya belum begitu layak dihuni. Tak ada
tandatanda bisa berkembang. Rumah-rumah hanya terbuat dari
lempung. Dan terpencil. Pertentangan politik yang makin
meruncing dahulu mengakhiri kedudukan Kufah sebagai ibukota
khilafat (kekhalifahan), dan menggantinya dengan Baghdad. Najaf
kecipratan berkembang justru melalui para pelarian yang
mengagungkan makam tersembunyi di situ itu.
Tak heran bila kaum Alawi, keturunan Ali, sangat dihormati di
sini. Malah rata-rata di Irak seluruhnya.
(Saddam Husain sendiri, yang Sunni, seperti juga musuhnya,
Ayatullah Khomeini yang Syi'ah, adalah Alawi). Kota Najaf yang
asri iu tampak seperti perkampungan orang-orang cerdik.
Kecenderungan sejak kecil hingga tua untuk mencari ilmu dengan
bergdirah sekali, mungkin di Najaf itu contohnya. Dan di sini
kaum Alawi banyak berperan. Mereka disebut assadah, jamak dari
sayyid.
ANTARA mereka mudah saja dikenali lewat surban mereka. Seorang
ulama yang Alawi akan mengenakan sirral, Inld,n. Pakaian ini
bersandarkan pada kesaksian Abi Mihnaf yang dikisahkan Zain bin
Suhan, yang menerangkan bahwa Ali sering mengenakan surban
hitam.
Orang awam yang bukan ulama hanya mengenakan surban hijau.
Mula-mula ini didasarkan pada keteladan an Imam Ali Ridlo. Cucu
Imam Ja'far Shadiq itu dulu dikalungi surban hijau oleh saudara
iparnya, Khalifah Ma'mun bin Harun Ar-Rasyid. Ketika Ali Reza
mangkat di Thus, serta-merta kalangan Alawi menggantikan surban
mereka yang hijau itu dengan surban hitam sebagai tanda
berkabung. Surban hijau ditinggalkan. Lantas orang awam yang
pakai.
Adalah Syarif Ridlo, juga Alawi, yang memulai membudayakan
surban hitam sebagai tanda perkabungan panjang yang kembali
dikaitkan dengan derita Karbala. Thalib Ali Asysyarqi, dalam
bukunya Annajaful Ashra Adatuha Wataqaliduha (Najaf yang Mulia,
Adatnya dan Kebiasaannya), mengemukakan bahwa kalangan Alawi
sangat banyak mempengaruhi kehidupan kota itu, dan itu tak
mengherankan.
Kalangan ulama yang bukan Alawi mengenakan surban putih Surban
ini sangat disukai Nabi. Mereka, disebut Malaiyyah, juga getol
memelihara janggut serta jambang yang lebat. Semuanya meniru
Nabi.
Ternyata tak mudah mengenakan surban. Bukan sembarang orang,
tulis Thalib Ali Asysyarqi. Seorang mengenakan surban hanya
kalau ia merasakan dirinya tergolong berpendidikan. Mereka yang
tak berpendidikan cukup mengenakan songkok putih. Atau juga
surban, tapi digelar secara tak rapi alias santai saja di
kepala. Ini berbeda dengan di Saudi dan berbagai negara lain,
yang minimal tak dikenai pengaruh Syi'ah. Pada pemakaian surban
di kalangan Syi'ah diadakan upacara yang cukup meriah di rumah
keluarga.
Imam Abu Hanifah, dari kalangan fiqh Sunni, pernah bicara
tentang hal yang nonagamis. Katanya: "Bukan orang Arab jika tak
mengenakan surban dan tak berkalung pedang." Ibarat orang Jawa,
dahulu, jika tak berblangkon dan menyelipkan keris. Dan memang
itulah ciri mereka, meski dicatat oleh Thalib bahwa surban Najaf
ini sebenarnya banyak dipengaruhi gaya surban India.
Tingkatan masyarakat di Najaf rupanya juga ditentukan oleh jenis
pici. Al Kasyidah, mereka menyebutnya-kata yang berasal dari
bahasa Iran (band jngan dengan qashidah: narasi syair dengan
lagu). Kasyidah adalah terbus yang dililit kain di bawahnya.
Jika tingkatan sosial seseorang cukup tinggi, misalnya ia ketua
RT, ia akan mengenakan lilitan yang agak besar.
Pengaruh ini menurut Humud AsSa'idi didapat dari Wina (Austria)
atau Fez, Maroko.
Humud- berkisah tentang tutup kepala orang-orang Arab ini. "Baju
yang dikenakan komandan pasukan Turki adalah surban putih. Tapi
di masa Khalifah Usmani, Mahmud ll, surban putih itu digantikan
terbus merah.
Perintah itu digaungkan juga di beberapa daerah dalam kekuasaan
Usmaniyah. Di Irak sendiri pemakaian terbus yang atas desakan
dan perintah Khalifah ini tiba di tahun 1258 H (1842 M)."
Baju wanita, seperti yang banyak dijumpai di Najaf, adalah baju
tertutup dengan warnahitam. Warna ini khusus untuk wanita
Syi'ah. Sedangkan yang Sunni mengenakan baju bercadar biasa
dengan warna-warni yang disukai.
Perubahan zaman yang juga melingkari Najaf dicatat juga oleh
Ad-Dujaili sebagai sesuatu yang sulit dielakkan. Misalnya
kecenderungan anak muda kini untuk menanggalkan surban dan
beralih pada baju a la Eropa. Tidak aneh, memang, meski hubungan
formal dengan sekitar dengan sendirinya juga berubah. Hanya,
semangat keagamaan kalangan muda di sini masih tetap dibilang
tinggi.
Najaf walau telah merubuhkan bentengnya, akhirnya menjadi dua.
Najaf lama, pertama. Inilah daerah yang lebih sempit, dengan
gang-gang kecil. Tapi justru di sini, konon, penduduk dikenal
pemurah. Setidaknya, di rumah pasti dibuat kamar dan ruang tamu
lengkap dengan kamar mandinya sendiri. Itu disebut barrani,
paviliun.
Lalu ada dakhlani: rumah induk, yang biasanya terdiri dari dua
kamar dan ruang keluarga. Kemudian ada sirdab, ruang bawah
tanah, biasa digunakan untuk tidur siang pada musim panas.
Maklum lembab Di musim dingin digunakan untuk menyimpan barang.
Ada juga tempat penyimpanan air.
Kota Lama ini hampir diapit dari timur, barat dan selatan oleh
Kota Najaf Baru yang lebih modern. Bentuknya masa kini. Ada
kebun untuk rekreasi, jalan yang lebar serta pasar yang
mentereng dengan gaya bangunan yang diperciki petrodolar.
PEMISAHAN itu, meski hanya sekedar sebutan, plus corak budaya
yang agak berbeda, membuat Najaf Lama makin khas. Merekalah kini
yang dikenal dengan Najafi, 'orang Najaf', yang dianggap
memiliki "kultur suci". Berbeda dengan penduduk Najaf Baru yang
motif hidupnya tidak lagi melulu rohani.
"Inilah nasib sebuah kota yang telah mewarisi apa yang dulu
didapatkan di Kufah sebagai sumber ilmu, agama dan seni," kata
Al-Faishal. "Di sini pula tempat kebudayaan itu mempertahankan
diri untuk tidak habis ditelan zaman sejak 1.000 tahun lalu."
Mungkin agak berlebih-lebihan. Tapi di tahun 1920, penduduk
Najaf bersama yang lain-lain bangkit dalam jihad melawan
penjajah Inggris. Dan mengembalikan Baghdad setelah tenggelam
dalam kekuasaan asing sejak tujuh abad silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini