HINGAR-bingar knalpot mobil dan angkutan kota lainnya di Jalan
Suci, Bandung, mencapai angka 8, dBA (decibel akustik).
Keadaannya sengaja diukur dengan sound level meter. sebuah alat
buatan Denmark. Angka itu, walaupun sekedar contoh untuk sebuah
seminar, cukup mengejutkan. Para peserta seminar pengukuran
suara untuk perlindungan lingkungan (Accoustic Measurement for
Environment Protection) itu datang dari semua negara ASEAN.
Berlangsung di Bandung (22 November sampai 10 Desember), seminar
itu merelakan standar kebisingan daerah pemukirnan hanya 45-55
dBA. Jadi Jalan Suci--bukanlah yang paling ramai di Bandung --
ternyata sangat berisik, melampaui standar.
Bahaya pencemaran lingkungan oleh kebisingan dari berbagai
sumber bunyi belum begitu dihiraukan di kalangan ASEAN, kecuali
Singapura. Pengukuran kebisingan bahkan belum pernah dilakukan
terhadap kota besar mana pun di Indonesia Padahal itu sangat
dibutuhkan dalam merancang tata kota, "untuk menetapkan mana
daerah yang cocok bagi lokasi industri, perumahan, atau rumah
sakit," ujar Ir. Margana Koesoemadinata Kepala Laboratorium
Metrologji Akustik LIN (Lembaga Instrumentasi Nasional) LIPI.
Standar kebisingan telah disusun oleh ISO (International
Standardisation Organisation), suatu lembaga di Swiss. Antara
lain: 45 - 55 dB bagi kawasan pemukiman, 60-70 dBA kawasan
industri berat. Kalau untuk rumah sakit, kebisingan tak boleh
lebih dari 3 5 dBA.
Biasanya jasa LIN LIPI diminu mengukur kebisingan yang terasa
mengganggu (lihat box). Misalnya, generator milik PT Indosat,
Bekasi, pernah tahun lalu mengundang protes penduduk
sekelilingnya. Ternyata suaranya yang sampai ke pemukiman
mencapai 65 dBA. Kemudian dinding ruang penyimpan generator
terpaksa dilapisi bahan-bahan penyerap suara. "Sekarang penduduk
tak protes lagi," kata Margana.
Atas permintaan Pertamina, juga pernah LIN meneliti semburan gas
liar di sumur P.T.29 Pulau Tabuan Timur, Sum-Ut. Dinding beton
pada 20 rumah pegawainya di sekitar sumur itu sudah retak-retak,
dan penghuninya sangat terganggu oleh suara gas itu, 93 dBA.
Akhirnya, atas saran LIN, perumahan yang semula hanya 350 m dari
sumur gas dipindahkan ke luar radius 1.500 m, sedangkan mereka
yang bekerja di sana diberi pelindung telinga (ear muffs).
Kebisingan di luar batas ambang mengganggu orang berpikir. Ia
akan mudah marah. Perumya mual atau sakit. Ancaman yang paling
serius: tuli.
Dep-Kes membuat standar 90 dBA untuk kawasan industri dengan 8
jam kerja. Cukup tinggi. Jerman Barat, yang cukup memperhatikan
pencemaran kebisingan, membuat standar 85 dBA, atau masih di
atas tingkat aman 80 dBA yang dibuat ISO.
Umumnya kebisingan melampaui batas di lapangan terbang. Pesawat
terbang yang tinggal landas diharuskan terbang lurus, agar
berkurang kawasan yang tercemar oleh deru-deramnya. Di Jerman
Barat, pilot yang terbang berkelok ketika lepas landas didenda,
sebaliknya, siapa "yang lepas landas dengan lurus diberi bonus,"
ujar Helmut Bostelman. Dia ahli akustik CDG (Carl Duisberg
Gesselschaft), satu yayasan ) erman Barat, yang diperbantukan di
LIN LIPI.
Tentu saja Indonesia masih lama lagi bisa berkeras dalam hai
kebisingan. Untuk menyusun standarnya saja, kata Margana, "butuh
waktu yang lama dan biaya besar. " Masih harus dilakukan
pengukuran kebisingan di mana-mana: bandar udara, jalan raya,
pemukiman, perkantoran, industri, bahkan tempat disko.
Diskotek tergolong tempat bising, bisa sampai 110 dBA. Dengan
setinggi itu, menurut tabel ISO, banyak pengunjung setia tempat
bersantai itu terancam tuii setelah 5 tahun.
Seminar di Bandung kali ini lebih mirip sebuah kursus. Para
ahli akustik dari berbagai negara ASEAN diajak mengenali
sejumlah macam alat pengukur tingkat kebisingan. Diharapkan
tercipta keseragaman dalam cara pengukuran," ujar Dr. Ny
Christine Kurtz, ahli CDG yang memimpin seminar itu.
Di LIN LIPI sudah tersedia berba gai jenis alat pengukur
kebisingan itu, dari mulai yang kuno sampai jenis mutakhir yang
berharga Rp 30 juta. Jasanya punl bila ada permintaan, setiap
waktu tersedia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini