Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memerangi jingkrak borjuis

Pengganyangan musik pop barat di rrc. badan penerbitan musik rakyat, menerbitkan buklet yang merupakan perluasan perang propaganda terhadap kecenderungan ke barat para pemuda cina.(sel)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGU-lagu pop Barat yang belakangan menyerbu daratan Cina, rupa-rupanya cukup merepotkan penguasa setempat. Bukan apa-apa. Tapi karena) ternyata, lagu-lagu tersebut mendapat sambutan hangat kaum muda. Lalu kesimpulan pun diambil: tidak boleh tidak ada sesuatu yang salah dengan ideologi generasi baru ini. Badan Penerbitan Musik Rakyat jelas turut kerepotan. Sebuah buku petunjuk lantas diterbitkan. Judulnya: Bagaimana Membedakan Lagu-lagu Dekaden. Mirip-mirip serial buku petunjuk model Dale Carnegie, memang. Sekarang, remaja Cina tak perlu lagi bertanyatanya. Apakah sebuah beat asing cukup memikat mereka, membuat kaki bergoyang dan jemari mengetuk-ngetuk, ataukah tidak, yang terang mereka diperingatkan untuk tidak tenggelam di tengah kehidupan borjuis. Harus pandai-pandai menahan diri. Buklet warna lembayung muda itu mencoba membeberkan bahaya "irama kesurupan, nada yang kasar, dan ucapan-ucapan yang tak jelas, seenaknya dan seperti igauan orang mabuk", dari musik pop impor yang dianggap ganjil itu. Terbit Juli lalu, buku itu merupakan perluasan perang propaganda terhadap kecenderungan ke Barat para pemuda Cina. Sasaran utamanya: semua penerbitan, film dan musik asing yang disebut huangse. Kata ini secara harfiah berarti kuning, dan yang dimaksudkan adalah dekaden, porno atau cabul. Musim semi yang lalu pemerintah Cina secara resmi melarang videotope, berikut rekaman dan kasetnya, seperti ditulis Christopher S. Wren dalam Internotionol Herold Tribune. Tentu saja yang isinya dianggap dekaden dan tak senonoh. Larangan diiringi janji segera diadakannya penilaian terhadap impor komoditi seni di masa datang. Dilaporkan oleh penulis yang sama, awal tahun ini kepolisian Kuantung (Guangdong) menggerebek sejumlah misbar, bioskop rakyat, yang dibangun kaum tani setempat untuk mempertunjukkan videotope yang diselundupkan melalui Hongkong. Maka video recorder kini harus didaftarkan kepada para pejabat setempat. Dan para pejabat bea cukai di Shenzhen, kawasan ekonomi khusus yang berbatasan dengan Hongkong, dilaporkan menyita sekitar 24 ribu publikasi porno sejak Januari lalu. Barang-barang selundupan lainnya bisa berupa, misalnya, musik rock. Dalam kata-kata Wren, ini menunjukkan "ada hal-hal yang lebih menarik dilakukan ketimbang membangun komunisme." Pengeluaran untuk pengembangan musik Cina sendiri dahulu meningkat sejak Revolusi Kebudayaan. Saat itu hit porode hanya terbatas pada lagu-lagu 'Kelompok Medis di Tanzania' dan "Para Pengumpul Pupuk Kandang Menuruni Pegunungan'. Belakangan, musik klasik Barat kembali diizinkan. Tapi penurunan jenis musik Barat lainnya dewasa ini terjadi. Yaitu setelah tahun-tahun sibuk bagi toko-toko buku yang melayani penjualan lagu-lagu dari Hongkong dan Taiwan--yang dibajak dari lagu-lagu Barat yang sedang menjadi hit. Kunjungan penulis ke sebuah toko di Jalan Wangfujing, hanya sempat menemukan lagu-lagu Puff, the Magic Drogon dan Que Sero Sera. Itu pun di dalam kaset pelajaran bahasa Inggris. Ada pula rekaman kobuki, drama rakyat Jepang, dan dua kaset lagu rakyat Yugoslavia. Bagaimana musik dalam negeri sendiri? Yang dulu-dulu juga: petikan dari opera revolusioner Detosemen Wonito Meroh, misalnya, kini kembali gencar dipasarkan. Pop? Ada: nyanyian Su Xiao-ming, soprano sebuah grup kesenian Angkatan Laut Cina. Sejumlah anak muda Cina -- dari jenis yang suka memakai jin bell-bottom dan kacamata dengan label asing yang masih dibiarkan menempel-mencandui musik rock Barat. Namun sebagian besar mereka sebenarnya masih merasa asing, malah mungkin merasa sumbang. Hitung-hitung, umumnya mereka lebih menyenangi suara lembut seperti dari John Denver, the Carpenters, serta Peter, Paul dan Mary. Atau lagu-lagu sebangsa Red River Volley, Jingle Bells dan Do Re Mi dari Sound of Music. Toh lagu-lagu itu ternyata masih sempat bikin puyeng orang tua-tua. Seorang mahasiswa menceritakan, ketika adiknya memintanya meminjam beberapa top lagu-lagu Peter, Paul dan Mary kepada seorang temannya, ayah sang teman menolak. Kata si tua: "Hati-hati dengan semua love, love, love Belajar lebih penting!" Para penguasa lebih dibikin khawatir lagi oleh ballada-ballada sentimental yang masuk dari Taiwan dan Hongkong. Biduanita ternama Hongkong Teresa Teng, yang di Daratan terkenal sebagai Deng Lijun, masuk daftar hitam dan kasetnya dilarang beredar --"kendati suaranya yang garing itu sulit dikatakan subversif," komentar Wren. Pengganyangan musik 'kuning' mencapai puncak dengan ditutupnya sebuah disko untuk orang asing di Beijing, diikuti sebuah klub jazz di Hotel Perdamaian, Shanghai. Musim panas lalu polisi menggerebek sejumlah pesta disko pribadi yang diselenggarakan anak-anak pejabat pemerintah. Dan Oktober kemarin, seorang tukang roti dikurung 15 hari dan tope recorder-nya disita. Perangkat pita menyanyi itu digunakan dalam pesta dansa yang berlangsung di rumahnya--dan disertai pungutan bayaran, sekitar 25 sen dollar AS. Tak jelas, per kepala atau per pasangan. Tapi gerebekan di pesta dansa pada sebuah sekolah menengah belakangan menimbulkan protes sebuah surat kabar pemuda Cina. Dua agen polisi bertindak menutup pesta dalam rangka merayakan HUT Proklamasi RRC 1 Oktober. Guru yang memperbolehkan murid laki-laki dan perempuan berdansa bersama, dipanggil dan diperiksa. Sang guru dibebaskan setelah menulis "otokritik". Surat kabar pemuda itu mengeluh, baiknya polisi jangan lancang turut campur tangan. Karena "dansa membantu kesehatan mental para murid, memperkaya kehidupan ekstra-kurikuler dan menunjang rasa kebersamaan." Nah, kini bagaimana sesungguhnya definisi musik Barat yang dekaden itu? Redaktur buklet itu menurunkan sejumlah petunjuk. Yaitu: Jazz adalah "musik yang memaksa rakyat menerima apa yang tak diharapkan, beat yang tidak normal." Lebih jauh, "irama jazz bertentangan dengan kebutuhan manusia yang secara psikologis normal." Rock dari tahun-tahun 1950-an dalam pada itu dikatakan sebagai "beot yang hiruk pikuk, nyanyian yang nyaris memekik-mekik dengan melodi sederhana." Lagu-lagu rock 1960-an dinilai semakin penuh dengan tetabuhan, dan "dengan kuatnya memprovokasikan gangguan kejiwaan". Selanjutnya, "apa yang mereka limpahkan adalah sejenis rangsangan untuk membikin bengong, kabur, kebas rasa dan tak sadar diri." Musik disko miskin melodi dan lirik, menurut mereka, dan "memiliki beat yang cepat seperti genderang perang " Buku petunjuk itu menjabarkan bahwa "dansa disko bergerak cepat, diikuti lompatan-lompatan dan pusing-pusingan." Walhasil, menurut Wren, secara garis besar musik pop bagi mereka tidak bernilai artistik untuk dibicarakan. Tapi mengapa disenangi? "Karena ia bertemu dengan kebutuhan negatif rakyat di negeri-negeri kapitalis," kata buku petunjuk. "Juga bertemu dengan kebutuhan kaum kapitalis untuk menciptakan uang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus