LAGU-lagu pop Barat yang belakangan menyerbu daratan Cina,
rupa-rupanya cukup merepotkan penguasa setempat. Bukan apa-apa.
Tapi karena) ternyata, lagu-lagu tersebut mendapat sambutan
hangat kaum muda. Lalu kesimpulan pun diambil: tidak boleh tidak
ada sesuatu yang salah dengan ideologi generasi baru ini.
Badan Penerbitan Musik Rakyat jelas turut kerepotan. Sebuah buku
petunjuk lantas diterbitkan. Judulnya: Bagaimana Membedakan
Lagu-lagu Dekaden. Mirip-mirip serial buku petunjuk model Dale
Carnegie, memang.
Sekarang, remaja Cina tak perlu lagi bertanyatanya. Apakah
sebuah beat asing cukup memikat mereka, membuat kaki bergoyang
dan jemari mengetuk-ngetuk, ataukah tidak, yang terang mereka
diperingatkan untuk tidak tenggelam di tengah kehidupan borjuis.
Harus pandai-pandai menahan diri.
Buklet warna lembayung muda itu mencoba membeberkan bahaya
"irama kesurupan, nada yang kasar, dan ucapan-ucapan yang tak
jelas, seenaknya dan seperti igauan orang mabuk", dari musik pop
impor yang dianggap ganjil itu. Terbit Juli lalu, buku itu
merupakan perluasan perang propaganda terhadap kecenderungan ke
Barat para pemuda Cina. Sasaran utamanya: semua penerbitan, film
dan musik asing yang disebut huangse. Kata ini secara harfiah
berarti kuning, dan yang dimaksudkan adalah dekaden, porno atau
cabul.
Musim semi yang lalu pemerintah Cina secara resmi melarang
videotope, berikut rekaman dan kasetnya, seperti ditulis
Christopher S. Wren dalam Internotionol Herold Tribune. Tentu
saja yang isinya dianggap dekaden dan tak senonoh. Larangan
diiringi janji segera diadakannya penilaian terhadap impor
komoditi seni di masa datang.
Dilaporkan oleh penulis yang sama, awal tahun ini kepolisian
Kuantung (Guangdong) menggerebek sejumlah misbar, bioskop
rakyat, yang dibangun kaum tani setempat untuk mempertunjukkan
videotope yang diselundupkan melalui Hongkong. Maka video
recorder kini harus didaftarkan kepada para pejabat setempat.
Dan para pejabat bea cukai di Shenzhen, kawasan ekonomi khusus
yang berbatasan dengan Hongkong, dilaporkan menyita sekitar 24
ribu publikasi porno sejak Januari lalu.
Barang-barang selundupan lainnya bisa berupa, misalnya, musik
rock. Dalam kata-kata Wren, ini menunjukkan "ada hal-hal yang
lebih menarik dilakukan ketimbang membangun komunisme."
Pengeluaran untuk pengembangan musik Cina sendiri dahulu
meningkat sejak Revolusi Kebudayaan. Saat itu hit porode hanya
terbatas pada lagu-lagu 'Kelompok Medis di Tanzania' dan "Para
Pengumpul Pupuk Kandang Menuruni Pegunungan'. Belakangan, musik
klasik Barat kembali diizinkan.
Tapi penurunan jenis musik Barat lainnya dewasa ini terjadi.
Yaitu setelah tahun-tahun sibuk bagi toko-toko buku yang
melayani penjualan lagu-lagu dari Hongkong dan Taiwan--yang
dibajak dari lagu-lagu Barat yang sedang menjadi hit.
Kunjungan penulis ke sebuah toko di Jalan Wangfujing, hanya
sempat menemukan lagu-lagu Puff, the Magic Drogon dan Que Sero
Sera. Itu pun di dalam kaset pelajaran bahasa Inggris. Ada pula
rekaman kobuki, drama rakyat Jepang, dan dua kaset lagu rakyat
Yugoslavia.
Bagaimana musik dalam negeri sendiri? Yang dulu-dulu juga:
petikan dari opera revolusioner Detosemen Wonito Meroh,
misalnya, kini kembali gencar dipasarkan. Pop? Ada: nyanyian Su
Xiao-ming, soprano sebuah grup kesenian Angkatan Laut Cina.
Sejumlah anak muda Cina -- dari jenis yang suka memakai jin
bell-bottom dan kacamata dengan label asing yang masih
dibiarkan menempel-mencandui musik rock Barat. Namun sebagian
besar mereka sebenarnya masih merasa asing, malah mungkin merasa
sumbang. Hitung-hitung, umumnya mereka lebih menyenangi suara
lembut seperti dari John Denver, the Carpenters, serta Peter,
Paul dan Mary. Atau lagu-lagu sebangsa Red River Volley, Jingle
Bells dan Do Re Mi dari Sound of Music.
Toh lagu-lagu itu ternyata masih sempat bikin puyeng orang
tua-tua. Seorang mahasiswa menceritakan, ketika adiknya
memintanya meminjam beberapa top lagu-lagu Peter, Paul dan Mary
kepada seorang temannya, ayah sang teman menolak. Kata si tua:
"Hati-hati dengan semua love, love, love Belajar lebih penting!"
Para penguasa lebih dibikin khawatir lagi oleh ballada-ballada
sentimental yang masuk dari Taiwan dan Hongkong. Biduanita
ternama Hongkong Teresa Teng, yang di Daratan terkenal sebagai
Deng Lijun, masuk daftar hitam dan kasetnya dilarang beredar
--"kendati suaranya yang garing itu sulit dikatakan subversif,"
komentar Wren.
Pengganyangan musik 'kuning' mencapai puncak dengan ditutupnya
sebuah disko untuk orang asing di Beijing, diikuti sebuah klub
jazz di Hotel Perdamaian, Shanghai. Musim panas lalu polisi
menggerebek sejumlah pesta disko pribadi yang diselenggarakan
anak-anak pejabat pemerintah.
Dan Oktober kemarin, seorang tukang roti dikurung 15 hari dan
tope recorder-nya disita. Perangkat pita menyanyi itu digunakan
dalam pesta dansa yang berlangsung di rumahnya--dan disertai
pungutan bayaran, sekitar 25 sen dollar AS. Tak jelas, per
kepala atau per pasangan.
Tapi gerebekan di pesta dansa pada sebuah sekolah menengah
belakangan menimbulkan protes sebuah surat kabar pemuda Cina.
Dua agen polisi bertindak menutup pesta dalam rangka merayakan
HUT Proklamasi RRC 1 Oktober. Guru yang memperbolehkan murid
laki-laki dan perempuan berdansa bersama, dipanggil dan
diperiksa. Sang guru dibebaskan setelah menulis "otokritik".
Surat kabar pemuda itu mengeluh, baiknya polisi jangan lancang
turut campur tangan. Karena "dansa membantu kesehatan mental
para murid, memperkaya kehidupan ekstra-kurikuler dan menunjang
rasa kebersamaan."
Nah, kini bagaimana sesungguhnya definisi musik Barat yang
dekaden itu? Redaktur buklet itu menurunkan sejumlah petunjuk.
Yaitu:
Jazz adalah "musik yang memaksa rakyat menerima apa yang tak
diharapkan, beat yang tidak normal." Lebih jauh, "irama jazz
bertentangan dengan kebutuhan manusia yang secara psikologis
normal."
Rock dari tahun-tahun 1950-an dalam pada itu dikatakan sebagai
"beot yang hiruk pikuk, nyanyian yang nyaris memekik-mekik
dengan melodi sederhana." Lagu-lagu rock 1960-an dinilai semakin
penuh dengan tetabuhan, dan "dengan kuatnya memprovokasikan
gangguan kejiwaan". Selanjutnya, "apa yang mereka limpahkan
adalah sejenis rangsangan untuk membikin bengong, kabur, kebas
rasa dan tak sadar diri."
Musik disko miskin melodi dan lirik, menurut mereka, dan
"memiliki beat yang cepat seperti genderang perang " Buku
petunjuk itu menjabarkan bahwa "dansa disko bergerak cepat,
diikuti lompatan-lompatan dan pusing-pusingan."
Walhasil, menurut Wren, secara garis besar musik pop bagi mereka
tidak bernilai artistik untuk dibicarakan. Tapi mengapa
disenangi? "Karena ia bertemu dengan kebutuhan negatif rakyat di
negeri-negeri kapitalis," kata buku petunjuk. "Juga bertemu
dengan kebutuhan kaum kapitalis untuk menciptakan uang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini