SISA benteng Porta de Santiago, peninggalan Portugis, masih
menghadap ke Selat Melaka. Jadi saksi.
"Nenek moyang kami di zaman dahulu memang bermusuhan.
Masing-masing kami dari tanah air yang berbeda," ungkap Michael
Theseira. Kakek 65 tahun itu ayah 17 anak (dari satu induk) yang
punya 18 cucu. "Sekarang Malaysia tanah air kami. Dan bangsa
Melayu di sini saudara kandung kami," Michael berkata lagi.
Memilih tepi pantai Praya Lane di Kampung Serani dekat Ujong
Pasir, Melaka, Michael Theseira membuka restoran makanan khas
Portugis, jenis sea-food. Hanya malam hari. "Siang di sini
sunyi. Pantainya panas."
Di seberang restoran, dikelilingi pagar kawat ayam, ada gereja
dan sekolah (TK, SD dan SLTP) untuk anak-anak keturunan
Portugis. Lokasi perkampunan Serani itu 2 « km dari pusat kota.
Dulu mreka terpencar. Sebagian ada yang menetap di Banda Hilir,
dekat moncong pelabuhan Melaka.
Gagasan memusatkan mereka dalam satu pemukiman itu datangnya
dari seorang padri Prancis, Pierre Francois. Idenya ia lontarkan
kepada Reginald Crichton, gubernur di masa Inggris menjajah
Melaka. Setelah gagasan pak padri diterima, warga Portugis
lantas mengumpulkan biaya.
Dengan harga M$ 30 ribu mereka membeli tanah seluas 13 acre
milik orang-orang Melayu di kawasan Ujong Pasir itu. Kompleks
itu dibuka tahun 1930.
Tak lama, datanglah Padri Alvaro Coroado dari Portugis. Disain
perkampungan tadi diperbaikinya lagi. Untuk itu Bapa Alvaro
mendirikan lima rumah percontohan, dan pemerintah Inggris
membangun 10 buah. Dan dari 8 rumah kini sudah 78 buah--hampir
seragam semua, bercat meriah. Di dunia 1.300 jiwa, model
perkampungan itu ternyata meniru salah satu desa pantai dekat
Lisabon di Portugis. Hanya saja rumah-rumah yang berukuran 6 x
meter itu bergaya Melayu pada lekuk atapnya. Lantainya semen,
dan tak ada yang berlingkat. Sekarang, luas kompleks di pinggir
pantai Selat Malaka itu 36 hektar. Dilengkapi lapangan bola
sepak dan lapangan voli.
"Kami tak tahu lagi di mana tempat asal nenek-nenek kami di
Portugis," kata John F. Collar. Lelaki 55 tahun ini pensiunan
pegawai RS Melaka dan pintar meniup saxofon. Tubuhnya kekar
kayak petinju, penuh semangat, dan lebih suka becelana pendek.
Collar adalah sang regedor, kepala perkampungan. Ayah tiga anak
ini bangga. Seorang putranya, Collar Jr. jadi pemain andalan
dalam tim bola Negeri Melaka.
Kepada TEMPO kepala kampung itu mengungkapkan, warganya yang
sekarang tidak seorang pun mengenal dekat negeri asal di Eropa
sana. "Mengingat penghasilan kami di sini cukupan saja, sulitlah
untuk melihat Portugis," katanya.
Hanya untuk mempertahankan kelestarian identitas, mereka
berkiblat ke Makao yang dekat Hongkong. Bukan saja di sana
Portugis masih berkuku. Hubungan ke Makao bisa dicapai dengan
biaya irit juga gereja besar mereka, St. Peter, di Jalan
Bendahara, berada di bawah yuridiksi Uskup Makao. Padahal di
Malaysia juga ada uskup. Gereja itu dibangun tahun 1710.
Instruktur tari seperti Joe Lazaroo (41 tahun) juga memperdalam
tari dan musik tradisional nenek moyangnya, ke Makao. "Ini,"
katanya sembari memainkan jempol dan telunjuk kanannya. "Tak ada
biaya mana mungkin saya belajar ke Lisabon," tambah Joe yang
payah berbahasa Melayu. Lelaki tegap bermata biru ini sudah
sejak 1974 diangkat kaumnya sebagai instruktur tari. "Masih
berusia 12 tahun saya sudah menari folk dance," katanya dalam
bahasa Inggris.
Tari khas mereka adalah Branyo. Mirip ronggeng, tapi kaki si
penari semarak dengan rentak. Dan di tangan mereka ada alat
dekak-dekak yang dipakai mengiringi tari kastanya. Selain suka
keroncong dan mahir bergitar, mereka juga pintar berpantun. Itu
disebut Matoontigo. Mereka memang warga yang gembira, alegria.
Kekhasan lain, di perkampungan yang berhawa panas dan kurang
pohon itu, adalah jemuran. Kain jemuran bergelantungan di pagar,
depan rumah di mana-mana. Tapi mereka terhitung taat pada wajib
bersih lingkungan.
ORANG-orang itu menyebut diri mereka Portuguese Eurasians. Tapi
orang Melayu menamakan mereka Orang Grago. Arti harfiahnya ikan
keresek. Kebanyakan mereka memang nelayan (75%), yang umumnya
pemburu ikan kecil (keresek) seperti teri. Mereka dikenal lihai
mengayun jaring pukat langgai. Selebihnya ada yang bekerja di
hotel, memburuh, atau merantau ke Kuala Lumpur. Yang jadi kerani
kantor di Melaka cuma empat orang. Di antaranya istri Pak
Kep-Des John Collar, Allice namanya. Wanita yang mahir main
piano ini pegawai rumah sakit. Orangnya mungil, berkulit bersih
dan sedikit berbau Cina.
Untuk menyambung generasi penerus, dan menjaga eksklusifitas,
perkawinan mereka jarang berkembang ke luar kompleks. Kalau toh
ada yang mendapat jantung hati di luar, mereka lebih senang
memilih Cina atau India. Lagi pula orang Melayu boleh dikatakan
semuanya muslim, bukan? Sedang mereka Katolik. Nah. Dari
perpaduan dua ras tadi, kini di Serani banyak pemuda atau cewek
yang berkulit cokelat muda, berhidung mancung dengan mata biru.
Sehari-hari kaum petinggi ini berbicara dalam bahasa Cristao,
bahasa Portugis abad ke-16 yag di Portugal sendiri sudah tak
ada Dengan orang luar, mereka (terutama yang muda-muda) lebih
lancar berbahasa Inggris dari Melayu.
Bangga dengan pahlawan-pahlawan mereka di lautan yang jadi musuh
kita dulu, mereka memberi nama-nama jalan di kompleks tersebut
dengan nama-nama kuno itu. Penakluk Goa dan Melaka, Alfonso
D'Albuquerque, dan Admiral Diogo Lopez de Sequera yang pertama
gagal menyerbu Melaka, misalnya. Juga nama Ruy de Aranjo yang
ditawan laskar Sultan Mahmudsyah di abad XV itu. Atau Emannuel
Godinho Eredia, yang menulis buku mengenai Melaka dan
diterbitkan pada 1615.
Pemerintah Portugal ternyata tak menutup mata ke Melaka.
Lisabon, kata Collar, walau tak selalu tapi ada mengirim dana.
"Uang itu biasanya kami pakai untuk memperbaiki kampung dan
membeli fasilitas pendidikan," katanya. Pemerintah Malaysia
sendiri tak kurang perhatiannya Tahun 1981 misalnya, wakil PM
Datuk Musa Hitam menyampaikan sumbangan M$ 175 ribu untuk
merawat pemukiman Feringgi itu. Tak jelas, kenapa Musa Hitam
yang dipilih menyerahkan dana tersebut. Entah ada hubungan
dengan istrinya yang berdarah Amerika Latin.
"Pada pilihan raya (pemilu) yang lalu, semua warga perkampungan
ini menyoblos Barisan Nasional," celoteh kakek Michael. "Partai
orang Cina tak laku di sini," tambahnya dengan ketawa berderai.
Dan ketawa Pak Tua sekonyong hilang terbenam musik meriah.
Seorang cucunya yang dipanggil Pedro (artinya: si Buyung atau si
Ucok) membunyikan kaset di dalam restoran yang sedang tutup itu.
Nyanyian dan musiknya, dengan tingkah gitar dan harmonika,
terdengar khas. Yang menyanyi adalah anak-anak nelayan
Portuguese-settlement Melaka.
Michael Theseira bilang, kaset nyanyian itu tak ada dijual di
toko. "Kita larang rekamannya dijual," ucap Michael. "Kalau
dikomersialkan, kami khawatir kekhasannya hilang."
Ciri khas ndmpaknya memang dipelihara dengan sengaja. Di sini
selain ada perayan Natal, setiap 29 Juni juga diadakan Festa de
San Pedro. Perayaan itu sudah berlangsung sejak Portugis berada
di Melaka tahun-tahun 1511 sampai 1641. Perayaan di pinggir laut
itu lebih menyerupai pemujaan kepada dewa laut (San Pedro atau
St. Peter), yang menurut kepercayaan mereka keturunan pelaut.
Memujanya membawa berkah dalam hal nasib dan rezeki seorang
nelayan. Doa dibacakan, dan perahu-perahu, dalam acara itu,
mereka tepungtawari.
Lalu pesta dimeriahkan dengan tarian di pinggir laut, lomba
menghias boat dan memacunya. Ditambah makan-makan, lalu
pertandingan bola.
Entah mencari rezeki dalam air asin ibarat bermain bola juga,
Grago? Adios ovel-igados, San Pedro . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini