PENGGUSURAN penduduk miskin dari gubuk-gubuk kardus di tengah
kota, bukan khas Jakarta saja. Seorang padri muda dari Manila
melaporkan hal yang sama. Tapi Imelda Marcos, Ibu Negara yang
diangkat suaminya menjadi Gubernur Manila Raya, tetap juga tidak
mampu memindahkan semua gembel dari jantung ibukota Pilipina
yang berpenduduk 7 juta jiwa itu. Terpaksa perkampungan miskin
di tengah kota dipagari dengan lembaran-lembaran seng agar tidak
jadi sasaran kamera turis berpakaian necis.
Di Amerika Latin, migrasi dari desa ke kota sudah berjalan sejak
Simon Bolivar memimpin pemberontakan bangsa Amerika Latin dari
penjajahan Spanyol dan Portugis hampir seabad yang silam. Malah
menurut catatan Bank Dunia 60% dari penduduk Amerika Latin
tinggal di kota-kota.
Persentase itu memang tidak merata. Mexico City yang kini
berpenduduk 12 juta jiwa, baru menampung 20% dari seluruh
penduduk Republik Mexico. Tapi itu pun sudah cukup seram, sebab
di awal abad ini la Ciudad de Mexico baru menampung 2,9% dari
seluruh penduduk negara itu. Dan yang lebih penting dari pada
naiknya jumlah penduduk kota secara menyeluruh, adalah naiknya
persentase kaum marjinal, kaum pobadores alias penghuni
kampung-kampung miskin di tengah dan di pinggiran kota.
Coquistadores
Penghuni barriadas (kampung miskin) kota Lima, ibukota Peru
misalnya, meningkat dari 10% dari seluruh penduduk Lima di
tahun 1955 menjadi 25 di tahun 1970. Dan mungkin sudah menjadi
40% sekarang ini, pada saat penduduk Lima sudah sekitar 3,5 juta
jiwa.
Laju urbanisasi yang begitu tinggi itu antara lain terdorong
oleh konsentrasi tanah pertanian yang terbaik di tangan
segelintir pemilik perkebunan besar (latifundia) bangsa
sendiri, serta kapitalis-kapitalis dari Utara yang sekedar
menggantikan tempat para conquistadotes Iberia zaman dulu.
Misalnya United Fruit dari AS. Maka terpaksalah para petani
kecil (campesinos) menyingkir ke kota, kendati mereka hanya bisa
tinggal di kampung miskin yang pada manusia dan penyakit.
Ada sementara ahli sosial beranggapan, penduduk kota yang miskin
itu tak mampu memperbaiki taraf hidupnya sebab kebodohan mereka
sendiri. Oscar Lewis yang meneliti kehidupan kaum miskin di
Mexico City, malah menamakan gumpalan sifat-sifat jelek yang
menghambat kaum miskin mencapai kemajuan materiil itu suatu
"kultur", kebudayaan kemelaratan. Antara lain disiplin sosial
yang lemah, hubungan seks bebas, kawin muda, sikap fatalistis,
suka berdusta, perbudakan pada minuman keras, sikap otoriter
dalam hubungan keluarga, dan sebagainya.
Tapi benarkah karakteristik itu dapat disebut suatu "kultur"?
Suatu sistim nilai yang sudah mendarah-daging?
Enrique Ortiz dari Mexico, direktur lembaga penelitian
kependudukan Copevi (Centro Para Estudio Vivienda Y
Poblamiento) yang baru-baru ini diangkat menjadi Menteri
Perumahan Mexico, menyangkal dengan keras. Menurut dia, "kultur"
itu sebenarnya hanyalah suatu mekanisme untuk mempertahankan
diri. Kaum, miskin menumbuhkan itu dalam menghadapi struktur
yang mengekangnya. Jadi lebih merupakan "akibat" dari pada
"sebab" keterbelakangan kaum miskin di kota-kota besar.
"Internasional"
Sesungguhnya, kesulitan kaum miskin di kota dengan kehidupan
kota yang modern, dan kian besarnya jumlah mereka, erat
hubungannya dengan kiblat pembangunan kota besar itu sendiri.
Seringkali para pengelola pembangunan kota Dunia Ketiga terlalu
meniru pola pembangunan fisik kota negara maju, dengan menganut
ukuran "internasional".
Lapisan bawah penghuni kota tak mampu mengikuti itu. Mereka
terpaksa berjejal di tanah-tanah yang marjinl, di tebing sungai
dan kanal, di kolong jembatan, dan di tanah-tanah yang belum
dijamah perusahaan real estate karena jelek topografinya.
Berjejalnya penduduk miskin di tanah-tanah marjinal itu pun jadi
penyebab perusakan lingkungan serta biang perusak keindahan
kota. Suatu alasan untuk membongkar rumah-rumah liar itu.
Memang harus diakui, banyak usaha kalangan pemerintah dan swasta
untuk memperbaiki nasib mereka. Tapi pendekatannya sering tanpa
melibatkan rakyat yang biasanya dianggap "bodoh". Rakyat diharap
mendukung saja rencana yang didrop dari "atas", dan seringkali
bantuan baru memuncak setelah banjir atau api melanda
kampung-kampung miskin.
Rakyat Sendiri
Begitulah "perumahan murah" mungkin murah di mata para
insinyur dan ekonom yang merancangnya. Namun dari ukuran
kantong keluarga miskin dengan penghasilan sekitar $ 1 sehari,
rumah murah yang paling rendah berharga $AS 2000 untuk 50 mÿFD
pun belum terjangkau.
Makanya berulang-kali terungkap cerita yang sama: yang masuk ke
rumah-rumah murah itu kebanyakan adalah golongan menengah yang
masih mampu membayar sewa rumah di tempat lain. Bukan golongan
miskin yang paling membutuhkannya.
Itu sebabnya di Amerika Latin sudah dijalankan eksperimen
perumahan rakyat yang betul-betul dari, oleh dan untuk rakyat
yang paling miskin. Hanya bahan baku yang sesuai dengan
kemampuan keluarga miskin yang bersangkutan dibantu dari luar
serta bimbingan teknis dari pekerja sosial yang bekerja nyaris
tanpa digaji. Keluarga miskin yang baru mampu membangun rumah
kardus dan kayu, dibantu membuat rumah kardus dan kayu yang
rapi. Kemudian berangsur-angsur meningkat menjadi rumah kayu,
sampai akhirnya mereka dapat membangun rumah permanen dari kayu
dan batu.
Usaha swadaya semacam ini sekaligus mengurangi pengangguran di
kalangan kaum miskin, sementara penghasilan mereka diperbaiki
melalui usaha-usaha kooperatif. Status tanahnya diperjuangkan ke
pemerintah agar bebas dari bahaya penggusuran. Paket kegiatan
pembangunan masyarakat kota yang bermula pada perumahan rakyat
semacam ini dijalankan oleh yayasan Hogar de Cristo Viviendas di
Cili atau Fundacion Salvaaorena de Desarrollo y Vivienda Minima
di San Salvador. Ternyata lebih mencapai sasaran 40% rakyat
termiskin dari pada usaha perumahan murah yang teknis-ekonomis
semata-mata seperti ditampilkan oleh peserta dari Ahmedabad
(India), Accra (Ghana) dan Nairobi (Kenya). Karena dibangun oleh
rakyat sendiri, rasa ikut memiliki dan ikut bertanggungjawab pun
lebih besar.
Diskusi selama dua minggu itu tentu saja tidak menelorkan
program-program aksi yang bulat & sempurna. Namun boleh dikata,
hampir semuanya sependapat: partisipasi penduduk miskin itu
sendiri harus seimbang dengan bantuan yang diberikan dari luar.
Dan semua usaha nyata untuk mengatasi problim hidup yang
mendesak hendaknya mengarah pada pembebasan kaum miskin dari
struktur politik, ekonomi dan sistim nilai, yang mengekang
pengembangan dirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini