Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di bawah jubah saidina ali

Perkembangan kota najaf, pusat ilmu pengetahuan agama, pusat syi'ah di luar iran, juga tempat menyimpan jenazah ali bin abi thalib. khomeini pernah tinggal di sini selama masa pembuangan. (sel)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kota tua, bagai bintik dalam sejarah. Tidak seorang agaknya, di zaman ini, yang mengingat Najaf--atau bahkan sekedar tahu di mana terletak. Sampai ketika nama Ayatullah Rohullah Khomeini menyeruak ke permukaan untuk pertama kali, dan menyeret nama Najaf sebagai kota tempat ia tinggal selama masa pembuangan, sebelum pindah ke Prancis tempo hari. Padahal Najaf adalah "pusat" Syi'ah di luar Iran Bahkan rasanya tidak ada sebuah kota di Iran sendiri yang lebih mengesankan dalam sejarah Syi'ah dibanding di luar negeri itu--di Irak. Memang, Iran punya Qom (Qumm), "pusat kendali spiritual" Syi'ah di sana dan kedudukan beberapa pesantren para ayatullah besar. Atau Masyhad (Meshed), tempat berkuburnya salah satu dari 12 imam Syi'ah, 'Ali Ar-Ridho (Ali Reza), dan sekaligus khalifah Abbasiah yang legendaris, Sultan Harun Ar-Rasyid. Tapi Irak punya Karbala. Ini adalah "pusat derita dan dendam kesejarahan" Syi'ah. Di sini Husain bin 'Ali, cucu Nabi, diperdayakan musuhnya, Yazid bin Mu'awiah, dan dibantai dengan biadab. Maka sebagai lambang kesucian dan tumpuan rasa kasih-sayang, Husain misalnya dipuja dengarr berbagai masjid indah yang didirikan dengan namanya-- di Karbala, Kairo, Tunis, di banyak negeri. Kota kedua adalah Kufah. Di sini Ali sendiri, saudara sepupu dan menantu Nabi, serta ayah Hasan dan Husain, dibunuh seorang bekas pengikutnya. Dan ketiga, tak berapa jauh dari situ, Najaf. Najaf adalah kota yang bagai tak pernah tidur Di siang dan malam selalu bergema kalam Tuhan Wanita-wanita berkerudung hitam, dan wanita dengan rok Barat, membaur dalam pusat keramaian Masjid-masjid lama, kini, sudah diimbangi gedung-gedung megah milik pemerintah dan swasta Tapi bau agama sangat terasa. Mengenang Najaf juga tak akan lepas dari kebanggaan kota itu dalam hal perguruan tingginya yang telah berusia 1.000 tahun, dan perpustakaannya yang penuh buku tua. Tapi yang paling menjadikannya terkenal hingga saat ini tentunya karena kota yang luasnya 1.336 km2 ini menyimpan jenasah Ali bin Abi Thalib - meskipun di kalangan Syi'ah sendiri berkembang legenda yang menyatakan Ali tak dikuburkan di bumi. Kepercayaan seperti itu ada-juga masuk ke Indonesia. Berasal dari, konon, pertengkaran antara bumi dan Ali, dalam satu peristiwa kecil, yang kemudian berkembang menjadi sengketa saling kutuk Ali akhirnya bersumpah tidak mau dikuburkan di bumi. Nah. Ketika Ali mangkat dibunuh sang teroris (di bulan puasa tahun 40 H, pada usianya yang ke-63, ketika ia keluar rumah untuk salat subuh), jenasahnya diangkut dengan unta dan diiringi Hasan dan Husain, beberapa kerabat dan pengikut. Jenasah itu dimakamkan di arah barat Kufah--di Najaf sekarang. Dalam legenda disebutkan, Ali kemulian dinaikkan ke kuda, dan "lenyap ke angkasa". Syi'ah memang penuh legenda. Itulah sebabnya makam Ali sebenarnya tak diketahui orang. Konon atas wasiatnyalah tetap dirahasiakan. Hanya ada ancer-ancer "antara tiga rmbunan", yang kini banyak dikunjungi Maka Kota Najaf bagai dilahirkan oleh para peziarah. Sampai kemudian datang Sultan Harun Ar-Rasyid, yang mulai membangunnya dengan pesat di tahun 170 H, 120 tahun setelah wafat Ali. Harun Ar-Rasyid dari Dinasti Abbasiah, yang menisbatkan diri pada Abbas bin Abdil Muththalib, paman Nabi. Jadi termasuk keluarga Muhammad s.a.w., meski bukan anak-turun. Dan meski Dinasti Abbasiah dahulu ditegakkan dengan memperalat--dan mengorbankan--banyak tokoh Syi'ah dalam melawan Dinasti Umaiyah Ar-Rasyid tergolong dekat dengan Syi ah. Ar-Rasyid pula yang mengambil menantu Imam Syi'ah 'Ali Ar-Ridh. Maka Najaf pun berkembang pesat - mcnjadi kota nomor empat di Irak sekarang, setelah Baghdad, Maushul (Mosul) dan Bashrah. "Dan tumbuhlah pasar budaya. Anda bagai tak mampu lepas dari padanya. Tak ada waktu yang akan tersisa dari membicarakan ilmu." Demikian ditulis wartawan Hasan Ad-Dujaili dalam majalah Al-Falshal, Riyadh, Oktober 1982. Ia sedang mengutip laporan seorang sejarawan kuno yang melukiskan satu masa pertumbuhan keilmuan di sana. ADA tiga periode dalam sejarah Najaf: perkembangan, keruntuhan, kebangkitan. Periode pertama sempat disaksikan Ibnu Bathuthal) (1304-1368 M) dalam pengelanaannya yang terkenal itu. Katanya: "Kemudian saya lanjutkan perjalanan dan menuju makam Ali bin Abi Thalib di Najaf. Ini sebuah kota yang elok. Tanahnya yang luas menjadikannya salah satu kota Irak terbaik. Bangunannya megah, dan banyak penduduknya. Memiliki sebuah pasar yang bagus dan bersih. Saya memasukinya dari pintu depan, berhadapan dengan kios penjual makanan, roti dan buah-buahan. Lalu masuk kios sayur-mayur, kios para penjahit dan pakaian jadi, lalu pusat kios minyak wangi. Kemudian saya kembali ke pintu depan." Waktu itu Najaf memiliki penduduk 6.000 orang, 1.700 di antaranya para Alawi--keturunan Muhammad s.a.w. Iewat Ali bin Abi Thalib. Pada abad VII dan VIII Hijri (XIII dan XIV Masehi), penduduk makin meningkat. Tempat-tempat pencarian ilmu makin banyak. Perkembangan periode awal ini dimulai oleh Buwaihi pada tahun 338 H, terus hingga abad IX Hijri. Dan maju pesat berkat bantuan penguasa Turki saat itu. Keruntuhan Najaf dimulai pada abad IX itu pula. Demikian ditulis Ja'far Ali Mahbubah, dalam bukunya Madlin Najaf wa Hadiriha (masa lalu Najaf & masa depannya). Lalu makin menukik hingga pertengahan abad XIII H alias abad XIX-XX M. Najaf sudah kehilangan kegairahan ilmiah. Pembangunan macet akibat perang antara Dinasti Safawi (Safavid) yang berkuasa di Iran (dan inilah dinasti yang men-Syi'ah-kan seluruh Iran) dan Usmaniyah, musuhnya bebuyutan. Ditandai dengan terbunuhnya banyak penduduk, serta menciutnya, jumlah peziarah ke Najaf. Bahkan peristiwa ini juga sempat mengganggu perjalanan haji lewat darat. Seorang turis asing, tidak disebut namanya oleh Ad-Dujaili, menulis dentang kunjungannya ke Najaf pada 18 September 1604 atau 23 Rabiul Akhir 1013: "Saya memasuki Najaf yang penduduknya sekitar enam sampai sembilan ribu orang. Di antara bangunan yang megah-megah itu, terdapat sekitar 500 rumah. Mereka miskin, dan mengakui keruntuhannya akibat wafatnya Thoh masib Ahmad tahun 984 H bertepatan dengan 1576 M. Seorang raja Iran yang sangat banyak berjasa dengan bantuan-bantuannya. Pasar-pasarnya tak beda dengan pasar yang lain. Tampak masa lalunya yang megah . . . " Seratus lima puluh tahun kemudian, 1765 M atau 1179 H, datang seorang pengelana Jerman, Neybour namanya. Ia menulis: "Tidak mudah menjumpai air di sini.Air untuk masak dan mencuci didapatkan dari selokan. Hanya untuk minum mereka menunggu penjual yang menjajakan dengan keledai, atau mengambilnya sendiri, dan itu bisa menelan waktu tiga jam perjalanan. Kotanya dilingkari sebuah benteng dengan bangunan yang menyerupai bangunan di Jerussalem Baru." Najaf juga terjerembab ke dalam nasib buruk yang menimpa Irak keseluruhan ketika Raja Mongol menyerang Irak. Terjadi kemudian masa hitam, setelah pembakaran, pembantaian penduduk dan pemusnahan isi perpustakaan Baghdad yang waktu itu paling maju di dunia, yang bahkan harus dikatakan tak pernah bisa dikembalikan setelah berkuasanya kembali raja-raja Islam di situ. Hanya, Najaf memang lebih banyak berhubungan dengan orang-orang Syi'ah dan penguasa negeri mayoritas Syi'ah seperti Iran, dan malah India. PERIODE kebangunan berawal dari abad XIII Hijri. Akibat hubungan baik antara Daulah Usmaniyah (Imperium Ottoman yangberpusat di Turki) dan Iran, Najaf berkembang lagi sebelum Perang Dunia I. Dan tahun 1924 berdiri pemerintahan kerajaan di Irak. Najaf pun bernaung di bawahnya. Hanya saja, kedudukan Najaf yang terletak di gurun pasir dan 35 meter dari permukaan air Efrat itu, menjadikannya sebuah kota yang sebenarnya tidak terlalu baik dalam hal air. Karena itulah situasi air minum yang mencukupi di sini dilakukan dengan menggali sumber-sumber air--yang selain olelt para penguasa sendiri juga oleh raja-raja Iran dan India. Iran terhitung pula sebagai yang paling banyak menyumbang untuk kepentingan agama di sana, dan ini bisa dimengerti. Malah juga dalam pembuatan benteng yang melingkari kota itu untuk menghindari serangan luar pada tahun 1039, saat Raja Nadir Syah berkuasa di Teheran. Tahun 1232 seorang raja dari Dinasti Qajar menyempurnakan benteng itu dengan bilik pengintai di menara tinggi. Parit pun digali. Sampai kemudian penjajah Inggris menaklukkannya pada 1920. Pada 1930, penguasa Irak mencoba memperluas Najaf. Dan ini tentu dengan mengorbankan benteng kukuh yang hanya punya empat pintu itu. Benteng dihancurkan di tahun 1939, dan penghuni lama dan baru, yang selama itu bagai terpisah, berbaur. Penduduk pun makin mencuat naik. Tahun 1935 sudah mencapai 46.000 orang. Sebagai pusat ilmu pengetahuan agama, dipenuhinya kota ini dengan masjid di segala gang maupun jalan besar merupakan hal lumrah. Ada 80 masjid besar kecil di pusat kota saja. Di antara yang terbesar adalah Masjid Ali bin Abi Thalib, di balik makamnya yang misterius. Sebuah kubah besar dan dua menara yang tingginya 35 meter, berdiri tegak menyaksikan kota dalam gelombang pasang surutnya sejak dulu. Masjid itu panjangnya 77 meter, lebar 72 meter, tinggi dindingnya 17 meter. Dihiasi mosaik lingkup kaligrafi ayat suci Al Quran yang memadati seluruh dua lantainya. Ada 100 ruangan untuk belajar. Ada lima pintu, dan sebuah jam terpancang menghadap ke empat penjuru dengan lonceng yang terdengar sampai sudut kota. Di masjid ini bermula pusat pengembangan keilmuan Syi'ah. Ulama bersurban hitam dan putih memadati acara pengajian rutin yang diselenggarakan para ulama yang lebih besar. Juga orang-orang muda. Jasa para dermawan, terutama dari kalangan Syi'ah, juga membuahkan puluhan sekolah. Penjualan kitab-kitab besar sejak dulu merupakan ciri khas kota ini, bagai Baghdad dan Kairo pada masa jayanya. Kamis dan Jumat merupakan hari-hari pasaran kitab yang paling kentara, ketika sekolah-sekolah libur dan peziarah berdatangan sambil memanfaatkan waktu untuk belajar. Ada seorang raja Syi'ah dari Dinasti Buwaihi, yang dituturkan pada 371 H atau 981 M tak puas-puas membagibagikan uan,, yang melimpah kepada penduduk yang hampir seperlimanya orang Alawi. Tak lain karena ia menghormati kota itu. Lalu dari kota ini muncul Abu Jarfar Muhammad bin Hasan Atthusi di tahun 449 H (1059 M), seorang sarjana besar agama yang hingga kini tak tertara di Najaf. SUDAH tentu ada pendidikan non-agama di sini, juga yang memakai sistem Barat. Tapi dalam hal ilmu agama ada lembaga yang disebut Hauzah 'Ilmiyah (Lingkungan Keilmuan). Ini merupakan badan pengembang ilmu yang besar dalam jajaran Syi'ah. Hauah memilih seorang Marja'A'la (Referensi utama) dari kalangan ulama terkemuka, dan para anggota lingkaran itu sendiri dihidupi oleh ketentuan Syi'ah: khumus, yakni seperlima dari penghasilan para umat yang harus mereka serhkan kepada agama. Para imam atau mujtahid (pemikir hukum) yang biasanya dianggap marju' memiliki wakil-wakil pula di berbagai daerah seantero Irak, untuk menjadi penghubung dalam kehidupan taqlid mereka. Taqlid adalah prinsip utama kehidupan keagamaan umat Syi'ah: mengikut, tanpa bertanya. Fatwa-fatwa baru hanya disampaikan oleh para wakil ini, kepada umat sebagai muqallid (pengikut). Memang, struktur hiral-kis keagamlan Syi'ah mirip-mirip Gereja Katolik. Keputusan Marja' A'la tak bisa diganggu-gugat. Apa yang diupayakan para marja' yang piawai dan salih itu tak boleh diurut lagi apa alasannya. Dan pengaruh ajaran ulama sebagai para maraji'ut taqlid itu membuahkan bekas mendalam di kalangan pengikut,'pengaruh keagamaan dan politik," tulis Ad-Dujaili. Dan dengan dcmikian Najaf akan tetap menjadi empat yang harus diikuti--muqirran littaqlid--kecuali para ulama di sana meninggalkan kota bertuah itu. Seorang marja'ut laqlid menempati kehormatan khusus. Jika ia melewati sebuah gang atau jalan untuk ke masjid atau mengajar, serta merta beberapa orang tua muda berhenti menunggu beliau lewat. Dan mereka akan beranjak pergi hanya setelah puas mencium tangan sang ulama. "Mereka sokoguru kota ini, dan menjadi pelarian semua persoalan umat," tulis Al-Faishal. Suasana yang mirip dengan ini kita jumpai di lingkungan besar muslimin Indonesia yang berada dalam pengaruh pesantren. Sejarah pemukiman di Najaf diawali oleh kalangan Alawi sendiri. Tempat ini menjadi tempat peribadatan, tempat i'tikaf (merenung, dalam rangka ibadat), hingga tempat pelarian semasa meruncingnya permusuhan antara keturunan Ali dan Mu'awiyyah, penegak dinasti sekular Umaiyah itu. Masa itu Najaf sebenarnya belum begitu layak dihuni. Tak ada tandatanda bisa berkembang. Rumah-rumah hanya terbuat dari lempung. Dan terpencil. Pertentangan politik yang makin meruncing dahulu mengakhiri kedudukan Kufah sebagai ibukota khilafat (kekhalifahan), dan menggantinya dengan Baghdad. Najaf kecipratan berkembang justru melalui para pelarian yang mengagungkan makam tersembunyi di situ itu. Tak heran bila kaum Alawi, keturunan Ali, sangat dihormati di sini. Malah rata-rata di Irak seluruhnya. (Saddam Husain sendiri, yang Sunni, seperti juga musuhnya, Ayatullah Khomeini yang Syi'ah, adalah Alawi). Kota Najaf yang asri iu tampak seperti perkampungan orang-orang cerdik. Kecenderungan sejak kecil hingga tua untuk mencari ilmu dengan bergdirah sekali, mungkin di Najaf itu contohnya. Dan di sini kaum Alawi banyak berperan. Mereka disebut assadah, jamak dari sayyid. ANTARA mereka mudah saja dikenali lewat surban mereka. Seorang ulama yang Alawi akan mengenakan sirral, Inld,n. Pakaian ini bersandarkan pada kesaksian Abi Mihnaf yang dikisahkan Zain bin Suhan, yang menerangkan bahwa Ali sering mengenakan surban hitam. Orang awam yang bukan ulama hanya mengenakan surban hijau. Mula-mula ini didasarkan pada keteladan an Imam Ali Ridlo. Cucu Imam Ja'far Shadiq itu dulu dikalungi surban hijau oleh saudara iparnya, Khalifah Ma'mun bin Harun Ar-Rasyid. Ketika Ali Reza mangkat di Thus, serta-merta kalangan Alawi menggantikan surban mereka yang hijau itu dengan surban hitam sebagai tanda berkabung. Surban hijau ditinggalkan. Lantas orang awam yang pakai. Adalah Syarif Ridlo, juga Alawi, yang memulai membudayakan surban hitam sebagai tanda perkabungan panjang yang kembali dikaitkan dengan derita Karbala. Thalib Ali Asysyarqi, dalam bukunya Annajaful Ashra Adatuha Wataqaliduha (Najaf yang Mulia, Adatnya dan Kebiasaannya), mengemukakan bahwa kalangan Alawi sangat banyak mempengaruhi kehidupan kota itu, dan itu tak mengherankan. Kalangan ulama yang bukan Alawi mengenakan surban putih Surban ini sangat disukai Nabi. Mereka, disebut Malaiyyah, juga getol memelihara janggut serta jambang yang lebat. Semuanya meniru Nabi. Ternyata tak mudah mengenakan surban. Bukan sembarang orang, tulis Thalib Ali Asysyarqi. Seorang mengenakan surban hanya kalau ia merasakan dirinya tergolong berpendidikan. Mereka yang tak berpendidikan cukup mengenakan songkok putih. Atau juga surban, tapi digelar secara tak rapi alias santai saja di kepala. Ini berbeda dengan di Saudi dan berbagai negara lain, yang minimal tak dikenai pengaruh Syi'ah. Pada pemakaian surban di kalangan Syi'ah diadakan upacara yang cukup meriah di rumah keluarga. Imam Abu Hanifah, dari kalangan fiqh Sunni, pernah bicara tentang hal yang nonagamis. Katanya: "Bukan orang Arab jika tak mengenakan surban dan tak berkalung pedang." Ibarat orang Jawa, dahulu, jika tak berblangkon dan menyelipkan keris. Dan memang itulah ciri mereka, meski dicatat oleh Thalib bahwa surban Najaf ini sebenarnya banyak dipengaruhi gaya surban India. Tingkatan masyarakat di Najaf rupanya juga ditentukan oleh jenis pici. Al Kasyidah, mereka menyebutnya-kata yang berasal dari bahasa Iran (band jngan dengan qashidah: narasi syair dengan lagu). Kasyidah adalah terbus yang dililit kain di bawahnya. Jika tingkatan sosial seseorang cukup tinggi, misalnya ia ketua RT, ia akan mengenakan lilitan yang agak besar. Pengaruh ini menurut Humud AsSa'idi didapat dari Wina (Austria) atau Fez, Maroko. Humud- berkisah tentang tutup kepala orang-orang Arab ini. "Baju yang dikenakan komandan pasukan Turki adalah surban putih. Tapi di masa Khalifah Usmani, Mahmud ll, surban putih itu digantikan terbus merah. Perintah itu digaungkan juga di beberapa daerah dalam kekuasaan Usmaniyah. Di Irak sendiri pemakaian terbus yang atas desakan dan perintah Khalifah ini tiba di tahun 1258 H (1842 M)." Baju wanita, seperti yang banyak dijumpai di Najaf, adalah baju tertutup dengan warnahitam. Warna ini khusus untuk wanita Syi'ah. Sedangkan yang Sunni mengenakan baju bercadar biasa dengan warna-warni yang disukai. Perubahan zaman yang juga melingkari Najaf dicatat juga oleh Ad-Dujaili sebagai sesuatu yang sulit dielakkan. Misalnya kecenderungan anak muda kini untuk menanggalkan surban dan beralih pada baju a la Eropa. Tidak aneh, memang, meski hubungan formal dengan sekitar dengan sendirinya juga berubah. Hanya, semangat keagamaan kalangan muda di sini masih tetap dibilang tinggi. Najaf walau telah merubuhkan bentengnya, akhirnya menjadi dua. Najaf lama, pertama. Inilah daerah yang lebih sempit, dengan gang-gang kecil. Tapi justru di sini, konon, penduduk dikenal pemurah. Setidaknya, di rumah pasti dibuat kamar dan ruang tamu lengkap dengan kamar mandinya sendiri. Itu disebut barrani, paviliun. Lalu ada dakhlani: rumah induk, yang biasanya terdiri dari dua kamar dan ruang keluarga. Kemudian ada sirdab, ruang bawah tanah, biasa digunakan untuk tidur siang pada musim panas. Maklum lembab Di musim dingin digunakan untuk menyimpan barang. Ada juga tempat penyimpanan air. Kota Lama ini hampir diapit dari timur, barat dan selatan oleh Kota Najaf Baru yang lebih modern. Bentuknya masa kini. Ada kebun untuk rekreasi, jalan yang lebar serta pasar yang mentereng dengan gaya bangunan yang diperciki petrodolar. PEMISAHAN itu, meski hanya sekedar sebutan, plus corak budaya yang agak berbeda, membuat Najaf Lama makin khas. Merekalah kini yang dikenal dengan Najafi, 'orang Najaf', yang dianggap memiliki "kultur suci". Berbeda dengan penduduk Najaf Baru yang motif hidupnya tidak lagi melulu rohani. "Inilah nasib sebuah kota yang telah mewarisi apa yang dulu didapatkan di Kufah sebagai sumber ilmu, agama dan seni," kata Al-Faishal. "Di sini pula tempat kebudayaan itu mempertahankan diri untuk tidak habis ditelan zaman sejak 1.000 tahun lalu." Mungkin agak berlebih-lebihan. Tapi di tahun 1920, penduduk Najaf bersama yang lain-lain bangkit dalam jihad melawan penjajah Inggris. Dan mengembalikan Baghdad setelah tenggelam dalam kekuasaan asing sejak tujuh abad silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus