Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Kota Dunia Ketiga, Rakyat Tak ...

Laporan George Y. Adicondro yang mengikuti seminar tentang masalah sosial kota dunia ketiga di Freiburg. Pembangunan kota dunia ketiga meniru negara maju, partisipasi penduduk miskin diperlukan.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGGUSURAN penduduk miskin dari gubuk-gubuk kardus di tengah kota, bukan khas Jakarta saja. Seorang padri muda dari Manila melaporkan hal yang sama. Tapi Imelda Marcos, Ibu Negara yang diangkat suaminya menjadi Gubernur Manila Raya, tetap juga tidak mampu memindahkan semua gembel dari jantung ibukota Pilipina yang berpenduduk 7 juta jiwa itu. Terpaksa perkampungan miskin di tengah kota dipagari dengan lembaran-lembaran seng agar tidak jadi sasaran kamera turis berpakaian necis. Di Amerika Latin, migrasi dari desa ke kota sudah berjalan sejak Simon Bolivar memimpin pemberontakan bangsa Amerika Latin dari penjajahan Spanyol dan Portugis hampir seabad yang silam. Malah menurut catatan Bank Dunia 60% dari penduduk Amerika Latin tinggal di kota-kota. Persentase itu memang tidak merata. Mexico City yang kini berpenduduk 12 juta jiwa, baru menampung 20% dari seluruh penduduk Republik Mexico. Tapi itu pun sudah cukup seram, sebab di awal abad ini la Ciudad de Mexico baru menampung 2,9% dari seluruh penduduk negara itu. Dan yang lebih penting dari pada naiknya jumlah penduduk kota secara menyeluruh, adalah naiknya persentase kaum marjinal, kaum pobadores alias penghuni kampung-kampung miskin di tengah dan di pinggiran kota. Coquistadores Penghuni barriadas (kampung miskin) kota Lima, ibukota Peru misalnya, meningkat dari 10% dari seluruh penduduk Lima di tahun 1955 menjadi 25 di tahun 1970. Dan mungkin sudah menjadi 40% sekarang ini, pada saat penduduk Lima sudah sekitar 3,5 juta jiwa. Laju urbanisasi yang begitu tinggi itu antara lain terdorong oleh konsentrasi tanah pertanian yang terbaik di tangan segelintir pemilik perkebunan besar (latifundia) bangsa sendiri, serta kapitalis-kapitalis dari Utara yang sekedar menggantikan tempat para conquistadotes Iberia zaman dulu. Misalnya United Fruit dari AS. Maka terpaksalah para petani kecil (campesinos) menyingkir ke kota, kendati mereka hanya bisa tinggal di kampung miskin yang pada manusia dan penyakit. Ada sementara ahli sosial beranggapan, penduduk kota yang miskin itu tak mampu memperbaiki taraf hidupnya sebab kebodohan mereka sendiri. Oscar Lewis yang meneliti kehidupan kaum miskin di Mexico City, malah menamakan gumpalan sifat-sifat jelek yang menghambat kaum miskin mencapai kemajuan materiil itu suatu "kultur", kebudayaan kemelaratan. Antara lain disiplin sosial yang lemah, hubungan seks bebas, kawin muda, sikap fatalistis, suka berdusta, perbudakan pada minuman keras, sikap otoriter dalam hubungan keluarga, dan sebagainya. Tapi benarkah karakteristik itu dapat disebut suatu "kultur"? Suatu sistim nilai yang sudah mendarah-daging? Enrique Ortiz dari Mexico, direktur lembaga penelitian kependudukan Copevi (Centro Para Estudio Vivienda Y Poblamiento) yang baru-baru ini diangkat menjadi Menteri Perumahan Mexico, menyangkal dengan keras. Menurut dia, "kultur" itu sebenarnya hanyalah suatu mekanisme untuk mempertahankan diri. Kaum, miskin menumbuhkan itu dalam menghadapi struktur yang mengekangnya. Jadi lebih merupakan "akibat" dari pada "sebab" keterbelakangan kaum miskin di kota-kota besar. "Internasional" Sesungguhnya, kesulitan kaum miskin di kota dengan kehidupan kota yang modern, dan kian besarnya jumlah mereka, erat hubungannya dengan kiblat pembangunan kota besar itu sendiri. Seringkali para pengelola pembangunan kota Dunia Ketiga terlalu meniru pola pembangunan fisik kota negara maju, dengan menganut ukuran "internasional". Lapisan bawah penghuni kota tak mampu mengikuti itu. Mereka terpaksa berjejal di tanah-tanah yang marjinl, di tebing sungai dan kanal, di kolong jembatan, dan di tanah-tanah yang belum dijamah perusahaan real estate karena jelek topografinya. Berjejalnya penduduk miskin di tanah-tanah marjinal itu pun jadi penyebab perusakan lingkungan serta biang perusak keindahan kota. Suatu alasan untuk membongkar rumah-rumah liar itu. Memang harus diakui, banyak usaha kalangan pemerintah dan swasta untuk memperbaiki nasib mereka. Tapi pendekatannya sering tanpa melibatkan rakyat yang biasanya dianggap "bodoh". Rakyat diharap mendukung saja rencana yang didrop dari "atas", dan seringkali bantuan baru memuncak setelah banjir atau api melanda kampung-kampung miskin. Rakyat Sendiri Begitulah "perumahan murah" mungkin murah di mata para insinyur dan ekonom yang merancangnya. Namun dari ukuran kantong keluarga miskin dengan penghasilan sekitar $ 1 sehari, rumah murah yang paling rendah berharga $AS 2000 untuk 50 mÿFD pun belum terjangkau. Makanya berulang-kali terungkap cerita yang sama: yang masuk ke rumah-rumah murah itu kebanyakan adalah golongan menengah yang masih mampu membayar sewa rumah di tempat lain. Bukan golongan miskin yang paling membutuhkannya. Itu sebabnya di Amerika Latin sudah dijalankan eksperimen perumahan rakyat yang betul-betul dari, oleh dan untuk rakyat yang paling miskin. Hanya bahan baku yang sesuai dengan kemampuan keluarga miskin yang bersangkutan dibantu dari luar serta bimbingan teknis dari pekerja sosial yang bekerja nyaris tanpa digaji. Keluarga miskin yang baru mampu membangun rumah kardus dan kayu, dibantu membuat rumah kardus dan kayu yang rapi. Kemudian berangsur-angsur meningkat menjadi rumah kayu, sampai akhirnya mereka dapat membangun rumah permanen dari kayu dan batu. Usaha swadaya semacam ini sekaligus mengurangi pengangguran di kalangan kaum miskin, sementara penghasilan mereka diperbaiki melalui usaha-usaha kooperatif. Status tanahnya diperjuangkan ke pemerintah agar bebas dari bahaya penggusuran. Paket kegiatan pembangunan masyarakat kota yang bermula pada perumahan rakyat semacam ini dijalankan oleh yayasan Hogar de Cristo Viviendas di Cili atau Fundacion Salvaaorena de Desarrollo y Vivienda Minima di San Salvador. Ternyata lebih mencapai sasaran 40% rakyat termiskin dari pada usaha perumahan murah yang teknis-ekonomis semata-mata seperti ditampilkan oleh peserta dari Ahmedabad (India), Accra (Ghana) dan Nairobi (Kenya). Karena dibangun oleh rakyat sendiri, rasa ikut memiliki dan ikut bertanggungjawab pun lebih besar. Diskusi selama dua minggu itu tentu saja tidak menelorkan program-program aksi yang bulat & sempurna. Namun boleh dikata, hampir semuanya sependapat: partisipasi penduduk miskin itu sendiri harus seimbang dengan bantuan yang diberikan dari luar. Dan semua usaha nyata untuk mengatasi problim hidup yang mendesak hendaknya mengarah pada pembebasan kaum miskin dari struktur politik, ekonomi dan sistim nilai, yang mengekang pengembangan dirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus