Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sisa portugis selat malaka

Perkampungan orang-orang portugis di selat malaka. ada di perkampungan serani 2,5 km dari pusat kota. mereka berbahasa cristao. (sel)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISA benteng Porta de Santiago, peninggalan Portugis, masih menghadap ke Selat Melaka. Jadi saksi. "Nenek moyang kami di zaman dahulu memang bermusuhan. Masing-masing kami dari tanah air yang berbeda," ungkap Michael Theseira. Kakek 65 tahun itu ayah 17 anak (dari satu induk) yang punya 18 cucu. "Sekarang Malaysia tanah air kami. Dan bangsa Melayu di sini saudara kandung kami," Michael berkata lagi. Memilih tepi pantai Praya Lane di Kampung Serani dekat Ujong Pasir, Melaka, Michael Theseira membuka restoran makanan khas Portugis, jenis sea-food. Hanya malam hari. "Siang di sini sunyi. Pantainya panas." Di seberang restoran, dikelilingi pagar kawat ayam, ada gereja dan sekolah (TK, SD dan SLTP) untuk anak-anak keturunan Portugis. Lokasi perkampunan Serani itu 2 « km dari pusat kota. Dulu mreka terpencar. Sebagian ada yang menetap di Banda Hilir, dekat moncong pelabuhan Melaka. Gagasan memusatkan mereka dalam satu pemukiman itu datangnya dari seorang padri Prancis, Pierre Francois. Idenya ia lontarkan kepada Reginald Crichton, gubernur di masa Inggris menjajah Melaka. Setelah gagasan pak padri diterima, warga Portugis lantas mengumpulkan biaya. Dengan harga M$ 30 ribu mereka membeli tanah seluas 13 acre milik orang-orang Melayu di kawasan Ujong Pasir itu. Kompleks itu dibuka tahun 1930. Tak lama, datanglah Padri Alvaro Coroado dari Portugis. Disain perkampungan tadi diperbaikinya lagi. Untuk itu Bapa Alvaro mendirikan lima rumah percontohan, dan pemerintah Inggris membangun 10 buah. Dan dari 8 rumah kini sudah 78 buah--hampir seragam semua, bercat meriah. Di dunia 1.300 jiwa, model perkampungan itu ternyata meniru salah satu desa pantai dekat Lisabon di Portugis. Hanya saja rumah-rumah yang berukuran 6 x meter itu bergaya Melayu pada lekuk atapnya. Lantainya semen, dan tak ada yang berlingkat. Sekarang, luas kompleks di pinggir pantai Selat Malaka itu 36 hektar. Dilengkapi lapangan bola sepak dan lapangan voli. "Kami tak tahu lagi di mana tempat asal nenek-nenek kami di Portugis," kata John F. Collar. Lelaki 55 tahun ini pensiunan pegawai RS Melaka dan pintar meniup saxofon. Tubuhnya kekar kayak petinju, penuh semangat, dan lebih suka becelana pendek. Collar adalah sang regedor, kepala perkampungan. Ayah tiga anak ini bangga. Seorang putranya, Collar Jr. jadi pemain andalan dalam tim bola Negeri Melaka. Kepada TEMPO kepala kampung itu mengungkapkan, warganya yang sekarang tidak seorang pun mengenal dekat negeri asal di Eropa sana. "Mengingat penghasilan kami di sini cukupan saja, sulitlah untuk melihat Portugis," katanya. Hanya untuk mempertahankan kelestarian identitas, mereka berkiblat ke Makao yang dekat Hongkong. Bukan saja di sana Portugis masih berkuku. Hubungan ke Makao bisa dicapai dengan biaya irit juga gereja besar mereka, St. Peter, di Jalan Bendahara, berada di bawah yuridiksi Uskup Makao. Padahal di Malaysia juga ada uskup. Gereja itu dibangun tahun 1710. Instruktur tari seperti Joe Lazaroo (41 tahun) juga memperdalam tari dan musik tradisional nenek moyangnya, ke Makao. "Ini," katanya sembari memainkan jempol dan telunjuk kanannya. "Tak ada biaya mana mungkin saya belajar ke Lisabon," tambah Joe yang payah berbahasa Melayu. Lelaki tegap bermata biru ini sudah sejak 1974 diangkat kaumnya sebagai instruktur tari. "Masih berusia 12 tahun saya sudah menari folk dance," katanya dalam bahasa Inggris. Tari khas mereka adalah Branyo. Mirip ronggeng, tapi kaki si penari semarak dengan rentak. Dan di tangan mereka ada alat dekak-dekak yang dipakai mengiringi tari kastanya. Selain suka keroncong dan mahir bergitar, mereka juga pintar berpantun. Itu disebut Matoontigo. Mereka memang warga yang gembira, alegria. Kekhasan lain, di perkampungan yang berhawa panas dan kurang pohon itu, adalah jemuran. Kain jemuran bergelantungan di pagar, depan rumah di mana-mana. Tapi mereka terhitung taat pada wajib bersih lingkungan. ORANG-orang itu menyebut diri mereka Portuguese Eurasians. Tapi orang Melayu menamakan mereka Orang Grago. Arti harfiahnya ikan keresek. Kebanyakan mereka memang nelayan (75%), yang umumnya pemburu ikan kecil (keresek) seperti teri. Mereka dikenal lihai mengayun jaring pukat langgai. Selebihnya ada yang bekerja di hotel, memburuh, atau merantau ke Kuala Lumpur. Yang jadi kerani kantor di Melaka cuma empat orang. Di antaranya istri Pak Kep-Des John Collar, Allice namanya. Wanita yang mahir main piano ini pegawai rumah sakit. Orangnya mungil, berkulit bersih dan sedikit berbau Cina. Untuk menyambung generasi penerus, dan menjaga eksklusifitas, perkawinan mereka jarang berkembang ke luar kompleks. Kalau toh ada yang mendapat jantung hati di luar, mereka lebih senang memilih Cina atau India. Lagi pula orang Melayu boleh dikatakan semuanya muslim, bukan? Sedang mereka Katolik. Nah. Dari perpaduan dua ras tadi, kini di Serani banyak pemuda atau cewek yang berkulit cokelat muda, berhidung mancung dengan mata biru. Sehari-hari kaum petinggi ini berbicara dalam bahasa Cristao, bahasa Portugis abad ke-16 yag di Portugal sendiri sudah tak ada Dengan orang luar, mereka (terutama yang muda-muda) lebih lancar berbahasa Inggris dari Melayu. Bangga dengan pahlawan-pahlawan mereka di lautan yang jadi musuh kita dulu, mereka memberi nama-nama jalan di kompleks tersebut dengan nama-nama kuno itu. Penakluk Goa dan Melaka, Alfonso D'Albuquerque, dan Admiral Diogo Lopez de Sequera yang pertama gagal menyerbu Melaka, misalnya. Juga nama Ruy de Aranjo yang ditawan laskar Sultan Mahmudsyah di abad XV itu. Atau Emannuel Godinho Eredia, yang menulis buku mengenai Melaka dan diterbitkan pada 1615. Pemerintah Portugal ternyata tak menutup mata ke Melaka. Lisabon, kata Collar, walau tak selalu tapi ada mengirim dana. "Uang itu biasanya kami pakai untuk memperbaiki kampung dan membeli fasilitas pendidikan," katanya. Pemerintah Malaysia sendiri tak kurang perhatiannya Tahun 1981 misalnya, wakil PM Datuk Musa Hitam menyampaikan sumbangan M$ 175 ribu untuk merawat pemukiman Feringgi itu. Tak jelas, kenapa Musa Hitam yang dipilih menyerahkan dana tersebut. Entah ada hubungan dengan istrinya yang berdarah Amerika Latin. "Pada pilihan raya (pemilu) yang lalu, semua warga perkampungan ini menyoblos Barisan Nasional," celoteh kakek Michael. "Partai orang Cina tak laku di sini," tambahnya dengan ketawa berderai. Dan ketawa Pak Tua sekonyong hilang terbenam musik meriah. Seorang cucunya yang dipanggil Pedro (artinya: si Buyung atau si Ucok) membunyikan kaset di dalam restoran yang sedang tutup itu. Nyanyian dan musiknya, dengan tingkah gitar dan harmonika, terdengar khas. Yang menyanyi adalah anak-anak nelayan Portuguese-settlement Melaka. Michael Theseira bilang, kaset nyanyian itu tak ada dijual di toko. "Kita larang rekamannya dijual," ucap Michael. "Kalau dikomersialkan, kami khawatir kekhasannya hilang." Ciri khas ndmpaknya memang dipelihara dengan sengaja. Di sini selain ada perayan Natal, setiap 29 Juni juga diadakan Festa de San Pedro. Perayaan itu sudah berlangsung sejak Portugis berada di Melaka tahun-tahun 1511 sampai 1641. Perayaan di pinggir laut itu lebih menyerupai pemujaan kepada dewa laut (San Pedro atau St. Peter), yang menurut kepercayaan mereka keturunan pelaut. Memujanya membawa berkah dalam hal nasib dan rezeki seorang nelayan. Doa dibacakan, dan perahu-perahu, dalam acara itu, mereka tepungtawari. Lalu pesta dimeriahkan dengan tarian di pinggir laut, lomba menghias boat dan memacunya. Ditambah makan-makan, lalu pertandingan bola. Entah mencari rezeki dalam air asin ibarat bermain bola juga, Grago? Adios ovel-igados, San Pedro . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus